Dunia Desak Myanmar Pulihkan Demokrasi, Indonesia Prihatin
Dunia prihatin dengan kemelut politik di Myanmar yang berujung pada kudeta militer.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
JAKARTA, SELASA —Pemerintah Indonesia prihatin atas perkembangan politik terakhir di Myanmar dan mendesak agar semua pihak menahan diri serta mengedepankan dialog dalam mencari solusi atas semua persoalan sehingga situasi tidak memburuk. Perselisihan terkait hasil pemilu, 8 November lalu, juga diimbau diselesaikan sesuai dengan mekanisme hukum yang ada.
Hal itu ditegaskan dalam pernyataan tertulis yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri RI, Senin (1/2/2021). Penyelesaian persoalan di Myanmar juga diimbau menggunakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Piagam ASEAN yakni komitmen pada hukum, pemerintahan yang baik, prinsip-prinsip demokrasi dan pemerintahan yang konstitusional.
Kudeta militer Myanmar yang dilakukan, Senin pagi, setelah menahan para pemimpin Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) termasuk Penasihat Negara Aung San Suu Kyi itu dikecam berbagai negara, terutama negara-negara barat. Namun, sejumlah negara anggota ASEAN, seperti Thailand, Filipina, dan Kamboja menilai apa yang terjadi di Myanmar merupakan isu dalam negeri.
Berbeda dengan sejumlah negara ASEAN, sikap Amerika Serikat lebih tegas mendesak agar demokrasi di Myanmar segera dipulihkan. Juru bicara Gedung Putih, Jen Psaki, mengatakan AS akan mengambil tindakan tegas terhadap siapa saja yang bertanggung jawab jika demokrasi tak dipulihkan.
AS juga menentang upaya apa pun yang menolak hasil pemilu, November lalu, yang dimenangkan oleh NLD. Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, meminta militer Myanmar membebaskan semua pejabat pemerintah dan pemimpin masyarakat sipil yang ditahan serta menghormati aspirasi rakyat yang sudah dituangkan dalam pemilu demokratis.
Menlu Australia Marise Payne juga meminta militer menghormati mekanisme hukum yang ada untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu. ”Bebaskan segera semua pemimpin sipil yang sudah ditahan secara ilegal,” ujarnya.
Kemlu India melalui pernyataan tertulisnya juga menyatakan prihatin dengan situasi Myanmar dan mengkhawatirkan transisi demokrasi Myanmar. ”Myanmar harus mengikuti aturan hukum yang ada dan proses demokrasi tetap harus diutamakan,” sebut pernyataan itu.
Duta Besar Kanada untuk PBB, Bob Rae, menilai militer Myanmar sengaja membuat konstitusi sesuai dengan keinginan mereka sehingga memungkinkan militer bisa melakukan kudeta. ”Konstitusi 2008 dirancang spesifik untuk menjamin kekuatan militer terlindungi,” tulis Rae di twitternya.
Apa pun persoalan Myanmar, diplomat AS untuk Asia Timur pada masa Presiden AS Barack Obama, Daniel Russel, menilai kudeta militer itu merusak upaya transisi demokrasi Myanmar. Kudeta itu tidak hanya mengganggu Myanmar, tetapi juga kepentingan AS.
”Ini salah satu contoh jika AS tidak terlibat di kawasan, kekuatan anti-demokrasi akan bisa berkuasa,” ujarnya.
Direktur Advokasi Human Rights Watch Asia John Sifton mengkritik respons AS yang tidak tegas. Ia mendesak agar komunitas internasional bersikap tegas. ”AS harus segera bekerja sama dengan sekutu-sekutunya dan bersikap lebih tegas seperti memberi ultimatum sehingga militer bisa tahu apa konsekuensinya jika kudeta tidak dihentikan,” ujarnya. (REUTERS/AFP/AP)