Banyak yang menggunakan aplikasi video pendek TikTok. Tapi, ketegangan geopolitik membuat aplikasi asal China ini berada dalam posisi sulit dan ada di tengah tarikan kepentingan negara adidaya.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·5 menit baca
Sejak muncul tahun 2017, TikTok telah menjadi aplikasi video pendek popular di dunia. Tak kurang dari dua miliar orang telah mengunduhnya. Lebih dari sekadar tempat berbagi video pendek, aplikasi ini kini berada di tengah kostelasi politik global.
TikTok seolah menjadi makanan pokok para remaja masa kini. Aplikasi dari China ini telah turut membentuk budaya internet dan interaksi sosial generasi Z. Namun, bukan cuma anak muda yang menjadi pengguna TikTok. Aplikasi ini dipakai oleh lintas generasi dan pengguna dengan berbagai latar belakang. Seseorang bisa membagikan video aksinya bersama dengan anak dan ayahnya dengan iringan lagu favorit.
Sensor Tower memperkirakan, seperempat penduduk dunia atau lebih dari dua miliar orang sudah mengunduh TikTok. Secara berurutan dari paling banyak, India, China, Amerika Serikat, Indonesia, dan Brasil menjadi negara dengan pengguna TikTok terbanyak di dunia.
Di AS saja, aplikasi ini sudah diunduh sekitar 70 juta orang, jumlah yang hampir sama dengan Snapchat. Pada kuartal pertama 2020 ada sebanyak 315 juta pengguna baru di dunia. Di AS dan Inggris, TikTok menjadi pesaing YouTube. “TikTok menjadi tempat untuk semua orang,” kata Vanessa Pappas, Manajer Umum TikTok untuk Amerika seperti dikutip the Economist, Kamis (23/7/2020).
Popularitas TikTok membuat perusahaan pengembangnya, ByteDance, melompat melampaui perusahaan rintisan “unicorn” lainnya. Valuasi ByteDance pada Mei 2020 mencapai 140 miliar dollar AS atau naik hampir setengahnya dibanding putaran pendanaan musim semi lalu. Bagi pendirit ByteDance, Zhang Yiming (37), ini merupakan bagian dari ambisinya membangun raksasa peranti lunak global.
Di AS TikTok tidak cuma sekadar aplikasi video lucu-lucuan atau seru-seruan penggunanya melalui video pendek yang diunggahnya. Aplikasi ini juga menjadi sebuah alat untuk mengartikulasikan aspirasi politik, atau dengan kata lain lelucon politik.
Pengguna TikTok dan penggemar K-pop “mengerjai” kampanye Donald Trump di Tusla, Oklahoma, Juni 2020 lalu. Ketika akun resmi kampanye Trump @TeamTrump mengunggah cuitan meminta para pendukungnya untuk mendaftar untuk mendapat tiket kampanye gratis pada 11 Juni 2020, penggemar K-pop langsung membagikan informasi ini kepada para pengikutnya mendorong mereka untuk mendaftar tapi tidak akan datang ke kampanye itu.
Berdasarkan laporan CNN, tren itu kemudian menyebar di aplikasi TikTok dan dilihat jutaan orang. “Oh tidak, saya mendaftar ikut kampanye Trump, dan saya tidak bisa pergi,” kelakar seorang perempuan sambil pura-pura batuk dalam sebuah video TikTok yang diunggah 15 Juni 2020.
Alhasil, kampanye Trump di BOK Center, Tusla itu bisa dibilang “sepi” pengunjung. The New York Times melaporkan bahwa dari total kapasitas BOK Center sebanyak 19.000 tempat duduk, peserta yang tercatat hadir hanya 6.200 belum termasuk staf, media, dan peserta di tempat duduk suite.
“Itu mayoritas menyebar melalui Alt TikTok – kami bergerak diam-diam di mana orang melakukan lelucon dan banyak aktivisme,” kata YouTuber Elijah Daniel (26) yang berpartisipasi dalam kampanye media sosial. “Twitter K-pop dan Alt TikTok punya kerja sama yang baik dan saling menyebar informasi dengan cepat. Mereka semua paham algoritmanya dan mengerti bagaimana meningkatkan videonya sesuai yang diinginkan.”
