Lebih Misterius dari Siluman
Banyak perusahaan agen pekerja migran Indonesia tidak diketahui di mana kantornya. Padahal, dampak buruk dari ulah mereka terasa di berbagai penjuru Nusantara.
Penyiksaan hingga kematian pekerja migran Indonesia di kapal-kapal ikan asing menyeret nama Tegal, Jawa Tengah. Sebab, perusahaan-perusahaan yang disebut memberangkatkan para pekerja itu beralamat di Tegal.
Informasi itu membuat Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian Kota Tegal menelusuri keberadaan perusahaan-perusahaan itu. ”Sebelum ada kasus tersebut, kami tidak tahu, ada perusahaan itu di Kota Tegal. Perusahaan-perusahaan itu tidak pernah mengurus perizinan maupun melaporkan kegiatan penyaluran tenaga kerja yang mereka lakukan,” kata Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian Kota Tegal R Heru Setyawan.
Salah satu perusahaan yang disebut adalah PT Lakemba Perkasa Bahari. Kantor perusahaan itu tidak ada di Tegal. Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian Kota Tegal tidak punya catatan soal pengurusan izin usaha perusahaan itu. LPB bukan satu-satunya perusahaan misterius di Tegal. Namanya ada, dampaknya pada pekerja migran Indonesia terasa di sejumlah provinsi, sementara kantornya tidak jelas di mana. Keberadaan bangunan fisik perusahaan itu sama misteriusnya dengan siluman.
Baca juga : Penting, Mengecek Rekam Jejak Perusahaan Perekrut Awak Kapal
Perusahaan lain dari Tegal yang mendadak tersohor adalah dari PT Mandiri Tunggal Bahari (MTB). Komisarisnya, Sutrisno, dan direkturnya, Muhammad Hoji, kini jadi terdakwa di Pengadilan Negeri Tegal. Jaksa menjerat mereka dengan Pasal 85 dan 86 Undang-Undang Nomot 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Mereka terancam penjara hingga 15 tahun dan denda hingga Rp 15 miliar.
Penyiksaan di kapal
Korban PT MTB antara lain Reynalfi Sianturi (22) dari Pematang Siantar, Sumatera Utara. Ia membayar Rp 45 juta dan dijanjikan akan bekerja di pabrik tekstil di Korea Selatan dengan gaji Rp 25 juta per bulan. ”Saya pun langsung mau karena ketika itu saya hanya bekerja serabutan. Saya ingin mengubah nasib keluarga,” katanya.
Ternyata, ia malah dijadikan awak kapal ikan China, Lu Qing Yuan Yu 901, selama tujuh bulan tanpa gaji. Selama di kapal ikan, ia hanya makan nasi sekali sehari, minum air asin, disiksa, hingga akhirnya melarikan diri dengan melompat ke laut. ”Berbulan-bulan kami disiksa di atas kapal, tetapi kami tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak bisa berkomunikasi dengan siapa pun,” ujarnya.
Baca juga : ”Saya Ingin Anak Pulang, Tidak Perlu Uang”
Selain Reynalfi, di sana juga ada 12 WNI lain yang datang dari sejumlah daerah. ”Kami bekerja sepanjang hari. Hanya istirahat sekitar empat jam dalam sehari,” kata Reynalfi.
Menurut dia, telepon seluler mereka langsung disita setelah berada di kapal. Mereka pun dilarang berkomunikasi dengan sesama pekerja migran Indonesia. Jika ketahuan berkomunikasi, mereka langsung ditendang. Di kapal itu total ada 31 orang kru. ”Mereka lebih banyak dan orangnya besar-besar sehingga kami tidak berani melawan,” katanya.
Mereka pun berencana untuk berhenti bekerja setelah kapal bersandar. Namun, ternyata kapal itu terus beroperasi. Setelah ikan penuh, kapal yang lain datang membawa ikan itu ke darat.
Bersama Andri Juniansyah (30) asal Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, ia pun berencana melarikan diri dengan melompat ke laut. ”Lebih baik kami mati di laut daripada mati disiksa di kapal,” katanya.
Mereka mengajak WNI lain, tetapi tidak ada yang berani. Reynaldi pun diam-diam mengambil jaket pelampung, senter, dan peluit. Ketika mereka memperkirakan telah dekat dengan perairan Indonesia, Reynalfi dan Andri pun melompat ke laut pada 7 Juni 2020.
Setelah melompat, mereka terombang-ambing tujuh jam di laut hingga akhirnya ditemukan seorang nelayan Indonesia. Mereka pun dibawa ke darat dan diantarkan ke Kepolisian Resor Karimun, Kepulauan Riau.
