Unjuk Rasa Besar-besaran di Myanmar, Ingatkan Revolusi Saffron 2007
Pemblokiran internet oleh militer tak menyurutkan semangat rakyat Myanmar untuk melawan kediktatoran dan berjuang memulihkan demokrasi melalui unjuk rasa antikudeta.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
YANGON, SENIN — Pemblokiran layanan telekomunikasi, terutama internet, tak menghentikan hasrat rakyat Myanmar untuk turun ke jalan melawan kediktatoran militer yang dipimpin Jenderal Senior Min Aung Hlaing. Puluhan ribu orang berunjuk rasa di hampir seluruh Myanmar, Minggu (7/2/2021), untuk mengecam kudeta militer serta menuntut pembebasan pemimpin Aung San Suu Kyi dan kembalinya demokrasi di negara itu.
Unjuk rasa kemarin disebut sebagai unjuk rasa terbesar sejak Revolusi Saffron 2007 yang mengantarkan Myanmar menuju transisi demokrasi. Unjuk rasa kala itu dipicu keputusan junta militer menaikkan harga bahan bakar minyak hingga 500 persen.
Di Yangon, massa pengunjuk rasa membawa balon merah, warna yang mewakili partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Suu Kyi.
Mereka berteriak mengecam kudeta militer dan menuntut pemulihan demokrasi. ”Kami tak ingin kediktatoran militer! Kami ingin demokrasi!” seru demonstran sambil mengibarkan bendera NLD dan mengacungkan tiga jari, simbol protes terhadap kudeta.
”Kami tidak ingin ada kediktatoran untuk generasi berikutnya,” kata Thaw Zin (21), seorang pengunjuk rasa. ”Kami tak akan menyelesaikan revolusi ini sebelum kami membuat sejarah. Kami akan berjuang sampai akhir.”
Kerumunan massa besar-besaran dari seluruh penjuru Yangon bergerak menuju Pagoda Sule di jantung kota. Pagoda Sule adalah titik kumpul aksi demo besar di tahun 2007. Demonstrasi besar waktu itu dipimpin para biksu Buddha.
Catatan internal staf PBB memperkirakan, sekitar 1.000 orang bergabung dalam unjuk rasa di Naypyidaw, ibu kota Myanmar. Adapun di Yangon diperkirakan 60.000 orang turun ke jalan.
Demonstrasi secara umum berlangsung damai, tidak seperti tahun 1998 dan 2007 yang diwarnai penumpasan berdarah. Namun, tembakan terdengar di Myawaddy, kota di wilayah tenggara, ketika polisi berseragam dengan senjata mencoba menghalau ratusan pengunjuk rasa. Tak ada laporan korban di kota itu.
Di luar Yangon, sekitar 100 orang turun ke jalan dengan sepeda motor di kota pesisir Mawlamyine, Myanmar tenggara. Para mahasiswa dan dokter berkumpul di kota Mandalay, Myanmar tengah.
Di kota Payathonzu, Negara Bagian Karen, Myanmar tenggara, ratusan pengunjuk rasa bermalam di luar kantor polisi. Massa juga berdiri di luar rumah dan menyanyikan lagu-lagu prodemokrasi.
Militer Myanmar melancarkan kudeta, 1 Februari lalu, setelah NLD menang mutlak dalam pemilu, November 2020. Mereka menetapkan kondisi darurat selama setahun dan menahan para tokoh NLD, termasuk Suu Kyi.
Dari tahun 1962 hingga 2011, rezim militer berturut-turut memerintah Myanmar, yang sebelumnya dikenal sebagai Burma, dengan tangan besi. Menurut situs berita CNN, militer selama berkuasa menegaskan kekuasaan absolut mereka atas rakyat melalui ketakutan dan kebrutalan.
Namun, enam tahun lalu, ada harapan perubahan ketika Aung San Suu Kyi, tokoh demokrasi pemenang Hadiah Nobel Perdamaian dan mantan tahanan politik, membentuk pemerintahan sipil pertama pada 2016. Dia tentu didukung partainya, NLD, setelah menang telak dalam pemilu 2015.
