Israel Tidak Berniat Bicara dengan Oposisi Palestina
Pemerintah Israel fokus pada upaya untuk memperluas kerja sama formal mereka dengan dunia Arab. Tidak ada niat bagi mereka untuk berdialog dengan oposisi Palestina.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
JERUSALEM, SENIN — Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tidak berniat membicarakan isu perdamaian dengan kelompok oposisi Palestina. Alasannya, Pemerintah Israel toh sudah bisa bersepakat dengan negara-negara Sunni modern tanpa harus menyinggung isu Palestina.
Hal itu dikemukakan pemimpin oposisi Israel, Partai Yesh Atid, Yair Lapid, Senin (14/9/2020), menjelang penandatanganan kesepakatan bersejarah normalisasi hubungan Israel dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain yang akan disaksikan Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Washington, AS, Selasa.
Netanyahu akan menandatangani kesepakatan itu bersama Menteri Luar Negeri UEA Sheikh Abdullah bin Zayed al-Nahyan dan Menlu Bahrain Abdullatif al-Zayani.
Meski demikian, Lapid mengakui, Israel juga harus tetap melanjutkan negosiasi perdamaian dengan Palestina demi kepentingan Israel. Kesepakatan Israel dengan UEA dan Bahrain merupakan kesepakatan normalisasi hubungan pertama Israel dengan negara-negara Arab sejak tahun 1990-an.
Palestina mengecam kesepakatan itu karena bertentangan dan mengkhianati konsensus yang sudah ada di antara negara-negara Arab selama puluhan tahun. Konsensus itu adalah kesepakatan damai Palestina menjadi persyaratan untuk menjalin hubungan dengan Israel.
Mengenai sikap Palestina ini, Lapid mengkritik Palestina yang hanya pasif duduk menunggu negara-negara Arab dan komunitas internasional untuk bergerak memperjuangkan mereka. ”Mestinya mereka lebih proaktif daripada mengeluh dan memosisikan diri sebagai korban terus. Lagi pula, tuntutan mereka juga tidak masuk akal,” ujarnya.
Palestina menyerukan diri sebagai negara merdeka berdasarkan perbatasan yang diakui secara internasional yang sudah ada sebelum Perang Enam Hari pada tahun 1967. Pada waktu itu, Israel merebut sebagian besar wilayah, termasuk Jerusalem Timur dan Tepi Barat. Palestina juga meminta warga Palestina yang mengungsi sejak pembentukan Israel tahun 1949 diizinkan kembali bersama dengan seluruh keluarga mereka.
”Cara ini saja tidak akan berhasil. Palestina harus mau kembali duduk berunding bersama Israel,” kata Lapid yang pernah menjadi wartawan televisi itu.
Perundingan terakhir antara Israel dan Palestina berakhir tahun 2014 dan Palestina menolak usulan-usulan pemerintahan Trump yang dinilai bias karena pro-Israel. ”Saya kira kita harus melangkah maju dan berdiskusi dengan Palestina tetap dengan solusi dua negara. Saya tidak yakin Israel akan mau mengambil langkah maju,” lanjutnya.
Ia khawatir pemerintahan Netanyahu tidak berniat membahas apa pun dengan Palestina karena rakyat pemilih sayap kanan Netanyahu pun menentang negara merdeka Palestina.
Terlindung
Bagi Bahrain, kesepakatan normalisasi hubungan dengan Israel ini ”sederhana”. Kesepakatan itu dapat memberikan jaminan perlindungan terhadap kepentingan Bahrain dan memperkuat kerja sama strategisnya dengan AS. Apalagi di tengah situasi saat Iran semakin mengancam.
”Ini bukan berarti pengabaian isu Palestina. Ini upaya memperkuat keamanan dan stabilitas ekonomi Bahrain,” kata Menteri Dalam Negeri Bahrain Rashid bin Abdullah al-Khalifa dalam pernyataan tertulisnya.
Bahrain mengikuti langkah UEA sebagian besar juga karena alasan khawatir kepada Iran yang bersikap mendominasi dan agresif. Bahrain yang menjadi markas Armada Kelima Angkatan Laut AS itu dikuasai oleh keluarga Muslim Al-Khalifa. Bahrain kerap menuding Iran hendak menggulingkan kekuasaan Bahrain. ”Lama-lama ia membahayakan keamanan dalam negeri kami,” kata Khalifa yang juga anggota keluarga kerajaan Bahrain itu.
Penasihat senior Gedung Putih, Jared Kushner, menyebutkan, kesepakatan ini menunjukkan keinginan negara-negara Arab untuk membuka lembaran baru dan masa depan yang lebih cerah ketimbang berkutat dengan konflik masa lalu. (REUTERS/AFP)