Sejuta Pertanyaan soal Vaksin Covid-19
Kecepatan peneliti mengembangkan calon vaksin Covid-19 dengan hasil menjanjikan patut diapresiasi. Tapi, sejuta pertanyaan membayangi banyak hal, dari soal efektivitas, kekebalan, penyimpanan, hingga distribusi di dunia.
Tak sampai satu tahun setelah pandemi Covid-19 melanda dan menewaskan 1,4 juta jiwa di dunia, sudah ada sejumlah calon vaksin Covid-19 yang menjanjikan dan akan bisa dirilis dalam waktu dekat. Mulai November ini, ada tujuh perusahaan farmasi yang mengumumkan hasil uji klinis calon vaksin mereka dengan tingkat kemanjuran yang menjanjikan.
Ini merupakan pengembangan vaksin pandemi paling cepat dalam sejarah. Meski demikian, masih tersimpan banyak pertanyaan terkait vaksin tersebut.
Baca juga : AS dan Jerman Vaksinasi Massal Mulai Desember
Badan Obat-obatan Eropa yang bertanggung jawab mengawasi persetujuan obat-obatan di Uni Eropa akan menyetujui vaksin Covid-19 kloter pertama kira-kira pada akhir tahun ini atau awal tahun 2021. Perancis, Spanyol, dan Italia sudah ambil ancang-ancang untuk rencana distribusi vaksin.
Sementara di Amerika Serikat, kampanye vaksinasi akan dimulai secepat-cepatnya pada pertengahan Desember dengan asumsi Badan Pangan dan Obat-obatan AS menyetujui percepatan distribusi dan mekanisme darurat. China malah sudah mendahului dengan mulai memvaksin pasien-pasien berisiko tinggi. Di Rusia pun, dua vaksin sudah divalidasi untuk digunakan bahkan sebelum fase terakhir uji klinis dimulai.
Pengembangan vaksin ini tergolong sangat cepat. Biasanya penelitian, uji coba, persetujuan, produksi, dan distribusi vaksin baru bisa memakan waktu sampai 10 tahun atau lebih. Laju pengembangan vaksin yang cepat dengan menghasilkan setengah lusin vaksin Covid-19 itu dipicu oleh melonjaknya penelitian publik dan swasta yang belum pernah terjadi sebelumnya. Banyak dana serta pesanan sementara hingga miliaran dosis ikut mendorong penelitian dalam pengembangan calon vaksin tersebut.
Baca juga : Penemuan Vaksin Covid-19, Secercah Harapan di Ujung Lorong Pandemi
Namun, prosesnya tak semudah itu. Badan regulasi UE, misalnya, memahami upaya mempercepat proses evaluasi, tetapi tetap menekankan standar regulasi yang tinggi untuk kualitas, keamanan, dan tingkat kemanjuran yang sama dengan obat-obatan lainnya. Pencapaian yang luar biasa ini pun tidak lantas berarti seluruh dunia akan bisa segera menerima vaksin.
Stok terbatas
”Stok awal vaksin akan terbatas dan diprioritaskan untuk tenaga medis, orang tua, dan orang-orang berisiko tinggi,” kata Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Negara-negara termiskin di dunia, kata Tedros, tidak semestinya harus menunggu sampai negara-negara kaya yang sudah memesan miliaran dosis selesai melakukan vaksinasi. ”Urgensi pengembangan vaksin sama urgensinya dengan distribusi yang adil. Mereka yang miskin dan rentan bisa terinjak-injak untuk memperebutkan vaksin,” ujarnya.
Baca juga : Unicef Akan Kirim 2 Miliar Dosis Vaksin ke Negara Miskin
Sejak 9 November, empat perusahaan farmasi mengumumkan vaksin mereka manjur hingga lebih dari 90 persen. Laporan pertama hasil uji klinis fase ketiga datang dari kolaborasi antara perusahaan AS dan Jerman, Pfizer dan BioNTech. Disusul kemudian oleh perusahaan AS Moderna, lalu kerja sama di Inggris antara AstraZeneca dan Oxford University, serta perusahaan farmasi Institut Penelitian Epidemiologi dan Mikrobiologi Gamaleya dari Rusia.
