Sebagian orang di negara-negara tertentu diperkirakan masih memercayai informasi keliru soal virus korona. Hal ini akan membuat mereka semakin enggan pada vaksinasi.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
Dunia sangat berharap pada vaksin untuk mengendalikan pandemi Covid-19 dengan cepat. Namun, vaksin tidaklah menyelesaikan seluruh persoalan pandemi. Ada konsekuensi teknis yang tidak mudah yang menyertai rencana itu.
Di luar konsekuensi teknis distribusi vaksin, ada hal lain yang turut memengaruhi pemahaman orang terhadap Covid-19, termasuk kesediaan mereka menjalani vaksinasi Covid-19, yaitu ”infodemi”. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut berita bohong soal Covid-19 sebagai infodemi (information pandemic/infodemic). Akibat infodemi ini, publik kesulitan mengidentifikasi hal yang benar dan salah.
Sejak lama WHO memperingatkan, infodemi ini bisa membuat orang sulit mendapatkan informasi yang benar soal Covid-19.
Sebagian orang di negara-negara tertentu kemungkinan masih memercayai informasi keliru soal virus korona sehingga membuat mereka semakin enggan pada vaksinasi.
Studi di Inggris, Amerika Serikat, Irlandia, Meksiko, dan Spanyol yang dilakukan para peneliti di Inggris dan Belanda menemukan bahwa meskipun mayoritas orang menolak cerita teori konspirasi dalam Covid-19, beberapa cerita tentang wabah itu telah berakar di ”kelompok penting” masyarakat.
Cerita dari teori konspirasi yang banyak diyakini kebenarannya oleh mayoritas partisipan adalah klaim bahwa virus korona merupakan produk rekayasa dari sebuah laboratorium di kota Wuhan.
Sebanyak 22-23 persen responden di Inggris dan AS menilai pernyataan soal virus yang sengaja dibuat di Wuhan itu ”dapat diandalkan”. Keyakinan responden di Meksiko terhadap klaim itu 33 persen dan responden di Spanyol 37 persen.
Berita bohong bahwa gejala Covid-19 diperburuk oleh jaringan seluler 5G dianggap diandalkan oleh 16 persen responden di Meksiko dan Spanyol, 12 persen di Irlandia, serta 8 persen di Inggris dan AS.
Para peneliti melakukan studi tersebut pada April dan Mei di Inggris dengan total 2.200 responden ditambah masing-masing 700 responden di AS, Meksiko, Spanyol, dan Irlandia.
Studi yang dipublikasi di jurnal Royal Society Open Science itu, menurut salah satu peneliti sekaligus Direktur Cambridge University Social Decision-Making Lab, Sander van der Linden, menemukan ”hubungan yang jelas” antara memercayai konspirasi virus korona dan keraguan vaksinasi.
”Selain menandai klaim-klaim palsu, pemerintah dan perusahaan teknologi juga harus mencari cara untuk meningkatkan literasi media digital masyarakat,” ujar Sander. ”Jika tidak, mengembangkan vaksin yang efektif bisa jadi tidak akan cukup.”
Studi tersebut juga menemukan bahwa dalam skala persepsi 1-7, setiap peningkatan sepertujuh kepercayaan pada berita bohong berhubungan dengan penurunan 23 persen kesediaan untuk divaksin. Sebaliknya, kenaikan sepertujuh dalam tingkat kepercayaan terhadap ilmuwan berhubungan dengan kenaikan 73 persen kesediaan divaksin.
Peneliti utama studi tersebut, Jon Roozenbeek dari Department of Psychology Cambridge, mengatakan bahwa orang menghadapi ”banjir statistik” selama pandemi ini. ”Membangun keterampilan numerik untuk memilah informasi daring menjadi penting untuk menekan infodemi dan mendorong perilaku kesehatan masyarakat yang baik,” katanya.
Para peneliti menemukan, kepercayaan yang tinggi terhadap para pakar dan literasi numerik berhubungan dengan kepercayaan terhadap misinformasi secara ”signifikan dan konsisten” di seluruh negara lokasi penelitian.
Responden di Meksiko, Spanyol, dan AS yang memercayai kemampuan politisi untuk mengatasi krisis cenderung juga percaya teori konspirasi. Namun, tidak demikian halnya dengan responden di Inggris dan Irlandia.
Studi dari Cornell University, awal Oktober ini, menemukan bahwa Presiden AS Donald Trump merupakan pendorong terbesar misinformasi Covid-19. Promosi atas pengobatan yang ia terima, yang oleh para peneliti disebut ”obat ajaib”, menjadi salah satu contohnya.
Bulan ini juga, Facebook mengumumkan larangan akun-akun yang terkait Qanon, gerakan konspirasi yang berpusat pada keyakinan tidak berdasar bahwa dunia dijalankan oleh komplotan rahasia pemuja setan.
Pengikut gerakan itu telah menuduh tanpa bukti bahwa virus korona merupakan konspirasi untuk mengendalikan orang melalui vaksinasi dan jaringan 5G. (AFP)