Aung San Suu Kyi meminta para pendukungnya tidak tinggal diam. Dia mendesak mereka tidak menerima begitu saja kondisi di Myanmar dan sekaligus memprotes aksi yang disebutnya sebagai kudeta itu.
Oleh
BENNY D KOESTANTO, LUKI AULIA
·5 menit baca
NAYPYIDAW, SENIN — Militer Myanmar mengambil alih kekuasaan dan menyatakan negara itu dalam situasi darurat selama setahun penuh mulai Senin (1/2/2021). Tindakan itu mengakhiri satu dekade pemerintahan sipil di Myanmar dan membawa kembali negara itu pada masa suram.
Militer menggerebek dan lalu menahan Aung San Suu Kyi, pemimpin yang dipilih secara demokratis, Presiden Myanmar Win Myint, beserta sejumlah tokoh pemimpin Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pada Senin pagi. Aksi militer itu digelar pada hari yang seharusnya menjadi hari dimulainya masa sidang Parlemen Myanmar, sidang pertama sejak gelaran pemilihan umum (pemilu) pada November tahun lalu. Wakil presiden yang juga mantan jenderal militer, Myint Swe, lalu diserahi kekuasaan jabatan sebagai presiden sementara. Militer juga mengumumkan akan mengadakan pemilihan umum baru pada akhir keadaan darurat satu tahun itu.
Media BBC melaporkan, Suu Kyi (75) meminta para pendukungnya tidak tinggal diam. Dia mendesak mereka untuk tidak menerima begitu saja kondisi di Myanmar dan sekaligus memprotes aksi yang disebutnya sebagai kudeta itu. Dalam sebuah surat yang ditulis sebagai semacam persiapan penahanannya, dia mengatakan tindakan militer membuat Myanmar kembali di bawah kediktatoran.
Sekembalinya dari Inggris pada tahun 1988, Suu Kyi ikut ambil bagian dalam upaya mengakhiri dominasi kekuasaan militer selama lima dekade sejak militer melakukan kudeta tahun 1962. Ia lalu dikenai tahanan rumah hingga tahun 2010. Sejak itu, Suu Kyi lalu memilih menetap di Myanmar karena dia khawatir tidak akan diizinkan masuk ke Myanmar oleh militer jika dia meninggalkan negara itu.
Myanmar pernah dikuasai rezim junta militer setelah merdeka dari Inggris tahun 1948. Pemimpin militer, Jenderal Ne Win, mengudeta pemerintahan sipil pada 1962 itu karena dianggap tidak kompeten memimpin. Ne Win lalu berkuasa selama 26 tahun, tetapi kemudian mengundurkan diri pada 1988 setelah unjuk rasa besar-besaran gara-gara kondisi perekonomian yang stagnan dan kekuasaan yang otoriter.
Kemenangan Partai NLD pada tahun 2015 mengantarkan Suu Kyi mengambil alih kekuasaan dalam peran yang dibuat khusus sebagai penasihat negara. Suu Kyi mengusung platform untuk mengakhiri perang saudara, menghidupkan investasi asing, dan mengurangi peran militer dalam politik.
Pertemuan Suu Kyi dengan Presiden Thein Sein pada tahun 2011 menjadi pertemuan bersejarah. Hal itu menandai dimulainya periode keterlibatan masyarakat sipil dengan pemerintahan berbasis militer. Kemenangan Partai NLD pada tahun 2015 mengantarkan Suu Kyi mengambil alih kekuasaan dalam peran yang dibuat khusus sebagai penasihat negara. Suu Kyi mengusung platform untuk mengakhiri perang saudara, menghidupkan investasi asing, dan mengurangi peran militer dalam politik.
Hasil pemilu terbaru yang digelar pada November 2020 dan juga dimenangi NLD adalah sumber ketegangan terbaru pemerintah sipil dengan militer. Hasil pemilu itu mempermalukan partai oposisi yang didukung oleh militer, Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan. Telah ada gelagat pekan lalu bahwa militer bisa melakukan aksi kudeta apabila tuntutan mereka tidak dipenuhi.
