Mahkamah Internasional Dengarkan Keluhan Teheran doal Sanksi Nuklir AS
Dalam persidangan yang digelar tahun lalu, tim pengacara AS berdebat dan mendorong kasus tersebut harus dibatalkan oleh Mahkamah Internasional. Namun, hakim menolak argumen AS itu.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
DENHAAG, RABU — Mahkamah Internasional atau ICJ pada Rabu (3/2/2021) memutuskan dapat mendengar upaya Iran untuk membatalkan sanksi nuklir Amerika Serikat yang telah diberlakukan pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump. Putusan itu disambut gembira oleh Pemerintah Iran di Teheran dan sebaliknya menimbulkan kekecewaan dari Washington.
Dalam persidangan yang digelar tahun lalu, tim pengacara AS berdebat dan mendorong kasus tersebut harus dibatalkan oleh Mahkamah Internasional. Alasan AS, pengadilan yang berbasis di Den Haag itu dinilai tidak memiliki yurisdiksi atas hal tersebut. Namun, ketua ICJ Abdulqawi Ahmed Yusuf mengatakan bahwa hakim menolak argumen AS itu. Yusuf mengatakan, pengadilan tersebut memiliki yurisdiksi untuk memenuhi permohonan yang diajukan oleh Republik Islam Iran.
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif dengan cepat memuji keputusan ICJ sebagai ”kemenangan” Teheran. Teheran mendaftarkan kasus itu tiga tahun lalu. Zarif pada Senin (1/2) meminta Uni Eropa untuk membantu mengoordinasikan pengembalian negara-negara ke kesepakatan nuklir Iran tahun 2015.
”Kemenangan hukum lainnya untuk Iran," kata Zarif melalui media sosial Twitter. ”Iran selalu menghormati hukum internasional. Waktu yang tepat bagi AS untuk memenuhi kewajiban internasionalnya.”
Teheran menuduh Presiden Trump di masa jabatannya telah melanggar perjanjian persahabatan tahun 1955 di antara kedua negara dengan langkah AS menarik diri dari kesepakatan nuklir 2015 dan mengaktifkan kembali sanksi terhadap Teheran. Langkah Washington itu membuat kecewa sejumlah pihak, termasuk Uni Eropa. Namun, Washington menilai sanksi atas Iran tetap diperlukan karena Iran merupakan ancaman besar bagi keamanan internasional.
Keputusan terakhir tentang sanksi oleh ICJ—yang ditetapkan setelah Perang Dunia II untuk mengatur sengketa antara negara-negara anggota PBB—masih bisa berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun lagi. Namun, putusan ICJ itu sontak mengecewakan bagi Washington.
AS kecewa
Keputusan terakhir tentang sanksi oleh ICJ—yang ditetapkan setelah Perang Dunia II untuk mengatur sengketa antara negara-negara anggota PBB—masih bisa berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun lagi. Namun, putusan ICJ itu sontak mengecewakan bagi Washington. Departemen Luar Negeri AS menyatakan kekecewaannya beberapa saat setelah putusan itu dikeluarkan. ”Pada tahap selanjutnya dari kasus ini, kami akan menjelaskan mengapa klaim Iran tidak ada gunanya,” kata juru bicara Deplu AS, Ned Price, di Washington.
Kesepakatan nuklir 2015 membuat Teheran membatasi kekuatan nuklirnya. Lewat kesepakatan itu, Teheran juga membiarkan pengawas internasional mengawasi program pengembangan nuklirnya sebagai imbalan diakhirinya sanksi ekonomi selama bertahun-tahun oleh negara-negara Barat. Kesepakatan nuklir 2015 yang melibatkan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB—Inggris, China, Perancis, Rusia, dan AS, ditambah Jerman—telah digantung sejak Trump memutuskan mundur dari kesepakatan itu.
Langkah Trump itu juga langsung mengubah sikap Teheran. Iran lalu menerapkan ”Perjanjian Persahabatan” tahun 1955 dan memutuskan hubungan dengan AS. Iran mengatakan, penerapan kembali sanksi menyebabkan ”kesulitan dan penderitaan” dan ”menghancurkan jutaan nyawa”.
Dilihat dari perjalanan kasus itu, putusan terbaru ICJ itu dapat disebut sebagai kemenangan kedua bagi Teheran. Pada 2018 lalu, ICJ memerintahkan AS meringankan sanksi atas barang-barang kemanusiaan sebagai tindakan darurat kepada Teheran di saat gugatan keseluruhan kasus laporan itu ditangani. Sebagai respons atas hal itu, kala itu Washington langsung memutuskan mengakhiri Perjanjian Persahabatan dengan Teheran.
Presiden Iran Hassan Rouhani pada Rabu pagi mengesampingkan perubahan pada kesepakatan nuklir Iran. Ia pun menolak seruan untuk memperluas ketentuan kesepakatan dan mencakup negara-negara kawasan. Sebelumnya, seusai dilantik, presiden baru AS, Joe Biden, telah menyuarakan dukungan untuk kembali ke kesepakatan nuklir itu. Namun, dirinya bersikeras bahwa Teheran pertama-tama harus melanjutkan kepatuhan penuh dengan kesepakatan.
Itu artinya Teheran harus mengubah pendirian dan langkah-langkah yang telah dipilih terkait dengan keputusan Trump. Pemerintahan Biden berpendapat bahwa tindakan Trump menjadi bumerang bagi AS. Akibat dari tindakan Trump itu, Iran justru menjauh dari kesepakatan nuklir dan hanya mengintensifkan sikap tentangan terhadap kepentingan-kepentingan AS. (AP/AFP)