Indonesia Perlu Merekalibrasi Hubungan dengan Jepang
Jepang memiliki perdana menteri yang baru, Yoshihide Suga. Sebagai negara kekuatan menengah, Indonesia perlu memanfaatkan peluang untuk mempererat hubungan bilateral dengan Jepang.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai sesama negara kekuatan menengah, Indonesia perlu menangkap peluang untuk merekalibrasi ulang hubungan bilateralnya dengan Jepang, yang Rabu (16/9/2020) ini memiliki perdana menteri baru. Ketua Partai Demokrat Liberal Jepang Yoshihide Suga dilantik menjadi Perdana Menteri Jepang yang baru menggantikan Shinzo Abe yang mundur karena sakit.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nanto Sriyanto menyampaikan, Jepang menghadapi dilema untuk menjadi negara ”normal” dan menjadi mandiri sambil tetap menjaga hubungan tradisionalnya dengan Amerika Serikat.
Dalam situasi itu, Indonesia sebagai sesama negara kekuatan menengah (middle power country) karena aktivisme internasionalnya perlu mempererat hubungan bilateral dengan Jepang, terutama dalam menjaga stabilitas di kawasan. Hubungan bilateral yang lebih erat juga bisa dibangun dalam konteks pembangunan Selatan-Selatan.
Indonesia perlu merekalibrasi hubungan bilateralnya dengan Jepang menjadi hubungan yang timbal balik, bukan hubungan yang melihat dari kacamata bantuan pembangunan resmi (official development assistance).
”Dari sisi ekonomi, misalnya, Indonesia perlu mendorong investasi Jepang yang tidak melulu berbasis konsumen, Jepang memanfaatkan Indonesia sebagai pasar, tetapi mulai memikirkan komoditas untuk ekspor, misalnya. Sektor manufaktur dan kelautan juga potensial,” tutur Nanto.
Dalam pemilu internal LDP, Senin (14/9/2020), sebanyak 377 dari 534 pemilik suara memilih Suga sebagai Ketua Umum LDP. Sebagaimana dilaporkan Japan Times, pemilik suara dalam pemilu LDP terdiri dari 393 anggota parlemen dan 141 pengurus daerah. Calon lain, yakni Fumio Kishida dan Shigeru Ishiba, hanya mendapat 89 suara dan 68 suara.
Dengan kemenangan itu, Suga tinggal menunggu pelantikan sebagai PM Jepang lewat sidang paripurna istimewa parlemen yang dijadwalkan Rabu ini. Siapa pun pemimpin partai dengan kursi terbanyak di parlemen Jepang akan menjadi PM. Dari 710 kursi parlemen Jepang, 393 diduduki LDP. Posisi LDP menguat karena mitra koalisinya, Komeito, punya 57 kursi di parlemen.
Sementara itu, mantan Duta Besar Indonesia untuk Jepang Yusron Ihza Mahendra berpendapat, kerja sama bidang industri pertahanan yang bisa berkontribusi pada penguatan ekonomi merupakan peluang yang bisa dimanfaatkan oleh Indonesia dengan Jepang.
Dalam konteks hubungan internasional, Indonesia dan Jepang juga bisa berperan dalam menjaga stabilitas di tengah permusuhan Amerika Serikat-China di kawasan.
Suga naik ke pucuk pimpinan Pemerintah Jepang di tengah banyaknya tantangan, terutama bagaimana mengendalian pandemi Covid-19 sambil memulihkan ekonomi. Di luar itu, populasi penduduk lansia Jepang besar juga memberikan tantangan tersendiri.
Suga yang sebelumnya merupakan sekretaris kabinet di era PM Shinzo Abe memastikan akan meneruskan kebijakan yang ditempuh Jepang selama kepemimpinan Abe, termasuk Abenomics.
Kebijakan Abe soal pandemi, termasuk stimulus besar-besaran untuk menggerakkan perekonomian, akan diteruskan. ”Dalam situasi sekarang, mungkin kebijakan itu akan dilakukan,” ujarnya soal tambahan bantuan langsung tunai kepada warga dan subsidi kepada perusahaan sebagaimana dikutip Asahi Shimbun.
Suga akan jadi PM dengan tantangan di dalam dan luar negeri. Selain pandemi, tantangan Suga adalah menjadi peluang LDP memenangi pemilu yang harus digelar paling lambat Oktober 2021.
Ia juga harus memutuskan apakah akan meneruskan atau kembali menunda Olimpiade. Pandemi Covid-19 memaksa Olimpiade Tokyo 2020 dimundurkan menjadi 2021. Padahal, Jepang telah membelanjakan ratusan juta dollar AS untuk mempersiapkan Olimpiade Tokyo 2020. Pesta olahraga itu diharapkan bisa menggerakkan perekonomian Jepang. (REUTERS)