Pengendalian senjata nuklir kini berada pada titik krusial. Pemilikan senjata nuklir oleh sejumlah negara mengganggu tatanan internasional.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·3 menit baca
Amerika Serikat mengakui bahwa kemampuan China membangun senjata nuklir kini amat pesat. Sementara China sudah berulang kali tidak ingin terlibat perundingan nuklir dengan AS dan Rusia.
Itulah sebabnya, seperti dilaporkan harian ini, Jumat (2/10/2020), AS menggalang dukungan untuk mendesak China agar mau merundingkan kesepakatan pengendalian senjata nuklir.
Washington telah berulang kali mengajak China ikut bergabung dalam perundingan trilateral untuk memperluas kesepakatan New START, pakta persenjataan nuklir AS-Rusia yang akan berakhir pada Februari 2021. Beijing menolaknya karena menilai itu hanya akal-akalan untuk mengalihkan perhatian dan alasan AS mundur dari New START.
Beberapa waktu lalu, Beijing pernah bersedia berpartisipasi dalam perundingan trilateral itu. Namun, China mengajukan satu syarat, yaitu AS harus mau mengurangi jumlah simpanan hulu ledak nuklirnya hingga sebanyak simpanan China.
Syarat itu bukan perkara mudah bagi Washington karena simpanan nuklir AS diperkirakan mencapai 20 kali jumlah yang dimiliki China. Sementara AS dan Rusia menguasai 90 persen dari total senjata nuklir dunia.
Mengapa senjata nuklir harus dikendalikan? Sudah 75 tahun lalu, yakni 6 dan 9 Agustus 1945, AS menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang.
Dua operasi itu membawa bencana kemanusiaan, ekonomi, kesehatan, dan ekologi paling hebat. Sekitar 200.000 orang tewas akibat penggunaan senjata nuklir masa perang untuk pertama dan terakhir dalam sejarah itu.
Namun, sejak itu pula umat manusia masih hidup di bawah bayang-bayang ancaman kekuatan destruktif mengerikan senjata nuklir. Apalagi, hingga kini, sedikitnya delapan negara mengakui (termasuk AS, China, dan Rusia) dan satu lagi (Israel) diyakini memiliki senjata nuklir itu.
Meski nuklir tidak lagi digunakan dalam perang, pemilikan senjata nuklir oleh sejumlah negara mengganggu tatanan internasional. Aktivitas nuklir Iran dan Korea Utara dalam dua atau tiga tahun ini membuat dunia cemas.
Iran, misalnya, kembali meningkatkan program nuklirnya setelah AS secara sepihak pada Mei 2018 keluar dari kesepakatan nuklir yang telah diteken bersama dengan enam negara besar pada Juli 2015.
Washington lebih mengkhawatirkan China karena Beijing tidak terikat dengan Pakta Pengendalian Senjata Nuklir Jarak Menengah atau Intermediate-range Nuclear Forces (INF).
”Kebangkitan China sebagai negara adidaya semakin didukung oleh modernisasi persenjataannya dengan cepat,” tulis Nobumasa Akiyama, profesor hubungan internasional di Universitas Hitotsubashi, Tokyo, Jepang, di situs Nature.
”Sekarang langit semakin gelap. Pada 2019, pakta INF antara AS-Rusia kolaps sehingga membuka perlombaan senjata baru untuk jarak tempuh 500-5.500 kilometer,” kata mantan pejabat di Misi Tetap Jepang bagi Organisasi Internasional di Vienna, Austria, antara 2016 dan 2018, itu.
Kondisi di atas membuat regulasi yang sudah ada menjadi tidak relevan. Cara berpikir diplomatis baru tentang keamanan nuklir dan pengendalian senjata barangkali sangat dibutuhkan.
Menurut Nobumasa, peneliti dan pakar keamanan perlu menemukan strategis pencegahan yang dapat diterima oleh tiga negara, yaitu AS, Rusia, dan China.
Pengendalian senjata nuklir kini berada pada titik krusial. Sisi positifnya, para pemimpin dunia semakin vokal mendorong penghapusan senjata pemusnah massal itu. Sayangnya, geopolitik saat ini tidak benar-benar mendukung hal itu sehingga isu pembatasan senjata nuklir sebatas retorika.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres berpendapat, pembatasan atau penghapusan senjata nuklir sangat penting untuk menyelamatkan umat manusia.
Paus Fransiskus saat ke Nagasaki dan Hiroshima, pada November 2019, mengkritik konsep pencegahan nuklir karena menawarkan ”rasa aman palsu” yang disokong oleh ”ketakutan dan ketidakpercayaan”. (PASCAL S BIN SAJU)