Massa Demonstran di Bangkok Abaikan Keadaan Darurat
Massa menuntut perubahan konstitusi untuk memastikan raja benar-benar tunduk. Massa juga meminta setiap anggota parlemen dipilih lewat pemilu.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
Demonstrasi menentang kekuasaan dan menuntut perubahan konstitusi di Bangkok, Thailand, terus membesar. Massa bahkan melanggar dekrit pemberlakuan keadaan darurat yang ketat.
BANGKOK, KAMIS — Massa pengunjuk rasa prodemokrasi di Bangkok mengabaikan dekrit keadaan darurat dari Pemerintah Thailand. Mereka, Kamis (15/10/2020), tetap berdemonstrasi di sekitar persimpangan Ratchaprasong sehingga pusat kota Bangkok itu macet total. Di sana terdapat pusat-pusat perbelanjaan yang biasanya ramai dikunjungi warga dan turis.
Para demonstran menerobos barikade polisi antihuru-hara yang sudah bersiap sejak Kamis pagi. Bangkok Post melaporkan, perintang dipasang di beberapa sisi kota untuk mencegah pengunjuk rasa datang. Walakin, demonstran tetap berkumpul di salah satu persimpangan utama di pusat ibu kota Thailand itu.
Polisi beberapa kali berusaha membubarkan pengunjuk rasa. Akan tetapi, pengunjuk rasa kembali berkumpul dan jumlahnya semakin banyak, Kamis menjelang sore. Dalam video yang beredar di media sosial, tampak pengunjuk rasa memadati jalan selebar lebih dari 20 meter dan panjang lebih dari 100 meter.
Semua berdiri dalam jarak tidak sampai 50 sentimeter di antara satu dengan lainnya. Dengan kata lain, mereka tidak menerapkan jaga jarak minimal yang dianjurkan di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang. Seperti di banyak negara, Thailand juga masih mencatatkan kasus Covid-19.
Mereka tetap berunjuk rasa meski sudah ada penangkapan sejumlah orang terkait unjuk rasa dan penetapan keadaan darurat. Bahkan, mereka mengejek polisi yang membacakan aturan soal keadaan darurat yang ditetapkan pada Kamis dini hari. Mereka menuntut pembebasan sedikitnya 22 orang yang ditangkap pada Kamis pagi.
Selain menuntut pembebasan rekannya, unjuk rasa juga digelar untuk memperingati demonstrasi berdarah pada Oktober 1973 dan Oktober 1976. Seperti pada 1973 dan 1976, demonstrasi 2020 juga dipelopori para mahasiswa Thammasat University.
Salah satunya adalah Panusaya ”Rung” Sithijirawattanakul, yang ditangkap bersama Nathchanon Pairoj di salah satu hotel di Bangkok pada Kamis pagi. Selain mereka, polisi juga menangkap puluhan orang yang berkumpul di dekat Ratchaprasong pada Kamis pagi.
Video penangkapan mereka beredar di media sosial. Bahkan, ada tayangan langsung melalui media sosial kala Panusaya dan Nathchanon ditangkap. Tidak diketahui siapa yang merekam dan menyiarkannya.
Pemerintah Thailand menetapkan keadaan darurat pada Kamis dini hari. Selama keadaan darurat, siapa pun dilarang berkumpul jika pesertanya lebih dari empat orang. Selain menangkap pelanggar, aparat juga akan menyita semua peralatan elektronik pelanggar keadaan darurat.
Penghinaan Raja
Keadaan darurat diumumkan setelah ribuan pengunjuk rasa turun ke jalan sejak beberapa waktu terakhir. Pada Rabu siang, sejumlah pengunjuk rasa berusaha menghadang rombongan kendaraan Raja Maha Vajiralongkorn dan keluarganya.
Kala mobil-mobil itu lewat, sebagian pengunjuk rasa menunjukkan simbol 3 jari yang merupakan lambang perlawanan para pengunjuk rasa selama beberapa waktu terakhir. Belum pernah ada tantangan terbuka terhadap keluarga kerajaan seperti terjadi pada Rabu selumbari.
Juru bicara pemerintah Anucha Burapachaisri mengatakan, Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha meminta polisi mendakwa pemerintah yang menghalangi iringan kendaraan kerajaan. Dakwaan juga akan dikenakan kepada pihak-pihak yang mencemarkan monarki. ”Mereka harus diproses secara hukum, tanpa terkecuali,” ujarnya.
Penghinaan terhadap raja dan anggota keluarga kerajaan Thailand adalah pidana yang bisa berujung penjara hingga 15 tahun. Aturan itu ditetapkan lewat undang-undang yang dikenal sebagai Lese Majeste. UU dapat dikenakan kepada siapa pun dan di mana pun yang dinilai menghina raja dan keluarga kerajaan.
Dalam beberapa bulan terakhir, pengunjuk rasa mendesak UU itu dicabut atau setidaknya direvisi. Mereka juga meminta perubahan konstitusi. September lalu, enam versi amendemen dibahas di parlemen. Setelah rapat beberapa kali, parlemen memutuskan membentuk komite untuk mempelajari beragam usulan amendemen itu.
Dalam tuntutan pengunjuk rasa, perubahan konstitusi termasuk isu sensitif, yakni soal keluarga kerajaan. Pengunjuk rasa menuntut reformasi monarki, membatasi kewenangan senator yang tidak dipilih melalui pemilu, dan pemilu sebagai cara penunjukan jabatan politik.
Tuntutan mereka terutama ditolak oleh 250 senator yang ditunjuk pemerintah. Padahal, amendemen membutuhkan dukungan dari sedikitnya 84 senator. Para senator dipandang sebagai penolak utama perubahan. Sebab, perubahan itu akan membuat mereka tidak bisa lagi menduduki kursinya tanpa melalui pemilu.
Tuntutan amendemen disampaikan beberapa tahun setelah Raja memutuskan mengalihkan pengelolaan Badan Kekayaan Kerajaan dari Kementerian Keuangan ke kendali pribadinya. Badan itu mengelola aset bernilai sedikitnya 30 miliar dollar AS. Asetnya antara lain saham-saham mayoritas di sejumlah perusahaan dengan pendapatan miliaran dollar AS per tahun.
Raja juga memutuskan mengambil alih komando sejumlah unit tentara yang jumlah awal kekuatannya 5.000 orang. Hanya pasukan itu boleh ditempatkan di ibu kota. Sementara unit-unit lain ditempatkan di luar Bangkok.
Sejumlah pengunjuk rasa menyatakan kepada The Economist, mereka tidak ingin menggulingkan Raja. Mereka hanya ingin Raja, yang lebih banyak menghabiskan waktu di Jerman dibandingkan dengan di Thailand, tunduk pada konstitusi.
Mereka menilai Raja kini berusaha mengembalikan monarki absolut yang diakhiri pada 1932. Monarki absolut berakhir di Thailand setelah kudeta pada 1932. (AFP/REUTERS)