Mengapa Trump Bersikeras Tak Mau Mengakui Kekalahannya di Pemilu AS?
Psikolog menyebut Trump seorang narsis yang ganas. Orang seperti itu akan menunjukkan narsisme berlebihan, perilaku antisosial, paranoid, dan kesadisan. Trump bisa menempuh taktik bumi hangus dalam menghadapi kekalahan.
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
Dalam sejarah politik Amerika Serikat, calon presiden segera menelepon pesaingnya jika hasil penghitungan sementara menunjukkan pesaingnya itu menang. Tradisi ini belum terlihat pada Pemilu 2020.
Selepas gagal terpilih lagi lewat Pemilu 1992, George HW Bush serta-merta menelepon Bill Clinton. Bush menerima kekalahan karena kesetiaannya pada sistem politik yang telah mengembangkan AS selama dua abad.
Al Gore, capres dari Demokrat dalam Pemilu 2000, malah dua kali mengaku kalah kepada George W Bush. Pengakuan pertama disampaikan setelah hasil penghitungan sementara diketahui. Pengakuan kedua disampaikan selepas Mahkamah Agung menetapkan Bush sebagai pemenang. Pemilu 2000 dikenang sebagai salah satu pemilu terketat karena selisih suara penentu kemenangan tak sampai 1.000.
Langkah serupa dilakukan mendiang John McCain setelah dikalahkan Barack Obama pada Pemilu 2008. ”Rakyat Amerika telah berbicara dan menyampaikan sangat jelas. Beberapa saat lalu, saya mendapat kehormatan menghubungi Senator Barack Obama untuk memberikan selamat atas keterpilihannya sebagai presiden untuk negara yang sama-sama kami cintai,” tutur McCain.
”Saya mendesak semua bangsa Amerika yang mendukung saya untuk tidak saja memberikan selamat, tetapi juga menawarkan niat baik dan kerja sama untuk maju bersama,” ujar McCain kala itu.
Pada Pemilu 2016, Hillary Clinton segera mengakui kekalahan dari Donald Trump sehari selepas pemungutan suara. Sebab, penghitungan sementara menunjukkan Trump mendapat lebih banyak suara perwakilan. Hillary tidak menunggu hasil resmi ditetapkan.
Sebaliknya, hingga sepekan setelah pemungutan suara Pemilu 2020 selesai dan hasil penghitungan sementara menunjukkan kemenangan Joe Biden, Trump tetap menolak kalah. Bahkan, ia menyatakan memenangi Pemilu 2020. Tak lupa, ia menyebut pesaingnya mencurangi pemilu.
”Kita akan dalam situasi berbahaya karena presiden menghabiskan berbulan-bulan untuk membahas sistem dibanjiri kecurangan dan tidak sah. Sulit membedakan kesalahan pemilu dengan kecurangan yang disengaja,” kata Franita Tolson, pakar hukum University of Southern, AS.
Mental otoritarian
Sejumlah pakar kesehatan jiwa menyebut, ciri penguasa otoritarian yang terlihat dari cara Trump berkuasa dan memerintah membuat Trump sulit mengakui kekalahan dari Biden. Hal itu bisa membuat masa-masa menjelang pelantikan presiden baru sebagai periode berbahaya bagi AS.
Sejarawan di New York University, Ruth Ben-Ghiat, menyebut Trump telah mencoba menerapkan pemerintahan otoriter yang didasarkan pada kesombongan, kebrutalan, dan gagasan bahwa ia harus dibela dari musuh. ”Lebih mudah menyebut pemilu curang dibandingkan dengan mengakui kebijakannya membuat orang-orang di sekitar dia bertentangan dengannya,” ujarnya.
Trump disebutnya akan berupaya menunjukkan dirinya sebagai korban persekongkolan. ”Dia akan meneruskan perilaku ini dan menunda pengakuan kekalahan. Perhatikan apa yang akan dilakukannya selama beberapa bulan ke depan,” ujarnya.
Psikolog di Baltimore, John Gartner, menyebut Trump sebagai seorang narsis yang ganas. Orang seperti itu akan menunjukkan narsisme berlebihan, perilaku antisosial, paranoid, dan kesadisan. Gartner khawatir Trump akan menempuh taktik bumi hangus sebagai cara menghadapi kekalahan. Gartner berharap Trump kehilangan sokongan pendukungnya sehingga mereka tidak melakukan kerusakan secara meluas.
Melepaskan jabatan tinggi memang tak mudah, terutama bagi Trump. Kini, ia menghadapi utang bernilai ratusan juta dollar AS, gugatan pencemaran nama baik dan pelecehan seksual dari sejumlah orang, serta peluang penyelidikan pidana terkait bisnisnya.
Selain itu, sejumlah politisi Republikan masih mengikuti Trump dengan tidak mengakui kemenangan Biden. Penyebabnya, mereka terpilih dari daerah-daerah yang sangat mendukung Trump. Meski kalah, perolehan suara Trump di basis Republikan bertambah. Di Florida saja, suaranya bertambah 1 juta. Para politisi Republikan tidak mau memangkas peluang keterpilihan ulang di pemilu-pemilu selanjutnya gara-gara dianggap tidak membela Trump pada Pemilu 2020.
Jika Trump terus menolak dan sampai 20 Januari 2021 belum ada presiden yang bisa dilantik, jabatan itu akan diduduki sementara oleh ketua DPR. Hal itu berarti Nancy Pelosi, politisi Demokrat yang berpeluang lagi menjadi Ketua DPR, akan menjadi penjabat Presiden AS. Tentu Trump juga tidak akan mau itu terjadi. (AP/AFP)