Armenia Siap Gencatan Senjata, Azerbaijan dan Turki Bergeming
Pemerintah Armenia menyatakan siap untuk melakukan gencatan senjata, ditengahi oleh Kelompok Minsk, yang terdiri dari Rusia, Amerika Serikat, dan Perancis. Namun, Azerbaijan yang didukung Turki bergeming.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
YEREVAN, SENIN — Pemerintah Armenia menyatakan, pihaknya bersedia bekerja sama dengan tiga negara anggota Kelompok Minsk OSCE, yaitu Rusia, Amerika Serikat, dan Perancis, untuk memulai proses gencatan senjata atas konflik di Nagorno-Karabakh setelah jumlah korban terus meningkat dari kedua belah pihak. Namun, Azerbaijan, didukung Turki, sampai sekarang ini menolak upaya gencatan senjata tersebut.
Meski dunia internasional sudah menyerukan penghentikan pertempuran, hingga Minggu (4/10/2020), serangan demi serangan masih terus terjadi di Nagorno-Karabakh. Pemerintah Azerbaijan menuding Armenia, yang menyatakan bersedia bekerja sama untuk menghentikan pertempuran dan melaksanakan gencatan senjata, menembaki kota Ganja, kota terbesar kedua di Azerbaijan setelah ibu kota Baku.
Armenia membantah telah melancarkan serangan ke Ganja. Akan tetapi, pemimpin pasukan kelompok bersenjata di Nagorno-Karabakh yang didukung Armenia menyatakan, pasukannya telah menghancurkan pangkalan udara militer di Ganja.
”Unit militer permanen yang terletak di kota-kota besar Azerbaijan mulai sekarang menjadi sasaran tentara pertahanan,” kata pemimpin Karabakh, Arayik Harutyunyan.
Jurnalis lokal di Ganja mengatakan, bandara telah diserang. Ganja, kota terbesar kedua di Armenia dengan populasi sekitar 335.000 jiwa, terletak sekitar 100 kilometer dari ibu kota Karabakh, Stepanakert, dan sekitar 80 kilometer dari kota Vardenis, Armenia. Sebelumnya, Azerbaijan menuduh militer Armenia menembak ke wilayah mereka dari Vardenis. Hal ini dibantah Yerevan.
Pertempuran di Nagorno-Karabakh sudah berlangsung sepekan terakhir. Pertempuran itu meningkat intensitasnya dalam dua hari terakhir serta menyebar jauh ke luar wilayah Karabakh yang memisahkan diri. Kondisi ini membawa risiko perang skala penuh di antara dua negara bekas Uni Soviet, yakni Azerbaijan dan Armenia, yang dapat menyeret kekuatan lain. Azerbaijan didukung oleh Turki, sedangkan Armenia memiliki pakta pertahanan dengan Rusia.
Jumlah korban tewas diperkirakan setidaknya 230 orang dalam pertempuran di Nagorno-Karabakh. Setiap pihak mengklaim telah menghancurkan ratusan peralatan tempur lawan dan mengklaim berhasil menduduki wilayah lawan.
”Hari ini, tentara Azeri mengibarkan bendera Azerbaijan di Madagiz. Madagiz adalah milik kita,” kata Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev melalui media sosial, Sabtu (3/10/2020). Tak lama kemudian, dia mengumumkan kembali keberhasilan militernya menduduki tujuh desa lagi.
Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan mengatakan kepada rakyatnya bahwa pertempuran di garis depan sangat intens. ”Sampai saat ini, kita sudah mengalami kerugian manusia yang signifikan, baik militer maupun sipil. Peralatan militer dalam jumlah besar tidak lagi dapat digunakan,” kata Pashiyan.
Gencatan senjata
Angkatan bersenjata Armenia sejauh ini menahan diri untuk memasuki perang bersama dengan Nagorno-Karabakh. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Armenia mengatakan, pihaknya akan melakukan semua cara dan langkah yang diperlukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya kekejaman massal militer Azerbaijan di wilayah konflik, yang populasinya didominasi oleh etnis Armenia. Dia tidak menolak berkomentar tentang langkah yang mungkin akan diambil.
Armenia mengatakan, Jumat, bahwa pihaknya akan bekerja sama dengan Rusia, Amerika Serikat, dan Perancis untuk memulai proses gencatan senjata. Kementerian Luar Negeri Armenia menyatakan berkomitmen menyelesaikan konflik melalui cara-cara damai.
”Kami akan terus dengan gigih mengusir agresi Azerbaijan. Akan tetapi, pada saat yang sama, kami juga siap untuk terlibat dengan ketua bersama OSCE Minsk Group tentang gencatan senjata berdasarkan perjanjian 1994-1995,” demikian pernyataan Kemlu Armenia.
OSCE, Sabtu (3/10/2020), kembali menyerukan gencatan senjata kemanusiaan segera untuk memungkinkan pemulangan jenazah prajurit yang tewas. Kanselir Jerman Angela Merkel mengatakan, para pemimpin Uni Eropa membahas krisis Nagorno-Karabakh pada pertemuan puncak pemimpin Uni Eropa di Brussels, Belgia. Menurut Merkel, gencatan senjata diperlukan sesegera mungkin.
Pemerintah AS mengirimkan diplomat seniornya, Philip Reekker, untuk melakukan perjalanan ke Turki, sekutu NATO, untuk membicarakan situasi di Kaukasus Selatan dan beberapa masalah lainnya. AS, yang merupakan anggota OSCE dan Minsk Group, juga pernah menyerukan gencatan senjata.
Presiden Turki Tayyip Erdogan mengatakan, Kamis, bahwa gencatan senjata yang langgeng hanya dapat dicapai jika ”penjajah Armenia” menarik diri dari Nagorno-Karabakh. Aliyev mengatakan, tuntutan Armenia atas Nagorno-Karabakh tidak dapat diterima.
Dalam catatannya, lembaga Crisis Group menilai, untuk saat ini, dari banyak komunitas internasional, Uni Eropa dinilai menjadi yang paling siap untuk menjembatani kedua belah pihak yang bertikai. Lembaga ini mendorong negara-negara anggota UE untuk melakukan shuttle diplomacy di tengah pandemi. Hal itu agar segera dimulai pendekatan yang lebih proaktif, mencegah kerusakan yang lebih parah, dan menghentikan bertambah banyaknya korban jiwa, termasuk warga sipil, di wilayah konflik. (AFP/REUTERS)