Kecemasan Uighur di Turki dan Spekulasi Tekanan ”Diplomasi Vaksin” China
Sejumlah pihak menuding Beijing memperlambat pengiriman vaksin Covid-19 pesanan Ankara sebagai cara memaksa Turki agar mau mendeportasi orang Uighur.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
Bagi banyak orang Uighur, Turki kerap dianggap sebagai rumah kedua. Sayang, beberapa tahun belakangan, rumah kedua itu semakin mencemaskan bagi banyak orang Uighur.
Kecemasan tersebut, antara lain, dirasakan oleh Abdullah Metseydi, warga Uighur pindahan dari Xinjiang, China. Ia tidak pernah melupakan gedoran sejumlah polisi Turki ke pintu rumahnya pada pekan terakhir Januari 2021. Kala itu, ia sedang bersiap tidur. Gedoran ini menghilangkan kantuk Metseydi.
Setelah pintu terbuka, belasan polisi dengan penutup muka dan senjata lengkap masuk ke rumah Metseydi. Penampilan mereka khas unit antiteror di kepolisian Turki. Sebagian dari polisi itu menanyai Metseydi untuk mencari tahu, apakah dirinya ikut dalam gerakan anti-China di Turki.
Setelah pertanyaan singkat, polisi membawa Metseysi ke rumah detensi imigrasi (rudenim). Ia terancam dideportasi ke China sewaktu-waktu. ”Saya takut dia dideportasi,” kata Melike, istri Metseydi, Selasa (2/2/2021), di Ankara.
Banyak orang Uighur lainnya di Turki yang mengalami nasib seperti Metseydi, menanti dideportasi ke China. Bagi mereka, situasi itu sangat menyakitkan, terlebih dilakukan oleh pemerintah di negara yang dianggap sebagai tanah air kedua bagi orang Uighur.
Tidak ada mimpi yang lebih buruk dari orang Uighur selain dideportasi ke China. Apalagi, mereka sudah bersusah payah lari ke luar China. ”Kami sangat takut,” kata Ali Kutad, orang Uighur yang lari ke Turki pada 2016.
Para pengacara orang Uighur di Turki menyebut polisi tidak punya bukti klien mereka terlibat terorisme. Seorang pakar hukum di Ankara, Ilyas Dogan, menuding penangkapan mereka bermotif politis. ”Mereka (polisi) tidak punya bukti kuat,” kata pengacara Metseydi dan sejumlah orang Uighur di Rudenim Turki itu.
Alat tawar
Anggota parlemen dari kubu oposisi Turki, Yildirim Kaya, punya tudingan lebih liar. Ankara memanfaatkan Uighur untuk tawar-menawar dengan Beijing soal vaksin Covid-19. Ia merujuk pada fakta sampai sekarang China baru mengirimkan 10 juta dosis dari 30 juta dosis vaksin Covid-19 pesanan Turki.
Baginya, keterlambatan pengiriman sisa 20 juta dosis adalah ketidakwajaran. Apalagi, menurut Kaya, Ankara sudah melunasi pembayaran pesanan vaksin itu. ”Apakah China memeras kami?” ujarnya.
Kaya menuding Beijing berusaha menekan Ankara agar mengesahkan perjanjian ekstradisi China-Turki. Beijing telah meratifikasi perjanjian itu, sementara Ankara belum membahasnya. Jika perjanjian itu diratifikasi, Beijing punya alasan semakin kuat untuk meminta pemulangan orang-orang Uighur dari Turki.
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu menepis kecurigaan Kaya dan sejumlah pihak. ”Kami tidak memanfaatkan Uighur untuk tujuan politis. Kami membela HAM mereka,” ujarnya.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin, juga menampik tudingan bahwa Beijing menekan Ankara lewat penundaan pengiriman vaksin. ”Spekulasi itu tidak berdasar,” ujarnya, Kamis (4/2/2021), di Beijing.
Bagi komunitas Uighur di Turki, perkembangan di negara itu memang meresahkan. Beberapa tahun lalu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan kerap mengkritik China soal Uighur. Belakangan, sikap Erdogan melunak. Bahkan, ia beberapa kali memuji Beijing terkait pemberantasan radikalisme.
Beijing terus berkeras perlakuan terhadap orang Uighur, yang lebih suka mengidentifikasi diri sebagai etnis Turk, sebagai upaya memberantas radikalisme. Sejumlah orang Uighur dijerat dengan dakwaan radikalisme.
Secara budaya dan fisik, orang Uighur memang berbeda dengan orang Han, warga mayoritas di China. Selama bertahun-tahun, orang-orang Uighur berusaha membentuk negara terpisah dari China. Upaya itu dipandang sebagai bentuk radikalisme oleh Beijing.
Selain radikalisme, Beijing juga menggunakan narasi penanggulangan kemiskinan di Xinjiang, yakni daerah yang mayoritas penduduknya orang Uighur. China beralasan memberikan pelatihan agar orang Uighur mendapat pekerjaan dan penghasilan. Sementara negara-negara lain menyebut tempat pelatihan itu sebagai pusat kerja paksa. (AP/REUTERS)