Kamala Harris menjadi simbol demokrasi di Amerika Serikat yang memungkinkan siapa saja dapat menempatkan diri dalam posisi penting di pemerintahan. Dia menjadi panutan bagi kelompok migran.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
Sejak kecil, bakal calon wakil presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Kamala Harris (55), kerap diajak kakeknya, PV Gopalan, jalan-jalan ke pantai Chennai di India. Di pantai itu, Harris sering ikut mendengarkan obrolan kakek dan teman-temannya tentang politik, demokrasi, korupsi, serta perlakuan yang adil dan setara bagi setiap orang.
Kenangan masa kecil bersama kakeknya di kawasan elit Besant Nagar, India Selatan, itu diceritakan Harris saat ia berpidato pada 2018. Baginya, itulah titik awal ketertarikannya pada isu demokrasi. ”Jalan-jalan di pantai dengan kakek saya itulah yang ternyata menjadikan saya seperti sekarang. Dulu saya tak paham karena masih kecil,” kata Harris yang ibunya berdarah India dan ayahnya berdarah Jamaika itu.
Kakek Harris adalah aktivis gerakan kemerdekaan India yang kemudian menjadi salah satu pejabat tinggi di pemerintahan India. Mendiang ibu Harris, Shyamala Gopalan, meninggalkan India pada 1960 untuk menuntut ilmu di AS. Ayah Harris, Donald Harris, yang berdarah Jamaika juga pindah ke AS untuk alasan yang sama.
Mendiang ibunya berprofesi sebagai dokter spesialis kanker payudara dan ayahnya guru besar ilmu ekonomi di Stanford University di California. Meski tinggal di AS, mendiang ibu Harris kerap membawa anaknya pulang ke kampung halaman. Apalagi setelah ibu dan ayahnya bercerai saat Harris berusia 5 tahun. Setelah Shyamala meninggal pada 2009, Harris membawa abu ibunya untuk disebar di Teluk Bengal.
Membangun harapan
Terpilihnya Harris mendampingi bakal calon presiden AS dari Demokrat, Joe Biden, itu sontak membuat seluruh keluarganya bangga. Salah satu om dan tante Harris di New Delhi, India, Sarala Gopalan dan Gopalan Balachandran, mengingatnya sebagai keponakan yang suka masakan dan musik India dan Amerika. ”Dia tidak pernah lupa pada akar dan nilai-nilai keluarganya,” kata Sarala.
Harris yang lahir di California, AS, pada 1964 itu menjadi jaksa agung kulit hitam pertama di California sekaligus perempuan pertama yang duduk di posisi tersebut. Harris juga menjadi perempuan pertama keturunan Asia Selatan yang terpilih menjadi anggota senat AS. ”Dia orang yang sangat berkomitmen pada layanan publik,” kata Balachandran.
Meski berdarah India dan kerap pulang kampung, Harris tak bisa bicara bahasa Tamil tetapi paham sedikit-sedikit. Balachandran yakin terpilihnya Harris itu besar artinya bagi warga India di AS. ”Selama ini banyak warga India yang bekerja di profesi terhormat tetapi inilah capaian yang paling tinggi,” ujarnya.
Sama seperti keluarga ibunya di India, keluarga ayah Harris di Jamaika pun sama bangganya. Bahkan, Harris menjadi inspirasi harapan dan impian. ”Anak-anak Jamaika kini bisa punya mimpi lebih besar berkat Harris,” kata Felicia Mills (36), warga Jamaika.
Pengamat politik Jamaika, Kevin O’Brien Chang, menilai terpilihnya Harris itu memberikan cahaya harapan bagi Jamaika karena Harris sadar betul akan akar keluarganya yang imigran dari dua negara itu.
Guru Besar di Chicago State University yang imigran Pakistan tahun 1980-an, Zafar Bokhari, mengatakan, Harris menjadi tokoh panutan anak-anaknya. Melihat Harris dengan latar belakang India dan Jamaika bisa menjadi bakal calon wapres di AS saja sudah menginspirasi. ”Ini capaian yang luar biasa dan saya mengagumi caranya membawa dirinya sendiri. Ia memberikan harapan bagi kita semua,” ujarnya. (REUTERS/AFP/AP)