Tetapi hasil penemuan mereka belum didukung publikasi di jurnal peer-review yang bisa memakan waktu berbulan-bulan. Semua vaksin yang diumumkan mendekati akhir uji klinis fase ketiga. Fase ini merupakan tahap akhir dalam proses yang menguji keamanan dan kemanjuran calon vaksin dengan melibatkan puluhan ribu sukarelawan berbeda usia dan etnis di negara-negara.
Menentukan kemanjuran
Pada dasarnya, kemanjuran vaksin ditentukan dengan mengombinasikan jumlah orang yang terinfeksi Covid-19 di kelompok sukarelawan yang divaksin dibandingkan dengan kelompok sukarelawan lain yang disuntikkan plasebo atau obat kosong. Ambang batas untuk merilis temuan—jumlah orang yang terinfeksi Covid-19—berbeda untuk setiap kasus: 170 untuk Pfizer/BioNTech, 95 untuk Moderna, 131 untuk AstraZeneca/Oxford, dan hanya 39 untuk Institut Gamaleya.
Baca juga : Lika-liku Uji Klinis Calon Vaksin Covid-19 hingga Ditemukan Angka Efektivitasnya
Pfizer melaporkan, tingkat kemanjuran 95 persen dengan hanya delapan dari 170 pasien Covid-19 dari kelompok yang divaksin. Untuk Moderna, tingkat kemanjuran 94,5 persen. Sementara vaksin Sputnik V buatan Institut Gamaleya 91,4 persen. Kalkulasi untuk dua dosis vaksin AstraZeneca malah lebih rumit. Dari dua uji klinis dengan protokol yang berbeda, tingkat kemanjurannya 70 persen.
Tetapi dalam kelompok yang suntikan pertamanya setengah dosis, tingkat kemanjuran meningkat menjadi 90 persen. Hasil kontra-intuitif, kata AstraZeneca, lebih sedikit vaksin yang memberi lebih banyak perlindungan, berasal dari reaksi sistem kekebalan.
Baca juga : Bagus, Respons Imun Vaksin Covid-19 Buatan AstraZeneca-Oxford kepada Lansia
Namun, tingkat keberhasilan bukanlah satu-satunya kriteria dalam menentukan vaksin mana yang akan diadopsi. Biaya dan logistik juga menjadi faktor. Harga vaksin AstraZeneca ternyata jauh lebih murah, yakni sekitar 3 dollar AS per dosis.
Keuntungan signifikan lainnya ada pada distribusi dan penyimpanan. Vaksin Moderna harus disimpan dengan suhu di bawah 20 derajat celsius. Pfizer malah membutuhkan suhu lebih dingin lagi, yaitu di bawah 70 derajat celsius untuk bisa tetap efektif. Sementara vaksin AstraZeneca bisa disimpan pada suhu kulkas normal.
”Kami tahu vaksin penting untuk mengendalikan pandemi. Tetapi, vaksin itu sifatnya melengkapi, bukan menggantikan yang sudah ada,” kata Tedros.
Kekebalan
Yang masih menjadi pertanyaan besar adalah sampai kapan vaksin itu akan menjaga kekebalan terhadap virus. Semua hasil yang sudah ada menyebutkan vaksin itu hanya bisa efektif selama beberapa pekan setelah vaksin disuntikkan.
”Sampai kapan perlindungan itu bisa bertahan? Apakah vaksinasi menghasilkan mutasi virus yang membatasi efektivitas vaksin dari waktu ke waktu?” tanya Penny Ward, Guru Besar Ilmu Kedokteran Farmasi di King’s College London, Inggris.
