UEA-Israel Sepakati Kerja Sama Keamanan dan Penerbangan
Pemerintah Israel dan Uni Emirat Arab bergegas menjalin kerja sama keamanan dan membuka penerbangan komersial pascanormalisasi hubungan kedua negara. Sementara itu, misi Pompeo di Sudan gagal.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
TEL AVIV, RABU — Menteri Pertahanan Uni Emirat Arab dan Israel, Selasa (25/8/2020), berbicara lewat sambungan telepon pertama, yang diakui secara publik, sejak kedua negara menormalisasi hubungan pada 13 Agustus lalu. Dalam percakapan itu, kedua pihak resmi menyepakati kerja sama keamanan.
Berbicara selama sekitar 10 menit, Menhan UEA Mohammed al-Bawardi dan Menhan Israel Benny Gantz membahas peningkatan komunikasi untuk kepentingan kedua negara khususnya dan keamanan kawasan umumnya. Menurut kantor berita UEA, WAM, Bawardi-Gantz sepakat untuk menjaga saluran komunikasi terbuka di antara kedua pemerintahan.
Dalam pernyataan yang dikeluarkan kantor Gantz, keduanya sepakat bahwa memiliki kepentingan keamanan yang sama. ”Kolaborasi akan memperkuat stabilitas kawasan,” kata Gantz dalam pernyataannya.
Normalisasi hubungan UEA-Israel, yang difasilitasi Amerika Serikat dan diumumkan pada 13 Agustus lalu, membentuk poros keamanan baru di Timur Tengah. Poros UEA-Israel ini menghadang Iran dan militan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di kawasan. UEA menjadi negara ketiga setelah Jordania dan Mesir yang menjalin hubungan dengan Israel dalam 70 tahun terakhir.
Tidak ada penjelasan soal ketidaksepakatan kedua negara terkait rencana pembelian pesawat tempur F-35 oleh UEA yang masih menjadi ganjalan. UEA berpendapat, normalisasi hubungan seharusnya tidak menghilangkan rintangan apa pun bagi mereka untuk membeli persenjataan dari AS.
Sebaliknya, Israel menolak rencana tersebut karena khawatir kedigdayaan militer mereka tersaingin. Sementara AS menyatakan masih mencari jalan tengah untuk menyiasati perbedaan kedua negara.
Meski demikian, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo meyakinkan Israel bahwa mereka akan mempertahankan keuntungan militer di wilayah tersebut di bawah kesepakatan senjata di masa depan dengan UEA.
Walau terdapat perbedaan pendapat, pejabat tinggi kedua negara dijadwalkan akan mengadakan pertemuan di Abu Dhabi. Sebuah penerbangan komersial, yakni maskapai penerbangan El Al-Israel, akan membawa delegasi senior AS dan Israel ke Abu Dhabi.
Menurut rencana, menantu Presiden AS Donald Trump yang juga merupakan penasihatnya, Jared Kushner, akan memimpin delegasi AS. Kushner akan didampingi penasihat keamanan nasional, Robert O\'Brien; utusan untuk Timur Tengah, Avi Berkowitz; dan utusan untuk Iran, Brian Hook.
Pemerintah Israel akan mengutus Meir Ben-Shabbat, penasihat keamanan nasional, memimpin delegasi Israel, di samping perwakilan beberapa kementerian, perusahaan milik pemerintah dan otoritas penerbangan nasional.
Pertemuan pertama ini menurut rencana akan memfokuskan diri pada isu penerbangan dan pariwisata, perdagangan, bisnis, kesehatan, energi, keamanan, dan hal lainnya.
”Ini adalah perjanjian bersejarah. Perjanjian ini akan memacu pertumbuhan ekonomi secara umum, terutama selama era virus korona. Saya berharap negara-negara lain di kawasan kita akan bergabung dalam lingkaran perdamaian,” kata Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Pertama
Penerbangan itu akan menjadi perjalanan langsung pertama penerbangan komersial secara resmi. Penerbangan itu nantinya menjadi tanda penting kemajuan hubungan kedua negara.
Penerbangan itu sendiri akan menjadi pilihan sulit bagi Arab Saudi untuk bersikap. Meski menyuarakan dukungan hangat, Pemerintah Arab Saudi menyatakan tidak akan mengikuti jejak UEA menormalisasi hubungan dengan Israel.
Pemberian izin melintas di wilayah udara juga bisa dimaknai sebagai restu dan dukungan Arab Saudi terhadap normalisasi, hal yang akan melukai rakyat Palestina. Tanpa persetujuan Saudi, penerbangan kemungkinan harus mengambil rute memutar dan bisa berisiko di Yaman dan melalui Teluk Persia.
Selain Israel dan UEA, Kushner dan para pejabat tinggi AS juga diperkirakan akan mengunjungi Bahrain, Maroko, Arab Saudi, dan Qatar.
Sudan menolak
Harapan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo untuk menarik Sudan dalam lingkaran perdamaian, menormalisasi hubungan dengan Israel, gagal. Sudan menolak.
Perdana Menteri Abdalla Hamdok dalam pertemuannya dengan Pompeo, Selasa (25/8), menyatakan, pemerintah transisi Sudan tidak memiliki ”mandat” untuk mengambil langkah seberat itu. Pemerintah transisi menggantikan Omar al-Bashir yang digulingkan tahun lalu dan akan memerintah hingga Pemilu 2022.
”Perdana menteri mengklarifikasi bahwa masa transisi di Sudan dipimpin aliansi yang luas dengan agenda khusus, yaitu penyelesaian transisi, mencapai perdamaian dan stabilitas di negara dan mengadakan pemilihan yang bebas,” kata juru bicara pemerintah, Faisal Saleh.
Saleh menyatakan, dengan posisi sebagai pemerintahan transisi, pemerintahan sekarang tidak memiliki mandat di luar tugas-tugas, termasuk mengeluarkan kebijakan normalisasi dengan Israel.
Hamdok, menurut Saleh, juga mendesak AS untuk tidak menghubungkan normalisasi hubungan dengan Israel dengan isu pencabutan Sudan dari daftar Sponsor Terorisme Negara.
Sudan telah masuk dalam daftar itu sejak 1993 karena sebelumnya mendukung para jihadis, termasuk Osama bin Laden. Bin Laden diketahui pernah tinggal dan menetap di Sudan pada tahun 1990-an sebelum menuju ke Afghanistan.
Koalisi Kekuatan untuk Kebebasan dan Perubahan, koalisi yang kini memegang kekuasaan pemerintahan transisi Sudan, menilai, warga Palestina berhak atas tanah mereka dan atas kehidupan yang bebas dan bermartabat.
Koalisi juga berpendapat, pemerintahan transisi Sudan tidak memiliki mandat untuk menormalisasi hubungan dengan Israel.
Pakar Sudan Marc Lavergne dari Pusat Penelitian Ilmiah Nasional Prancis (CNRS) menilai, Sudan sudah bereaksi dengan bijak menyikapi ajakan AS.
”Sudan sudah cukup terpecah. Tidak perlu menambahkan lagi dengan normalisasi yang tidak ada konsensusnya. Sudan memiliki ikan lain untuk digoreng dengan semua masalah yang dimilikinya,” kata Lavergne. (AP/AFP/REUTERS)