Sekelumit Soal Keyakinan di Balik Kemenangan Biden-Harris
Keyakinan dan kegigihan akan membuka jalan dengan sendirinya. Dengan keyakinan dan integritas diri, Biden-Harris terpilih menjadi presiden dan wakil presiden.
Saya atau kita bukan siapa-siapa. Kita diam saja karena tidak akan ada kesempatan untuk berkiprah.
Kalimat seperti ini sering menyergap seseorang, yang terbenam dengan perasaan bahwa dia bukan siapa-siapa. Sejatinya, dalam situasi apa pun, harapan selalu ada dan jangan pernah menyerah.
Perjalanan Presiden Amerika Serikat terpilih Joe Bidan dan wakilnya, Kamala Harris, membuktikan itu. Mereka memiliki keyakinan bisa menjadi presiden dan wakil presiden.
Sebenarnya ada tantangan bagi mereka untuk maju di dunia politik. Dulu, di AS dikenal istilah WASP untuk para pejabat tinggi hingga presidennya. Itu adalah singkatan dari white, anglo saxon, protestant. Disederhanakan menjadi kulit putih, keturunan Anglo saxon, dan Protestan. Ini ungkapan yang tidak diakui formil, tetapi secara empiris nyata.
”Lima puluh tahun lalu (dekade 1960-an), petinggi militer, diplomat, dan pejabat tinggi didominasi WASP,” demikian dituliskan laman The National Public Radio, edisi 19 September 2012.
”Kualifikasinya adalah putih, keturunan Anglo saxon yang Protestan,” demikian dituliskan Joseph Epstein, seorang kritikus budaya dalam bukunya, Snobbery. ”Jika seseorang adalah Katolik, atau jelas seorang Irlandia yang Katolik, atau Yahudi, lupakan saja; juga jika seseorang adalah kulit hitam, bahkan jangan berpikir tentang itu.”
Hal serupa dituliskan di laman The Christian Science Monitor pada 19 Agustus 2012. ”Dua puluh tahun lalu hal itu adalah sesuatu yang sulit,” kata John O’Sullivan, seorang editor di media National Review. Aneh jika yang maju adalah non-WASP.
Aturannya begitu kaku sehingga pernah Barry Goldwater, Senator Arizona dan nomine calon presiden 1964 dari Republikan, tidak diizinkan bermain golf di luar Washington DC karena keanggotaannya eksklusif. ”Saya setengah Yahudi, jadi saya tidak bisa main golf,” kata Goldwater, seperti dituliskan dalam studi yang dijalankan E Digby Baltzell pada 1964 tentang ”The Protestant Establishment”.
Perubahan demografi
Situasi berubah karena perubahan demografi dan pendidikan. Ini membuka jalan bagi hadirnya Barack Obama sebagai Senator AS yang kemudian menjadi Presiden AS pada 2008. Ada Mitt Romney, saat Republikan mengajukannya sebagai capres AS pada Pemilu 2012. Di luar mereka ini ada Paul Ryan, John Boehner, dan para anggota Kongres AS non-WASP.
Baca juga: Kemenangan Biden-Harris Sangat Krusial dan Perlu bagi Dunia
”Kini, tidak ada lagi satu kelompok yang mendominasi lembaga tertentu,” kata Guy-Uriel Charles, Direktur Duke Law Center on Law, Race, and Politics. ”Ini merefleksikan bahwa kita menjadi masyarakat yang lebih terbuka dari sebelumnya, tetapi juga karena kita merupakan masyarakat yang lebih beraneka ragam.”
Keterbukan, dikatakan sudah mulai terjadi sejak Malaise 1929 dan Perang Dunia II. Kompetensi dan keunggulan seseorang mulai menjadi hal yang diutamakan. ”Presiden Franklin D Roosevelt menunjuk lebih banyak Katolik dan Yahudi ke dalam kepresidenannya jika dibandingkan dengan presiden sebelumnya,” kata Andrew Preston, sejarawan dari Cambridge University.
Dekade 1960-an hal itu semakin nyata. Seorang Katolik pertama terpilih menjadi Presiden AS, John F Kennedy. Perjuangan hak-hak sipil mulai membuka hambatan bagi kulit hitam. Hukum keimigrasian pada 1965 mengakhiri sistem kuota yang selama beberapa dekade sebelumnya lebih mengutamakan imigran asal Eropa Barat.
”Imigran asal Amerika Latin dan Asia, banyak yang Katolik atau setidaknya bukan Protestan, mulai berdatangan,” kata David Hollinger, sejarawan dari University of California, Berkeley.
