Amerika Serikat terus memperkokoh kerja sama pertahanan dengan Taiwan. Salah satunya dengan ijin penjualan pesawat tanpa awak MQ-9 Sea Guardian.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
WASHINGTON, SELASA — Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat memberikan lampu hijau penjualan empat pesawat tanpa awak berteknologi tinggi buatan Amerika Serikat ke Taiwan. Keempat pesawat tanpa awak itu adalah MQ-9 SeaGuardian buatan General Atomic Aeronautical System, Inc di San Diego, California. Persetujuan itu tercantum dalam surat pemberitahuan formal yang dikirimkan ke kongres. Ini merupakan langkah terakhir sebelum finalisasi penjualan persenjataan AS ke Taiwan senilai 600 juta dollar AS itu.
Informasi ini diumumkan Kementerian Pertahanan AS, Selasa (3/11/2020). Setelah menerima surat pemberitahuan formal itu, kongres mempunyai waktu 30 hari untuk menolak penjualan apa pun. Namun, kemungkinan kecil rencana penjualan itu akan ditolak karena mayoritas bipartisan mendukung pertahanan Taiwan.
Kesepakatan penjualan persenjataan itu akan menjadi penjualan pertama sejak kebijakan ketat AS tentang ekspor teknologi pesawat tanpa awak yang canggih dilonggarkan oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump.
Selain pesawat tanpa awak itu, selama beberapa pekan terakhir ini AS juga sedang memproses empat transaksi penjualan peralatan militer canggih lainnya ke Taiwan. Total nilai penjualan itu mencapai 5 miliar dollar AS. Penjualan ini membuat China kesal karena China menganggap Taiwan bagian dari wilayahnya yang suatu saat nanti akan kembali bersatu dengan cara apa pun. Bahkan, jika perlu dengan cara-cara kekerasan. AS menganggap posisi Taiwan penting sebagai penjaga terdepan demokrasi. Secara hukum, AS juga harus membantu menyediakan sarana Taiwan mempertahankan diri.
Kementerian Pertahanan Nasional China mendesak AS segera membatalkan rencana penjualan persenjataan ke Taiwan itu sekaligus menghentikan kerja sama militer AS dan Taiwan serta tidak lagi menjual persenjataan apa pun ke Taiwan.
Sebaliknya, Taiwan melalui Kemlu Taiwan menyampaikan apresiasinya terhadap Pemerintah AS karena memberikan jaminan keamanan. Dengan persenjataan yang dibeli dari AS, Taiwan semakin percaya diri akan bisa meningkatkan kemampuan pertahanan Taiwan.
Keempat pesawat tanpa awak MQ-9 SeaGuardian buatan General Atomic Aeronautical System, Inc di San Diego, California, itu akan dilengkapi juga dengan stasiun peluncur, suku cadang, dan pelatihan. Pesawat tanpa awak itu bisa dipersenjatai dan dilengkapi dengan peralatan pengamatan. Data September lalu menunjukkan penjualan sistem persenjataan AS yang besar-besaran ke Taiwan sedang diproses ekspornya oleh AS.
Pada 21 Oktober lalu, Kemlu AS mengirimkan pemberitahuan ke kongres terkait penjualan persenjataan ke Taiwan. Persenjataan yang dimaksud, antara lain, peluncur roket berbasis truk yang dibuat Lockheed Martin Corp, rudal Sistem Roket (HIMARS) Standoff Land Attack Missile Expanded Response (SLAM-ER), peralatan lain terkait yang dibuat Boeing Co, dan pembungkus sensor eksternal untuk pesawat jet F-16.
Pada 26 Oktober lalu, AS juga sedang memproses usulan penjualan 100 rudal jelajah dan 400 rudal antikapal Harpoon berbasis darat buatan Boeing Co.
Merasa terancam
Taiwan merasa selalu terancam dengan China apalagi dengan seringnya pesawat tempur China mendekati wilayah Taiwan. Selama ini Taiwan belajar hidup dengan ancaman para pemimpin otoriter China yang sesumbar akan mengambil alih kembali Taiwan. Gesekan sengit antara China dan Taiwan pernah terjadi pada pertengahan 1990-an saat China menembakkan rudal ke Selat Taiwan setelah hubungan keduanya semakin tegang.
”China marah pada Taiwan jadi perilakunya makin kasar. Saya khawatir dalam waktu dekat akan terjadi konflik militer,” kata mahasiswa di National Quemoy University di Pulau Kinmen, Wang Jui-sheng.
Pulau Kinmen dengan populasi 140.000 jiwa itu hanya berjarak 3,2 kilometer dari China dan berada dalam kekuasaan pasukan nasionalis di akhir perang sipil China pada 1949 yang kemudian membentuk China dan Taiwan modern. Jika China menyeberangi Selat Taiwan, mereka pasti harus melewati Kinmen terlebih dahulu. Apabila betul terjadi perang, sudah pasti AS akan terlibat dan akan terjadi perang militer antara dua negara yang memiliki kekuatan nuklir.
Direktur Lembaga Kajian Institut Project 2049, Ian Easton, mengatakan, dunia mengabaikan ketegangan yang terjadi di Selat Taiwan. ”Ini saat-saat paling berbahaya dan tidak stabil,” ujarnya.
Selama ini, China selalu berusaha menarik perhatian dan minat Taiwan untuk kembali bersatu dengan China. Namun, beberapa tahun terakhir China mulai tak ramah. Apalagi setelah Tsai Ing-wen terpilih sebagai presiden Taiwan, empat tahun lalu. Ing-wen menegaskan Taiwan adalah negara berdaulat dan bukan bagian dari ”satu China”. (REUTERS/AFP/AP)