AS Jatuhkan Sanksi Baru pada Sektor Perbankan Iran
Sanksi terbaru itu akan kian menyulitkan bank-bank asing bertransaksi dengan Iran, bahkan untuk alasan kemanusiaan sekalipun.
Oleh
Kris Mada
·4 menit baca
WASHINGTON, JUMAT — Amerika Serikat menjatuhkan sanksi terbaru terhadap sektor keuangan Iran, Kamis (8/10/2020) waktu setempat atau Jumat dini hari WIB, dengan menarget 18 bank Iran, sebagian bagian dari upaya Washington meningkatkan tekanan kepada Teheran beberapa pekan menjelang pemilu AS. Departemen Luar Negeri AS memakai alasan lama dengan menyebut 18 lembaga keuangan itu terlibat dalam transaksi keuangan untuk mendukung pengembangan senjata nuklir Iran.
Dengan sanksi terbaru itu, Washington membekukan aset-aset 18 bank Iran di AS, melarang warga dan perusahaan AS untuk berhubungan dengan mereka, sekaligus memberlakukan sanksi tambahan terhadap pihak mana pun yang menjalin bisnis dengan mereka. Bank-bank asing yang berhubungan dengan bank-bank Iran itu terancam kehilangan akses pada pasar dan sistem keuangan AS.
Dalam pernyataannya, Departemen Keuangan AS mengatakan, pelarangan dalam sanksi terbaru tersebut tidak berlaku bagi transaksi penjualan komoditas pertanian, makanan, obat-obatan, atau perlengkapan medis kepada Iran.
Meski demikian, Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif menuding AS berusaha menghancurkan sisa saluran keuangan yang bisa digunakan Iran untuk membeli makanan dan obat selama pandemi. ”Warga Iran akan bertahan dari kekejaman ini. Persekongkolan untuk membuat masyarakat kelaparan adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Pelaku dan pihak yang membantu, menahan uang kami, akan menghadapi keadilan,” tulisnya di Twitter.
Dalam pengumuman Deplu AS, tidak disebutkan daftar lembaga yang disanksi. Kantor berita Associated Press mendapat informasi bahwa lembaga yang disanksi adalah Amin Investment Bank, Bank Keshavarzi Iran, Bank Maskan, Bank Refah Kargaran, Bank-e Shahr, Eghtesad Novin Bank, Gharzolhasaneh Resalat Bank, Hekmat Iranian Bank, Iran Zamin Bank, Karafarin Bank, Khavarmianeh Bank, Mehr Iran Credit Union Bank, Pasargad Bank, Saman Bank, Sarmayeh Bank, Tosee Taavon Bank, serta Tourism Bank dan Islamic Regional Cooperation Bank.
Lembaga-lembaga keuangan tersebut juga dinyatakan terlibat transaksi untuk mendukung terorisme yang didanai Iran. Karena itu, lembaga-lembaga keuangan tersebut dijadikan sasaran Instruksi Presiden (Inpres) AS Nomor 13902.
Dalam Inpres No 13902, seluruh pihak yang menjadi sasaran sanksi dilarang menggunakan layanan sistem keuangan AS. Seluruh asetnya di AS juga dibekukan. Pihak mana pun dilarang menggunakan layanan keuangan AS untuk bertransaksi dengan pihak-pihak yang masuk daftar sanksi.
Larangan penggunaan layanan keuangan paling menyulitkan. Sebab, kini 70 persen transaksi global masih menggunakan dollar AS. Dengan demikian, transaksi-transaksi itu harus diproses oleh sistem keuangan AS.
Deplu AS beralasan, lembaga keuangan yang masuk daftar sanksi itu terlibat dalam penyaluran 4 miliar dollar AS yang dipakai untuk belanja militer 2018-2019. Belanja itu dinyatakan atas perintah Pimpinan Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.
Meski menjatuhkan sanksi yang kian menyulitkan Iran, AS berkeras kebijakan itu demi membantu rakyat Iran. ”Kami berkomitmen untuk terus memberikan akses rakyat Iran terhadap bantuan kemanusiaan dan kebutuhan penting lain. Kami menawarkan bantuan AS kepada Iran untuk menghadapi Covid-19,” demikian tertulis dalam pernyataan itu.
Propaganda politik
Gubernur Bank Sentral Iran Abdolnaser Hemmati menyebut sanksi itu sebagai propaganda politik. ”Alih-alih menghasilkan dampak ekonomi, manuver AS hanya demi kepentingan politik dalam negeri dan menunjukkan kepalsuan klaim HAM serta kemanusiaan pimpinan AS,” ujarnya.
Sanksi terbaru itu akan kian menyulitkan bank-bank asing bertransaksi dengan Iran. Bahkan, untuk alasan kemanusiaan sekalipun akan sulit. ”Sanksi ini akan menyulitkan Presiden AS di masa mendatang untuk membatalkan tindakan-tindakan itu dan terlibat dalam diplomasi nuklir,” kata Elizabeth Rosenberg dari kelompok think tank, Center for a New American Security, menyinggung kemungkinan calon presiden dari Partai Demokrat, Joe Biden, dapat mengalahkan capres dari Republik, Trump, dalam pemilu 3 November nanti.
Biden, wakil presiden pada era pemerintahan Barack Obama yang ikut merundingkan kesepakatan nuklir Iran, pernah mengungkapkan, ia bakal membawa kembali AS ke dalam kesepakatan nuklir Iran jika Iran pertama-tama mematuhi kesepakatan tersebut.
Ketegangan antara Washington dan Teheran meningkat setelah Trump secara unilateral pada 2018 keluar dari kesepakatan nuklir Iran. Langkah itu disusul dengan pemberlakuan kembali sanksi-sanksi terhadap Iran.
Direktur Future of Iran Initiative pada Atlantic Council Barbara Slavin menyebut kebijakan AS sebagai politik luar negeri penuh kesadisan dan bertujuan mengacau. Kebijakan itu akan membuat Iran semakin mendekat ke China.
”Para pemburu Iran dan pemerintahan Trump menggunakan pekan terakhir periode pemerintahan mereka untuk meningkatkan strategi gagal yang disebut ’tekanan maksimum’, yang hanya akan semakin menyulitkan warga Iran, memprovokasi tambahan ketidakstabilan kawasan, dan mengancam sanksi berdasarkan dollar AS dalam jangka panjang,” ujarnya. (AP/REUTERS)