Rapor HAM Membayangi Lawatan Presiden Sisi ke Perancis
Presiden Mesir Abdel Fatah el-Sisi berkunjung ke Perancis untuk mempererat hubungan kedua negara. Namun, kelompok aktivis HAM menyoroti buruknya penegakan HAM Mesir di era Sisi.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
PARIS, SENIN — Para aktivis HAM memperingatkan Paris untuk tidak menutup mata atas rekam jejak penegakan HAM di Mesir dan menggelar karpet merah untuk Presiden Mesir Abdel Fatah el-Sisi yang memulai lawatan tiga harinya di Perancis, Minggu (6/12/2020).
Inti dari lawatan itu adalah pembicaraan dengan Presiden Emmanuel Macron di Istana Elysee, Senin (7/12/2020). Dalam pertemuan itu kedua kepala negara berharap dapat mempererat hubungan Kairo dengan Paris.
Kantor Kepresidenan Mesir menyebutkan di akun Facebook-nya, Sisi mendarat di Bandara Orly, Paris. Minggu sore, Sisi bertemu dengan Menteri Luar Negeri Perancis Jean-Yves Le Drian.
Di bawah kepemimpinan Sisi yang sekuler, Mesir dan Perancis telah menikmati hubungan yang dekat. Keduanya memiliki kepentingan yang sama di Timur Tengah dan kecurigaan yang sama pula terhadap Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Tidak ada kesepakatan yang akan ditandatangani dalam lawatan Sisi kali ini. Namun, Mesir merupakan negara pengimpor senjata utama dari perusahaan-perusahaan Perancis.
Situasi di Libya, di mana usaha untuk mewujudkan perdamaian berkelanjutan setelah konflik bertahun-tahun sedang berjalan, juga diprakirakan menjadi salah satu topik pembicaraan Sisi-Macron.
Dalam pernyataan tertulisnya, Kantor Kepresidenan Mesir mengutip juru bicara Sisi yang menyebutkan bahwa ”lawatan ini merefleksikan keinginan kedua negara untuk memperkuat hubungan strategis kedua negara di masa depan”. Sisi juga akan memaparkan ”Visi Mesir” terkait krisis di Mediterania Timur, Timur Tengah, dan menjajaki peluang investasi.
Namun, hubungan erat Perancis-Mesir di saat Kairo mendapat sorotan atas serangkaian pelanggaran HAM telah membuat khawatir para aktivis. Mereka ingin agar Macron menjadikan ini isu utama pembicaraan dengan Sisi.
Dalam pernyataannya, puluhan kelompok aktivis HAM mengatakan, Perancis telah ”lama membiarkan tindakan represif Presiden Sisi terhadap segala bentuk perbedaan”.
”Kami tercengang ketika Perancis menggelar karpet merah bagi diktator ketika saat ini ada lebih dari 60.000 orang yang dipenjarakan karena unjuk rasa damai di Mesir,” kaya Antoine Madelin, Direktur International Federation for Human Rights (FIDH).
Mesir di bawah Presiden Sisi menjadi era yang paling keras menentang perbedaan pendapat dalam sejarah modern negara itu. Otoritas Mesir menyasar tidak cuma lawan politik, tetapi juga aktivis prodemokrasi, jurnalis, dan para pengkritik daring. Mesir merupakan mitra Amerika Serikat dengan hubungan ekonomi yang besar bersama negara-negara Eropa.
Sorotan terhadap lawatan Sisi ke Perancis diperkuat ketika tiga aktivis Mesir ditangkap bulan lalu setelah menggelar acara yang mengundang 13 duta besar negara Barat membahas situasi penegakan HAM di Mesir. Pada Minggu (6/12/2020), pengadilan menguatkan keputusan jaksa membekukan aset ketiga aktivis tersebut.
Aktivis yang ditangkap adalah Direktur Eksekutif Egyptian Initiative for Personal Rights (EIPR) Gasser Abdel-Razek, Direktur Peradilan Pidana EIPR Karim Ennarah, dan Direktur Administrasi EIPR Mohammed Basheer. Ketiganya dituduh terlibat dalam kelompok teror dan menyebarkan informasi palsu.
EIPR menyebutkan, keputusan pembekuan aset dilakukan pengadilan tanpa sebelumnya mendengarkan argumen pembela atau mengizinkan pengacara pembela membaca putusan tertulisnya. Keputusan pembekuan aset ini sepertinya tidak mencakup aset EIPR sebagai organisasi.
Setelah kampanye internasional yang didukung oleh banyak selebritas dilakukan oleh Initiative for Personal Rights di Mesir, ketiganya dibebaskan.
Sebuah sumber dari kantor kepresidenan Perancis menggambarkan ini sebagai pertanda yang positif dan isu HAM akan dibawa dalam pembicaraan kedua kepala negara. (AFP/AP)