Militer menuding pemilu yang dimenangi NLD itu curang. Komisi pemilihan Myanmar telah menolak tuduhan militer atas kecurangan suara dengan mengatakan tidak ada kesalahan yang cukup besar untuk memengaruhi kredibilitas pemungutan suara.
Militer menyatakan pengambilalihan kekuasaan dilakukan untuk menjaga stabilitas negara. Pernyataan tertulis militer itu diumumkan di stasiun televisi milik militer, Myawaddy TV. Militer mengutip Pasal 417 dari konstitusi Myanmar yang memungkinkan militer mengambil alih kekuasaan pada saat-saat darurat. Penyiar televisi itu mengatakan, krisis pandemi Covid-19 dan kegagalan pemerintah dalam pemilu November lalu adalah alasan keadaan darurat tersebut. Militer juga menuding organisasi-organisasi partai ikut andil mengganggu stabilitas negara.
”Situasi ini harus ditangani sesuai dengan hukum. Untuk itu, dinyatakan negara dalam status kondisi darurat,” kata pernyataan itu.
Militer merancang konstitusi pada 2008 dan mempertahankan kekuasaan dengan mengorbankan pemerintahan sipil yang demokratis. Lembaga Human Rights Watch menggambarkan klausul itu layaknya mekanisme kudeta yang dapat dilakukan sewaktu-waktu. Konstitusi Myanmar juga mencadangkan kementerian-kementerian utama kabinet dan 25 persen kursi di parlemen bagi militer. Kelindan hal-hal itu membatasi kekuasaan pemerintah sipil dan mengesampingkan perubahan konstitusi tanpa dukungan militer.
Menurut pengamat politik di Yangon, Khin Zaw Win, jaminan kekuasaan pada militer yang diatur dalam konstitusi itu yang membuat militer tidak populer. Suu Kyi dan pemerintahannya berusaha mengubah konstitusi itu sejak menang Pemilu 2015, tetapi tetap tidak berhasil. Yang terjadi malah Suu Kyi diberi peran sebagai penasihat negara supaya ia tidak bisa menjadi presiden.
Posisi warga terbelah
Dari Yangon dikabarkan, situasi kota tampak lebih sepi. Perkantoran dan bank tutup, tetapi sektor informal tetap beroperasi seperti biasa. Sambungan telepon dan televisi dilaporkan putus. Berita kudeta pun lalu tersebar secara sporadis di negara itu sendiri akibat gangguan komunikasi itu. Bandara dikabarkan untuk sementara ditutup. Militer diterjunkan pada Senin petang untuk berjaga-jaga di kota itu.
Warga sendiri dilaporkan berada dalam posisi terbelah, antara menentang dan mendukung langkah militer. Sejumlah pendukung militer turun ke jalan menggelar pawai. Mereka mengibarkan bendera kebangsaan Myanmar. Namun, suasana lain juga tersaji di tempat lain di kota itu. Warga diliputi ketakutan, kemarahan, dan frustrasi.
”Saya marah. Saya tidak ingin kekuasaan militer lagi,” kata Zizawah (32), seorang warga. ”Cara mereka bertindak seperti diktator. Kita semua tahu siapa yang kita pilih.”
Aktivis prodemokrasi tidak begitu percaya pada pernyataan militer bahwa mereka akan mengadakan pemilu yang adil dan kemudian mundur setelahnya. ”Mereka mengambil alih kekuasaan dengan paksa,” kata aktivis Maung Saungkha. ”Semua orang merasa marah dan kesal. Saya sama sekali tidak percaya bahwa pemilu akan diadakan setelah satu tahun dan mereka akan mengembalikan kekuasaan.” (AP/AFP/REUTERS/BEN/LUK)