Dampak ke sekolah
Tidak mudah mencari kapal ikan yang membawa kabar sedap. Akibatnya, sekolah seperti SMK Pelayaran Pembangunan di Ciracas, Jakarta Timur, terimbas. Sekolah tersebut terakhir membuka jurusan nautika kapal penangkap ikan (NKPI) untuk pelajar yang masuk tahun 2016. Selepas itu, sekolah tersebut hanya membuka jurusan nautika kapal niaga dan teknika kapal niaga. ”Memang untuk sekarang kami vakum dulu (membuka jurusan NKPI) karena peminatnya sangat sedikit,” ujar Abdul Kholik, Kepala SMK Pelayaran Pembangunan.
Baca juga : Keran Izin Tanpa Perlindungan
Pada 2017, hanya ada lima pendaftar untuk jurusan NKPI. Padahal, dibutuhkan minimal 15 pendaftar untuk membuka setiap jurusan di SMK itu. Ia menengarai, penurunan minat itu terjadi, antara lain, karena kabar-kabar perlakuan tidak manusiawi terhadap awak kapal ikan di dalam dan luar negeri. ”Ada taruna kami yang bekerja (di kapal ikan) di Jepang menangis minta pulang, padahal baru satu bulan. Itu karena tidak sesuai harapan, sangat tidak layak,” ujarnya.
Alumnus SMK Pelayaran Pembangunan, Betrans Ramadhani Wisanto (17), sependapat soal kelayakan perlakuan terhadap ABK di kapal ikan luar negeri. Ia merujuk pada berita Muhammad Alfatah yang lulus dari SMK Pelayaran Lintas Nusantara Barru di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Mendiang Alfatah bekerja di kapal penangkap ikan berbendera China, Long Xing 902. Tanggal 18 Desember 2019, ia sakit saat berlayar melintasi Samudra Pasifik.
Pada 27 Desember 2019, Alfatah dipindahkan ke kapal Long Xing 802 yang akan berlabuh di Samoa sehingga ia punya kesempatan dirawat di rumah sakit setempat. Sayangnya, ia mengembuskan napas terakhir delapan jam seusai dipindahkan. Dengan alasan daratan masih jauh dan dikhawatirkan membawa penyakit menular bagi kru, kapten kapal memutuskan jasadnya dilarung ke laut.
Punya status lulusan pendidikan pelayaran formal dengan demikian belum cukup menjamin kelayakan kerja di kapal ikan. Kondisi tersebut kemungkinan turut mendorong pengelola kapal ikan mencari tenaga kerja yang tidak profesional untuk dijadikan ABK mengingat tenaga profesional yang mau bergabung langka.
Kholik menuturkan, ia pernah melihat aktivitas agen pemburu calon ABK kapal ikan di kampungnya di Jawa Tengah. Mereka tidak memasang syarat tinggi, yang penting peminat berpendidikan minimal sekolah menengah pertama atau bahkan asal bisa baca saja.
Jika tertarik, pemuda yang terjaring akan diberi pelatihan sekadarnya sebelum melaut. Tidak punya uang untuk pelatihan pun tidak jadi masalah. Mereka bisa menggantinya dengan mengangsur beberapa bulan ketika sudah di atas kapal. Bagi pemuda kampung yang kesulitan mencari kerja di daerahnya, ini tawaran yang menggiurkan.
Apalagi, biaya pendidikan formal untuk menjadi seorang pelaut tidaklah murah. Kholik menyebutkan, biaya pendidikan setiap taruna di SMK Pelayaran Pembangunan berkisar Rp 70 juta hingga mendapatkan sertifikat ANT IV. Kondisi demikian diduga menciptakan lingkaran setan perbudakan ABK asal Indonesia di kapal ikan asal negara lain.
Sejumlah pelaut hafal dengan agen ilegal. Biasanya, perusahaan seperti itu tidak mempertimbangkan latar belakang pendidikan dan pengalaman calon awak kapal di bidang perikanan. Dalam sejumlah iklan lowongan kerja sebagai awak kapal yang beredar di media sosial kerap ditemukan pengiklan mencantumkan kata-kata ”tanpa ijazah bisa daftar” atau ”tidak berpengalaman bisa mendaftar”.
Pada iklan lowongan kerja ABK yang lain, ada perusahaan yang terang-terangan meminta calon ABK memberikan sejumlah uang atau sertifikat tanah. Uang atau sertifikat tersebut akan ditahan perusahaan sebagai jaminan agar ABK tidak melarikan diri sebelum kontrak kerja usai.
”Berdasarkan pengalaman saya, kalau syaratnya terlalu mudah, prosesnya singkat, apalagi sampai minta uang jaminan di awal, itu sudah pasti abal-abal. Perusahaan yang baik biasanya mempertimbangkan latar belakang pendidikan, pengalaman kerja di bidang perikanan, meminta sertifikat kompetensi, dan menyeleksi secara ketat ABK yang akan disalurkan,” kata Ahmad Farhan (23), ABK asal Kecamatan Banjaran, Tegal.
(AGE/AIN/CAS/DIT/ERK/FRN/IKI/JOG/NAD/NDU/NSA/RAZ/REN/XTI)