Pakar Pertanyakan Penjualan Saham oleh Produsen Vaksin Covid-19
Para petinggi perusahaan farmasi menjual sahamnya setelah saham perusahaan naik gara-gara bisa mengembangkan vaksin Covid-19.
Oleh
Kris Mada
·3 menit baca
PHILADELPHIA, MINGGU — Sejumlah pihak mempertanyakan etika para pejabat atau petinggi perusahaan farmasi yang menjual jatah saham mereka. Dari penjualan saham-saham produsen vaksin Covid-19 itu, mereka meraup ratusan juta dollar AS.
Pengajar di Wharton Business School, Daniel Taylor, mengatakan, tentu saja amat dipahami apabila pimpinan perusahaan besar farmasi didorong untuk segera menghasilkan vaksin yang aman dan dapat diandalkan. Namun, saat mereka akan menjual jatah sahamnya, mereka harus dipastikan dalam kondisi yang sama dengan pihak lain.
”Mereka tidak punya keuntungan dibandingkan dengan investor lain dengan cara memiliki informasi tambahan,” ujar Taylor di Philadelphia, sebagaimana dikutip kantor berita Agence France Presse, Minggu (15/11/2020).
Pendapat tersebut disampaikan setelah Pejabat Eksekutif Tertinggi (CEO) Pfizer, Albert Bourla, mendapatkan 5,6 juta dollar AS dari penjualan jatah sahamnya di perusahaan itu. Waktu penjualan bertepatan dengan hari Pfizer mengumumkan aras kemangkusan calon vaksin Covid-19 yang dikembangkan perusahaan itu mencapai 90 persen. Selepas pengumuman soal keefektifan vaksin, saham Pfizer pun naik.
Rencana lama
Dalam pernyataan Pfizer, Bourla dilaporkan sudah merencanakan penjualan jatah sahamnya sejak Februari 2020. Pada Agustus 2020, Bourla menjadwal ulang rencana itu dan akhirnya diwujudkan pada awal November 2020. Porsi yang dilepas setara dengan 61,8 persen dari keseluruhan jatah saham Bourla di Pfizer.
Dalam data SEC, lembaga pengawas bursa di Amerika Serikat, Bourla masih punya 81.812 saham di Pfizer. Dengan harga per saham yang kini mencapai 38,62 dollar AS, nilai sisa saham Bourla di Pfizer mencapai 3,1 juta dollar AS. Pfizer menyebut jatah saham Bourla dimiliki secara bertahap selama 25 tahun terakhir.
Sebelum Bourla, para pemimpin Moderna dan Novavax lebih dulu menjual jatah saham. Seperti Bourla, pimpinan Moderna dan Novavax menjual saham selepas perusahaan-perusahaan itu mengumumkan perkembangan calon vaksin Covid-19 dan nilai saham naik.
Dari penjualan jatah sahamnya, para pejabat Moderna dan Novavax mendapatkan lebih dari 100 juta dollar AS. Moderna dan Novavax menyebut penjualan saham itu sudah sesuai dengan standar SEC. Penjualannya sudah direncanakan dan disampaikan ke SEC jauh-jauh hari.
Moderna, Novavax, dan Pfizer termasuk perusahaan yang mendapat dana hingga miliaran dollar AS dari Pemerintah AS untuk pengembangan obat dan vaksin Covid-19. Karena itu, penjualan jatah saham oleh para pemimpin perusahaan itu di tengah pandemi dipertanyakan.
”Pertanyaannya adalah, apa yang diketahui para pejabat itu kala menyusun rencana penjualan?” kata Taylor.
Kurang etis
Ia tidak yakin perusahaan farmasi mempertimbangkan risiko reputasi dalam transaksi-transaksi itu. Kini, perusahaan-perusahaan itu disorot publik karena di tengah pandemi. Selain karena menerima subsidi untuk riset, penjualan saham, yang nilainya naik di tengah pandemi, dinilai kurang etis.
Pakar Tata Kelola Perusahaan di University of Colorado, Sanjai Bhagat, menyebut bahwa pejabat utama perusahaan seharusnya tidak boleh mudah menjual jatah sahamnya. Mereka baru boleh menjual saham paling tidak hingga setahun setelah tidak menjabat.
”Mereka mempunyai banyak jatah saham dan opsi saham (hak prioritas untuk membeli saham), menerima insentif untuk mendapatkan harga saham setinggi yang mereka mau, bahkan dengan tidak sepenuhnya jujur kepada investor umum,” ujar Bhagat.
Menurut Bhagat, ia mendorong penghapusan faktor penggoda. ”Tidak melakukan hal ilegal bukanlah standar untuk mereka, khususnya pada masa sekarang, kala khalayak berharap mereka bertindak secara bertanggung jawab,” ujarnya.
SEC belum berkomentar soal penjualan saham-saham pribadi para pejabat perusahaan farmasi. Pejabat SEC, Jay Clayton, pernah menyatakan harapannya bahwa para pejabat perusahaan menghormati praktik tata kelola yang baik.
Pandemi menjadi perhatian karena 1,3 juta orang tewas dalam 10,5 bulan terakhir. Sampai Minggu, tercatat 54 juta kasus di seluruh dunia. (AP/AFP)