Biskuit Nuklir untuk Politisi Wilmington
Presiden AS merupakan satu-satunya orang di negara itu yang berwenang memerintahkan serangan nuklir. Aturan AS tidak mewajibkan presiden berkonsultasi atau menerima saran dari siapa pun.
Penolakan Donald Trump untuk menghadiri pelantikan Joe Biden sebagai Presiden Amerika Serikat, Rabu (20/1/2021), memusingkan banyak pihak. Salah satu pihak yang sakit kepala oleh keputusan Trump adalah militer.
Bukan soal pengamanan Trump dan Biden, yang menjadi kewenangan Pasukan Pengamanan Presiden, yang memusingkan militer. Sebagai panglima tertinggi, Presiden AS, antara lain, berwenang memerintahkan serangan nuklir.
Baca juga: Joe Biden Resmi Memimpin AS
Pakar pengendalian nuklir pada Stanford University, Scott Sagan, mengatakan bahwa amat tidak lazim presiden lama tidak menghadiri pelantikan presiden baru. Apalagi, kehadiran presiden lama terkait dengan penyerahan kewenangan memerintahkan serangan nuklir. ”Keputusan Trump tidak menghadiri pelantikan menambah kerumitan, meningkatkan risiko,” ujarnya sebagaimana dikutip koran The New York Times.
Pada 3 Januari 2018, Trump pernah mengancam akan menggunakan kewenangan memerintahkan serangan nuklir untuk membalas ancaman Kim Jong Un. Lewat media sosial, Trump mengaku siap menekan tombol peluncur nuklir dan bom AS lebih besar dari milik Korea Utara.
Ancaman Trump membuat banyak orang menganggap bahwa Presiden AS memang benar-benar punya tombol untuk meluncurkan rudal nuklir. Padahal, peluncuran nuklir oleh AS tidak sesederhana menekan tombol.
Amat berbahaya jika urusan sepenting peluncuran nuklir hanya berbentuk tombol yang bisa saja salah ditekan. Apalagi, menurut pakar Kebijakan Nuklir pada Massachusetts Institute of Technology (MIT) Vipin Narang kepada CNN, Presiden AS satu-satunya orang di negara itu yang berwenang memerintahkan serangan nuklir.
Aturan AS tidak mewajibkan presiden berkonsultasi atau menerima saran dari siapa pun, termasuk wakil presiden dan panglima militer, kala memutuskan meluncurkan nuklir.
Baca juga: AS Akui Kemampuan China Bangun Nuklir Sangat Cepat
Karena itu, Ketua DPR AS Nancy Pelosi sampai harus memberi perhatian khusus soal kewenangan peluncuran nuklir selepas insiden 6 Januari 2021 kala ribuan pendukung Trump menduduki Gedung Capitol. Pelosi menyurati Kepala Staf Gabungan AS Jenderal Mark Milley untuk membahas kewenangan Trump memerintahkan serangan nuklir.
”Kami membahas pilihan pencegahan untuk mencegah presiden yang tidak stabil memulai permusuhan militer atau mengakses kode peluncuran dan memerintahkan serangan nuklir,” demikian isi surat Pelosi yang diedarkan kepada sejumlah politisi Demokrat, pekan lalu.
Kepada Pelosi, Milley menjamin ada langkah pengaman sehingga Trump tidak bisa sembarangan memerintahkan serangan nuklir. Mantan Panglima Komando Strategis AS Marsekal (Purn) Robert Kehler menyebutkan, militer tetap akan punya pertimbangan sebelum mengikuti perintah serangan Nuklir.
Kehler membenarkan penjelasan Narang bahwa konstitusi memberikan kewenangan kepada presiden sebagai satu-satunya yang bisa memerintahkan serangan nuklir. Akan tetapi, sistem peluncuran dirancang untuk memastikan setiap perintah sah dan layak.
Baca juga: Semakin Retaknya Rumah Demokrasi, Peringatan Keras bagi AS
Sebelum perintah dijalankan, ada pertimbangan dari para pejabat sipil dan militer. Setelah itu, masih ada rantai komando untuk menyampaikan perintah kepada unit pelaksana.
Tas
Untuk memerintahkan serangan nuklir, presiden akan membuka tas yang kerap dianggap memuat tombol peluncur nuklir. Tas itu dibawa seorang tentara yang selalu berada di dekat presiden kapan pun di mana pun. Pembawa tas wajib berada dalam jangkauan tangan presiden setiap waktu. Karena itu, pembawa tas diwajibkan berada di dekat kamar presiden, dalam lift yang ditumpangi presiden.
Dalam foto dan video resmi Kepresidenan AS atau film-film, pembawa tas itu kerap terlihat. Tas itu bernama resmi ”The Presidential Emergency Satchel”. Di AS, sebagaimana dilaporkan Associated Press, tas itu juga dikenal dengan sebutan ”nuclear football”.
Setiap Presiden AS berwenang menggunakan isi tas itu sejak dilantik sampai beberapa detik menjelang penggantinya mengucapkan sumpah jabatan. Kala presiden memutuskan memerintahkan serangan nuklir, ia tidak menekan tombol.
Tas, yang selalu dibawa seorang tentara yang berdekatan dengan presiden itu, akan dibuka. Isinya, serangkaian prosedur untuk memerintahkan serangan nuklir. Sekali perintah dikeluarkan, maka militer AS akan menjalankannya.
Biskuit
Kehler menyebutkan, sebagian besar prosedur peluncuran nuklir rahasia tidak seperti anggapan banyak orang. Namun, ada beberapa yang sesuai, seperti pemeriksaan kode untuk memastikan perintah diberikan secara sah.
Kode-kode itu dicatatkan dalam selembar kartu plastik yang dikenal dengan sebutan biskuit. Berbeda dengan tas yang dibawa orang lain, biskuit kode itu hanya boleh dipegang oleh presiden atau pejabat lain dalam rantai komando peluncuran nuklir.
Sejak 20 Januari 2017 sampai 20 Januari 2021, Trump memegang biskuit itu dan berada dekat tas perintah peluncuran nuklir. Tas dan biskuit itu ikut terbang bersamanya dari Washington ke Florida, negara bagian yang dipilihnya sebagai domisili selepas keluar dari Gedung Putih. Kode peluncuran nuklir di tangan Trump itu tetap sah dipakai sampai Biden mengucapkan sumpah jabatan.
Dalam pelantikan presiden sebelum 2021, penyerahan tas mudah dilakukan karena presiden baru dan presiden lama sama-sama hadir di Capitol. Tahun ini, Trump meninggalkan Washington beberapa jam sebelum pelantikan dan memilih berada di Florida kala Biden dilantik. Tas perintah peluncuran nuklir ikut bersama Trump ke Florida. Makanya militer pusing.
Baca juga; Melania Trump: Kekerasan Bukanlah Jawaban
Militer AS harus menyiapkan satu tas tambahan untuk disiagakan di Washington dan didekatkan ke Biden selepas politisi asal Wilmington, Delaware, itu dilantik. Begitu Biden dilantik, pembawa tas perintah peluncuran nuklir yang mengiringi Trump ke Florida harus segera menjauh dari Presiden ke-45 AS itu. Sementara pusat komando peluncuran nuklir harus memastikan kode di biskuit yang dipegang Trump sudah tidak bisa dipakai lagi.
(AP/AFP)