Presiden ke-46 AS Joe Biden menyebut pendudukan Gedung Capitol oleh pendukung Donald Trump sebagai ”pemberontakan”. Dua mantan presiden merasa malu, AS gagal mencontohkan proses peralihan kekuasaan yang damai dan tertib.
Oleh
Kris Mada
·5 menit baca
WASHINGTON, KAMIS — Pendudukan gedung parlemen Amerika Serikat oleh massa pendukung Presiden Donald Trump, Rabu (6/1/2021) siang waktu setempat atau Kamis dini hari waktu Indonesia, menjadi hari gelap bagi demokrasi di negara itu. Kejadian tersebut menjadi peristiwa terburuk dalam 207 tahun terakhir.
Pendukung Trump mendatangi Gedung Capitol, kantor parlemen AS, di Washington DC, untuk menggagalkan pengesahan hasil penghitungan suara pemilihan presiden AS. Ratusan orang menerobos perintang dan aparat penjaga Capitol.
Dalam sidang beberapa jam setelah kerusuhan itu, Kamis dini hari waktu setempat, Kongres secara resmi menyertifikasi kemenangan kandidat Demokrat, Joe Biden, dalam pemilu 3 November, dengan perolehan suara elektoral 306 berbanding 232 untuk Trump. Tidak lama kemudian, Gedung Putih merilis pernyataan Trump yang menjanjikan ”transisi yang tertib” pada upacara pelantikan Biden, 20 Januari.
Meski demikian, menurut beberapa sumber, muncul pembahasan di kalangan anggota kabinet dan mitra Trump untuk memberlakukan Amendemen Ke-25. Dengan amendemen itu, mayoritas anggota kabinet bisa menyatakan Trump tak mampu menjalankan tugas dan beberapa hari sisa masa jabatannya diambil alih oleh Wapres Mike Pence sebagai pelaksana tugas presiden. Ada kekhawatiran, pendukung Trump berbuat rusuh lagi pada upacara pelantikan Biden nanti.
Dalam kerusuhan di Capitol kemarin, massa masuk ke gedung, lalu merusak dan menjarah berbagai hal. Mereka, antara lain, merusak ruang kerja Ketua DPR AS yang juga politikus Demokrat, Nancy Pelosi. Terakhir kali Capitol mengalami kerusakan amat parah pada Agustus 1814 kala dibakar tentara Inggris.
Butuh beberapa jam sampai akhirnya aparat gabungan bisa merebut kembali gedung parlemen dari massa. Tentara, polisi, pasukan pengamanan presiden, dan anggota lembaga penegak hukum lain dikerahkan untuk merebut kembali gedung itu.
Akibat pendudukan tersebut, anggota parlemen AS terpaksa diungsikan. Para senator dan anggota DPR AS itu berkumpul di Capitol untuk mengesahkan hasil penghitungan suara pemilu. Para pendukung Trump hendak membatalkan pengesahan itu. Hasil penghitungan berjenjang menunjukkan Trump kalah dan Joe Biden menang.
”Kini, demokrasi kita mengalami serangan yang belum pernah terjadi, tidak pernah dilihat di masa modern,” ujar Biden.
Ia menyebut penyerbuan itu sebagai pemberontakan. ”Bangsa kita begitu lama menjadi suar harapan dan pancaran demokrasi, kini menghadapi saat gelap,” lanjut Presiden ke-46 AS itu.
Mantan Presiden AS Barack Obama menyebut kerusuhan itu hasil hasutan Trump. ”Sejarah akan mengingat kekerasan di Capitol hari ini, hasil hasutan presiden yang sedang menjabat dan terus berbohong soal hasil pemilihan, sebagai hal yang memalukan dan tidak terhormat bagi bangsa kita,” kata Obama.
”Para pemimpin Republiken harus membersihkan ruang demokrasi yang tercemar. Mereka bisa meneruskan jalan ini serta mengobarkan api atau melihat fakta dan mulai memadamkan api,” katanya.