Para ilmuwan juga belum tahu, apakah vaksin itu akan efektif juga untuk orang-orang yang berisiko tinggi, khususnya orang tua yang jauh lebih rentan terhadap gejala yang mengancam jiwa. Yang belum diketahui juga adalah apakah vaksin yang efektif itu hanya akan menghilangkan gejala-gejalanya atau juga mampu mencegah seseorang untuk tidak menyebarkan virus ke orang lain.
Baca juga : ”Efikasi” dan ”Efektivitas” Calon Vaksin, Apa Artinya dalam Menangkal Covid-19
Dengan kata lain, jika vaksin itu bisa mencegah kita sakit, apakah juga akan bisa melindungi orang lain yang kontak dengan kita. Untuk ini, AstraZeneca kembali unggul. Guru Besar Imunologi dan Penyakit Menular di University of Edinburgh, Eleanor Riley, kepada Pusat Media Sains di London, mengatakan bahwa tim Oxford/AstraZeneca sedang mengumpulkan hasil usap hidung dan tenggorokan semua sukarelawan setiap pekan untuk melihat keberadaan infeksi tanpa gejala.
”Ada indikasi awal vaksin mereka bisa meminimalisasi transmisi virus,” ujar Riley.
WHO sudah mengidentifikasi ada 48 calon vaksin di tahap uji klinis pada pertengahan November lalu, tetapi hanya 11 yang sudah sampai di fase ketiga. Selain empat perusahaan tadi, ada beberapa vaksin China hasil produksi laboratorium pemerintah yang dibuat oleh Sinovac, Sinopharm, dan CanSino. WHO juga mengidentifikasi 164 proyek vaksin lain yang baru sampai pada tahap pra-uji klinis.
Sebagian vaksin tradisional yang dilemahkan menggunakan kuman virus yang telah dimatikan. Sebagian vaksin lainnya menggunakan jenis yang dilemahkan. Vaksin ini bekerja ketika tubuh memperlakukan patogen yang dinonaktifkan seolah-olah itu ancaman nyata sehingga menghasilkan antibodi untuk membunuh virus tanpa membahayakan pasien dengan infeksi. Vaksin yang disebut ”sub-unit” mengandung fragmen virus atau bakteri tempat mereka berasal untuk menghasilkan respons imun yang serupa.
Baca juga : Moderna, Perusahaan Kecil dengan Lompatan Besar di Tengah Pandemi
Varietas vektor virus yang mengirimkan fragmen DNA virus ke dalam sel sering kali menumpang molekul virus lainnya. Misalnya, virus campak yang dimodifikasi dengan protein Covid-1—alat yang digunakan SARS-CoV-2 untuk menempel pada sel manusia—dapat digunakan untuk memberikan kekebalan terhadap Covid-19.
Baik vaksin Pfizer maupun Moderna menggunakan teknologi mutakhir versi sintetis dari molekul yang disebut messenger RNA untuk meretas ke dalam sel manusia dan secara efektif mengubahnya menjadi pabrik pembuat vaksin.
Vaksin mana pun yang pertama kali didistribusikan masih menyisakan pertanyaan yang belum bisa dijawab para ilmuwan. Hal lain yang juga menentukan keberhasilan upaya selama ini, terutama di era ketika ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah melemah, berapa banyak orang akan menerima untuk divaksinasi?
Menurut studi bulan lalu di jurnal Royal Society Open Science, masih banyak orang di negara-negara yang mempercayai teori konspirasi tentang asal muasal vaksin dan tentang virus itu sendiri. Di Meksiko, misalnya, lebih dari seperempat responden mengatakan bahwa mereka menduga pandemi Covid-19 bagian dari rencana upaya mewajibkan vaksinasi di seluruh dunia. Survei pada bulan ini oleh Forum Ekonomi Dunia di 15 negara juga menemukan orang yang mau divaksin justru menurun sejak Agustus dari 77 persen menjadi 73 persen. (AFP)