Pascanormalisasi Hubungan UEA-Israel, Negara-negara Arab Gamang
Qatar dan sejumlah negara Arab gamang terhadap normalisasi hubungan Israel-Uni Emirat Arab. Normalisasi hubungan itu tidak mengurangi tekanan Israel terhadap warga Palestina.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
DOHA, JUMAT — Negara-negara Teluk dalam posisi gamang setelah Pemerintah Uni Emirat Arab menormalisasi hubungannya dengan Israel. Mereka berada di persimpangan antara menyuarakan penderitaan rakyat Palestina dan kepentingan ekonomi politik negaranya.
Qatar, yang menjadi sekutu Amerika Serikat dalam proses perundingan damai antara Washington dengan Kelompok Taliban Afghanistan, belum menyatakan sikap resminya atas normalisasi itu.
Menteri Luar Negeri Qatar Mohammed bin Abdurahman al-Thani, Jumat (21/8/2020), menegaskan kembali posisi negaranya dalam mendukung hak-hak rakyat Palestina dan Prakarsa Perdamaian Arab. Pernyataan itu dibuat oleh Abdurrahman al-Thani setelah melakukan pembicaraan dengan juru runding senior Palestina, Saeb Erekat, via telepon.
Pernyataan itu tidak menyebutkan kesepakatan antara Israel dan Uni Emirat Arab, yang diumumkan Presiden AS Donald Trump, 13 Agustus lalu.
Di sisi lain, Pemerintah Qatar sendiri terkunci dalam kebuntuan diplomatik dengan UEA, Arab Saudi, Bahrain, dan Mesir. Keempat negara Arab itu menuduh Doha mendukung dan membiayai kegiatan ekstremisme dan terorisme Islam, di antaranya Al Qaeda. Keempat negara juga menuduhnya berkomplot dengan Iran. Doha membantah semua tuduhan itu.
Hubungan Doha dan Tel Aviv naik turun setelah Israel membuka kantor perwakilan perdagangannya di ibu kota Qatar itu tahun 1996-2000. Mereka juga banyak membantu pembiayaan pengembangan kesejahteraan wilayah pesisir Palestina di Jalur Gaza, tentu saja dengan persetujuan Tel Aviv. Doha bersama Mesir dan Perserikatan Bangsa-Bangsa juga tercatat menjadi perantara gencatan senjata di Gaza tahun 2019 lalu.
Berbeda dengan Doha yang belum bersikap, sekutu utama AS di Teluk, Arab Saudi, bersikap tegas. Arab Saudi menyatakan tidak akan mengikuti langkah UEA yang menandatangani kesepakatan damai dengan Israel.
”Tidak ada kesepatakan damai tanpa keterlibatan Palestina di dalamnya,” kata Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan aL-Saud seusai bertemu Menlu Jerman Keiko Haas di Berlin.
Menlu Farhan mengatakan, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi tetap pada komitmennya untuk berdamai dengan Israel berdasarkan Prakarsa Perdamaian Arab tahun 2002. Proposal perdamaian itu menawarkan normalisasi hubungan negara-negara Arab kepada Israel dengan kompensasi kesepakatan kenegaraan dengan Palestina dan penarikan penuh Israel dari wilayah yang direbut pada tahun 1967.
Pemerintah Arab Saudi, kata Menlu Farhan, menganggap rencana pencaplokan wilayah Tepi Barat oleh Israel, dengan restu Amerika Serikat, sebagai tindakan yang merusak solusi dua negara.
Meski ada perbedaan pandangan soal normalisasi hubungan, AS dan Arab Saudi memiliki pandangan yang sama tentang keberadaan Iran. Mereka menganggap Iran sebagai ancaman utama di Timur Tengah. Meningkatnya ketegangan antara Teheran dan Riyadh telah memicu spekulasi bahwa kepentingan bersama dapat mendorong Arab Saudi dan Israel untuk bekerja sama.
Tekanan Israel atas Palestina
Normalisasi hubungan Israel-UEA tidak berdampak apa-apa terhadap warga Palestina. Sebaliknya, tekanan Israel terhadap warga Palestina yang berdiam di Jalur Gaza semakin ketat setelah pada pekan lalu Tel Aviv mengumumkan larangan masuknya bahan bakar ke wilayah tersebut. Dampaknya, pembangkit listrik di Gaza, Selasa (18/8/2020), berhenti beroperasi karena kesulitan pasokan bahan bakar.
Dikutip dari laman kantor berita Al Jazeera, ketika pembangkit listrik itu masih beroperasi, warga Gaza tetap masih merasakan pemadaman bergilir. Dalam sehari, pasokan listrik hanya bisa dirasakan maksimal selama delapan jam dalam satu hari. Kini, dengan berhentinya operasional pembangkit listrik, warga Gaza benar-benar menggantungkan pasokan listrik dari Israel. Dalam sehari, mereka mendapat jatah pasokan selama empat jam.
Tekanan demi tekanan dilakukan oleh Pemerintah Israel dan militernya terhadap warga setelah kelompok Hamas tidak menghentikan pengiriman balon api ke wilayah Israel. AL Jazeera juga menyebutkan, tindakan keras militer Israel telah menewaskan satu remaja Palestina pada Rabu (19/8).
Mohammad Damir Matar, remaja berusia 16 tahun, tewas ketika berada di dalam tahanan militer Israel. Hingga sekarang, jenazah Damir belum bisa diambil oleh keluarganya. (AFP/Reuters)