George Bush, mantan Presiden AS lainnya yang didukung Republiken, mengaku malu insiden itu terjadi di AS. Insiden seperti itu seharusnya hanya terjadi di negara yang kacau, bukan di AS. ”Kekerasan di Capitol dan gangguan terhadap sidang Kongres dilakukan orang-orang yang terbujuk kepalsuan tanpa henti,” ujarnya.
Sejumlah pihak di AS juga menyalahkan Trump dan sejumlah politikus Republiken atas kerusuhan itu. Seperti Bush dan Obama, mereka menyebut hasutan Trump memicu kekerasan di Capitol. Trump memang akhirnya meminta pendukungnya meninggalkan Capitol dan pulang. Meski demikian, ia tetap dikecam karena terus menyatakan pemilu dicurangi.
Kecaman Republiken
Setelah aparat berhasil merebut Capitol dari massa pada Rabu sore, anggota parlemen kembali bersidang. Wakil Presiden AS Mike Pence kembali memimpin sidang senat. Pence hadir dalam kapasitas Ketua Senat AS. Dalam sistem tata negara AS, wapres secara otomatis menjadi ketua Senat.
Senator Republiken yang dikenal sebagai sekutu Trump, Lindsey Graham, menegaskan, pemilu sudah selesai. Ia menyebut Biden dan Kamala Harris sudah sah terpilih sebagai Presiden dan Wapres AS.
Ketua Fraksi Republik di Senat AS dan juga dikenal mendukung Trump, Mitch McConnell, menyebut gangguan terhadap demokrasi telah digagalkan. ”Jika pemilu ini dibatalkan hanya dengan tuduhan dari pihak yang kalah, demokrasi kita akan memasuki jurang kematian. Kita tidak akan pernah melihat seluruh bangsa ini menerima pemilu lagi,” ujarnya.
Trump juga akhirnya mengakui hasil pemilu. ”Meski saya sangat tidak setuju dengan hasil pemilu, akan ada peralihan yang tertib, 20 Januari,” ujarnya selepas Kongres menetapkan kemenangan Biden-Harris.
Namun, tidak semua politisi Republiken menerima hasil pemilu. Ada 11 senator dan 138 anggota DPR dari Republiken menolak pengesahan hasil pemilu. Para penolak di DPR itu, antara lain, Kevin McCarthy dan Steve Scalise, ketua dan wakil ketua fraksi Republik di DPR. Sementara di Senat ada Ted Cruz, Josh Hawley, Roger Marshall, Tommy Tuberville, Cindy Hyde-Smith, John Kennedy, Rick Scott, dan Cynthia Lummis. Mereka menggunakan suara secara terpisah untuk beberapa negara bagian.
Sebagian senator Republiken yang awalnya akan menolak penetapan mengubah sikap setelah melihat kerusuhan. ”Kalau saya tidak di Washington pagi ini, saya sangat berniat menolak pengesahan. Walakin, insiden harian ini memaksa saya mempertimbangkan ulang dan saya tidak bisa menolak (pengesahan hasil pemilu),” ujar Kelly Loeffler, Senator Republiken dari Georgia.
Sikap serupa disampaikan anggota fraksi Republiken di DPR, Cathy McMorris Rodgers, yang berasal dari daerah pemilihan Washington. Seperti Loeffler, McMorris Rodgers juga awalnya akan menolak penetapan hasil pemilu.
”Perusuh menyerang penjaga Capitol, menerobos dan merusak Gedung Capitol, membahayakan keselamatan dan mencampakkan nilai yang kita hargai sebagai bangsa Amerika. Siapa pun yang terlibat, Anda memalukan. Hal yang kita lihat hari ini tidak dapat diterima dan melanggar hukum,” tutur McMorris Rodgers.
”Saya telah memutuskan untuk mengakui hasil pemilu dan saya mendorong Donald Trump untuk mengecam dan mengakhiri kegilaan ini,” ujar Rodgers lagi. (AP/REUTERS)