Semakin tinggi pohon semakin kencang juga angin yang menerpanya. Barangkali perumpamaan itu pas disandingkan kepada TikTok dalam konteks global. Di tengah popularitasnya, aplikasi itu kini berada di tengah-tengah pusaran geopolitik negara adidaya.
Pada 29 Juni India melarang TikTok dan 58 aplikasi asal China lainnya menyusul insiden bentrokan prajurit India dan China di perbatasan kedua negara itu di kawasan Himalaya. Padahal, India menjadi negara dengan pengguna TikTok terbesar di dunia.
Kian popularnya TikTok di AS pun memantik kecurigaan pemerintah AS. Karena dimiliki raksasa internet China, ByteDance, maka muncul pertanyaan sejauh apa pemerintah China memiliki akses dan pengaruh terhadap data penggunanya dan moderasi kontennya.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, misalnya menuduh bahwa data pengguna TikTok bisa berakhir “di tangan Partai Komunis China.” Hal ini dibantah oleh Theo Bertram, Pimpinan Kebijakan Publik TikTok untuk Eropa, Timur Tengah, dan Afrika seperti ditulis BBC, Selasa (21/7/2020).
Untuk menjauhkan akarnya di China, TikTok menunjuk CEO baru, yakni Kevin Mayer, warga AS yang juga mantan petinggi Walt Disney. Bahkan, TikTok mengatakan bahwa semua data penggunanya disimpan di peladen di AS.
Meski demikian, pemerintah Trump tetap mengancam akan melarang TikTok di AS setelah aplikasi itu menyatakan menghentikan operasionalnya di Hong Kong menyusul pemberlakuan Undang-Undang Keamanan Nasional China di Hong Kong. TikTok juga bersikukuh tidak akan menghapus konten apapun yang diminta oleh Pemerintah China.
Sebenarnya, mengantisipasi tarik menarik politik, pada Maret 2020 ByteDance memiliki ide yang radikal, yakni mengalihkan semua unit bisnisnya termasuk TikTok ke luar China dan membentuk kantor global di London termasuk kantor pendukung di Irlandia di mana aturan perlindungan data Eropa yang ketat berlaku.
Secara operasional, perusahaan itu akan dibagi menjadi “ByteDance” China dan “ByteDance Global”. Ide ini telah disampaikan kepada Pemerintah Inggris Februari 2020 lalu. Tapi, pembahasan ini terhenti ketika AS mengancam akan melarang TikTok di AS.
Gabungan perusahaan
TikTok dari awal tidak terlahir sebagai TikTok. Aplikasi ini merupakan gabungan dari dua aplikasi berbeda, yaitu Musical.ly dari AS dan Douyin dari China.
Musical.ly adalah aplikasi di mana penggunanya bisa membuat video musik lip-sync 15 detik yang dibuat oleh Alex Zhu dan Louis Yang tahun 2014. Semula, aplikasi ini dimaksudkan sebagai video pendek pendidikan tapi Zhu mengatakan idenya itu “ditakdirkan untuk gagal”. Musical.ly kemudian dibeli oleh AS.
Sementara itu, tahun 2016 aplikasi video pendek Douyin diluncurkan di China dan popularitasnya langsung meroket. Dalam setahun Douyin memiliki 100 juta pengguna dan satu miliar video dilihat setiap harinya. September 2017 Douying mulai memperluas pasar internasionalnya dengan nama TikTok dan popular di Thailand, Jepang, dan negara Asia lain.
Pada November 2017, perusahaan pengembang Douyin, ByteDance, membeli Musical.ly senilai 1 miliar dollar AS. Awalnya ByteDance mengoperasikan aplikasi dua video pendek, Musical.ly di AS dan TikTok di luar AS.
Tapi, kurang dari setahun ByteDance membubarkan Musical.ly dan menggabungkannya dengan TikTok. Semua profil pengguna Musical.ly secara otomatis masuk di TikTok. “Menggabungkan Musical.ly dan TikTok adalah hal yang wajar karena keduanya punya misi yang sama – menciptakan komunitas di mana setiap orang bisa menjadi kreator,” kata salah seorang pendiri Musical.ly, Zhu, seperti dilaporkan South China Morning Post, Minggu (19/7/2020).