”Forum on Religion & Public Life”, afiliasi The Pew Research Center, melaporkan bahwa ”Sedikit bukti yang memperlihatkan bahwa keyakinan seseorang akan berdampak pada kegagalannya dalam pemilihan.”
Pada Pemilu 2016 juga bermunculan non-WASP, seperti Ilhan Abdullahi Omar yang menjadi anggota DPR AS (Demokrat) mewakili Distrik ke-5 Minnesota. Juga ada Rashida Harbi Tlaib yang menjadi anggota DPR AS (Demokrat) mewakili Distrik ke-13 Michigan.
Non-WASP di Gedung Putih
Setelah periode 2008-2016 (Obama-Biden), kini duet Biden-Harris kembali menjadi penghuni Gedung Putih dan keduanya sama-sama non-WASP. Biden, seorang Katolik dan berdarah Irlandia. ”Dikenal luas bahwa Joe Biden melewatkan masa kecilnya di Scranton, Pennsylvania, sebuah kota yang sangat khas Irlandia,” demikian dituliskan di laman Irish America.
Baca juga: Untuk Pendukung Biden, Jendela Kemenangan Terlihat
Kini, Biden adalah presiden kedua AS yang Katolik. Dalam dirinya ada campuran darah Perancis, Inggris, dan Irlandia. Sementara Harris keturunan dari ibu asal India, Shyamala Gopalan Harris, dan ayahnya John Harris (dosen ekonomi Stanford). Sang ayah seorang keturunan kulit hitam Jamaika (negara di Karibia di bawah otoritas Inggris).
Harris lebih spesifik lagi. Dia perempuan nonputih pertama yang menjadi wapres AS. Dan, juga perempuan pertama yang memasuki Gedung Putih. Harris mengalahkan perjalanan Sarah Palin, perempuan kulit putih Alaska, yang dengan John McCain gagal bersaing pada Pemilu Presiden 2008.
Harris juga melampaui perjuangan para perempuan kulit putih yang pernah mencoba bertarung menuju Gedung Putih. Elizabeth Warren, perempuan kulit putih, tidak berhasil walau sama-sama bersaing pada pencalonan capres pada 2019 dengan Harris dari kubu Demokrat. Hillary Clinton gagal pada Pemilu 2016.
Elizabeth Dole juga termasuk yang mencoba berjuang maju dari Republikan sebagai bakal calon presiden pada Pemilu 2000. Ada lagi Carly Fiorina, pimpinan Hewlett-Packard, juga gagal berlanjut pada bursa pancalonan capres Republikan pada 2016.
Bertalenta dan tekun
Meski sudah terbuka ruang bagi siapa pun untuk maju ke panggung politik AS, sebenarnya dari sudut tradisi politik, keduanya memiliki ruang sempit untuk maju. Mereka rawan menjadi ajang serangan sektarian. Rival di Pemilu 2020, Donald Trump, misalnya menyebut Biden sebagai kiri radikal dan menjuluki Harris sebagai seseorang yang tidak layak memasuki Gedung Putih.
Namun, ada istilah tidak ada yang mustahil. Biden-Harris fokus ke tujuan. Dua tokoh ini dikenal memiliki nurani bagus. Biden bertalenta sebagai pemimpin dan peduli kepada keluarga dan kekeluargaan serta persahabatan. Mantan Presiden Goerge W Bush, misalnya, meyakini Biden, yang dia sebut sebagai sahabat, akan bisa memimpin AS.
Kamala Harris, putri dari ayah-ibu yang sama-sama lulusan UC Berkeley, juga seorang yang bernurani, gigih, dan pejuang. Lulusan hukum dari University of California, Hastings College of the Law, ini dikenal jelimet saat bekerja di kantor kejaksaan di berbagai distrik di California dan kemudian menjadi pimpinan Kantor Kejaksaan California.
Harris mendapatkan perhatian nasional saat mencecar calon hakim agung, Brett Kavanaugh, dalam rapat dengar pendapat di Kongres AS dalam kapasitas Harris sebagai Senator California. Kavanaugh lolos menjadi salah satu hakim di Mahkamah Agung AS, tetapi karena skandalnya terkait pelecehan perempuan di masa mudanya, dia menjadi sorotan besar media. Harris salah satu yang mencecar.
Biden-Harris adalah ikon perjuangan dengan iman dalam dunia politik. Dengan integritas diri, mereka nyatanya terpilih menjadi presiden dan wakil presiden. ”Faith, keep the faith,” kata Biden, kelahiran 1942, dalam pidato kemenangannya. ”Conviction”, istilah untuk sebuah keyakinan pada apa yang diyakini sebagai dasar perjuangan, inilah pegangan Harris, kelahiran 1964.
Keyakinan dan kegigihan akan membuka jalan dengan sendirinya.