Sementara media pemerintah di Myanmar melaporkan, Sabtu, tokoh-tokoh junta telah berbicara dengan para diplomat sehari sebelumnya. Militer menggelar pertemuan itu untuk menanggapi protes internasional dan meminta mereka untuk bekerja dengan para pemimpin baru di Myanmar.
Akses internet dibuka
Minggu sore, militer mengakhiri pemblokiran internet yang justru semakin mengobarkan kemarahan rakyat Myanmar. Pelapor Khusus PBB untuk HAM di Myanmar, Tom Andrews, menilai gangguan internet merupakan hal berbahaya dan melanggar HAM.
”Para jenderal berusaha melumpuhkan gerakan perlawanan warga dan membuat (Myanmar) gelap bagi dunia luar dengan memotong hampir semua akses internet,” cuitnya di Twitter.
Menurut Netblocks, layanan pemantauan internet, akses internet di sebagian wilayah di Myanmar pulih sejak pukul 14.00 waktu setempat. Disebutkan, sejumlah layanan seluler, seperti MPT, Ooredoo, Telenor, dan Mytel, bisa mengakses internet dan Wi-Fi. Namun, media sosial tetap terlarang.
Melalui grup Telegram, sejumlah aktivis mengirimkan pesan berantai mengenai rencana mogok nasional mulai Senin (8/2/2021) ini. Tidak dijelaskan sampai kapan aksi mogok itu akan berlangsung.
Wai Wai Nu, pendiri Jaringan Perdamaian Perempuan-Arakan dan Keadilan untuk Perempuan, mengirimkan pesan bahwa aksi mogok akan terus berlangsung hingga sukses. Selain mencuit melalui Twitter, ia menggunakan platform Telegram untuk mengabarkan situasi dan kondisi terakhir di Myanmar.
Wai Nu, melalui grup Telegram yang terbuka, memberi arahan agar warga yang mengikuti aksi demonstrasi bisa menjaga diri dan tetap berada di dalam barisan selama aksi berlangsung. Hal ini untuk menghindari kemungkinan mengalami kekerasan jika terjadi bentrok dengan aparat kepolisian.
Pesan ini juga digaungkan oleh pendiri lembaga Jaringan HAM Burma (BHRN), Kyaw Win, dan beberapa aktivis lainnya.
Penulis dan sejarawan Thant Myint-U melalui akun Twitternya mencuit, protes antikudeta menunjukkan setiap tanda peningkatan. Dia juga menilai, kondisi masyarakat Myanmar saat ini berbeda dengan masyarakat yang berdemo di tahun 1998 maupun 2007. ”Kita bisa mengharapkan reaksi yang berbeda yang akan datang,” kata Myint-U.
Tanpa internet dan informasi resmi yang langka, desas-desus berputar-putar tentang nasib Suu Kyi dan kabinetnya. Sebuah cerita bahwa dia telah dibebaskan menarik banyak orang untuk merayakannya pada hari Sabtu, tetapi dengan cepat dibatalkan oleh pengacaranya.
Suu Kyi, 75, kini menghadapi dakwaan mengimpor enam walkie-talkie secara ilegal dan ditahan di tahanan polisi untuk penyelidikan hingga 15 Februari. Pengacaranya mengatakan belum diizinkan untuk menemui Suu Kyi.
Menurut Andrews, lebih dari 160 orang telah ditangkap sejak militer merebut kekuasaan. ”Kita semua harus berdiri bersama orang-orang Myanmar di saat mereka dalam bahaya dan membutuhkan. Mereka layak mendapatkan apa pun yang kurang dari itu,” kata Andrews.
Di Vatikan, pemimpin umat Katolik Paus Fransiskus, dalam pesan hari Minggu di Lapangan Santo Petrus, mengatakan bahwa dia mengikuti situasi di Myanmar, yang pernah dikunjunginya tahun 2017, dengan rasa keprihatinan yang mendalam. Dia menyatakan solidaritasnya dengan rakyat Myanmar dan meminta pemimpin untuk melayani kepentingan bersama. (AFP/REUTERS/CAL)