Tindakan Represif Militer Myanmar Mulai Menelan Korban
Seiring dengan meluasnya pembangkangan publik oleh rakyat Myanmar terhadap kudeta militer di sana, aparat keamanan pun bertindak kian tegas. Sejumlah demonstran ditangkap dan terluka karena tembakan peluru karet.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
YANGON, SELASA — Penentangan rakyat Myanmar terhadap kudeta militer yang dinilai menghambat transisi demokrasi di negara itu mulai menelan korban. Setidaknya 27 demonstran ditangkap dan tiga orang terluka akibat tembakan peluru karet polisi, Selasa (9/2/2021).
Dalam empat hari terakhir, berbagai elemen masyarakat Myanmar turun ke jalan-jalan melakukan pembangkangan sipil dan melanggar larangan berkerumun untuk menolak kudeta militer. Gerakan ini mulai berdampak pada aktivitas di rumah sakit, sekolah, dan kantor pemerintah.
Pada 1 Februari lalu, militer Myanmar melakukan kudeta dan menangkap pemimpin sipil Aung San Suu Kyi dan sejumlah politisi. Militer menyatakan Myanmar dalam keadaan darurat selama 1 tahun.
Polisi mengeluarkan tembakan ke udara, memakai meriam air, dan menggunakan peluru karet untuk membubarkan unjuk rasa yang pecah di seluruh Myanmar dalam beberapa hari terakhir.
Setidaknya tiga dari empat pengunjuk rasa yang dibawa ke sebuah klinik terluka akibat peluru karet di ibu kota Naypyidaw. Video dari Kota Bago, arah timur laut Yangon, memperlihatkan polisi membubarkan demonstran dengan menembakkan meriam air. Polisi menangkap setidaknya 27 demonstran di Kota Mandalay, termasuk jurnalis.
Media Pemerintah Myanmar memberikan sinyal kemungkinan tindakan tegas oleh aparat keamanan kepada demonstran seiring dengan penerapan larangan pemerintah untuk berkumpul lebih dari lima orang.
Adapun Kedutaan Besar Amerika Serikat menyatakan telah menerima laporan pemberlakuan jam malam mulai pukul 20.00 waktu setempat hingga pukul 04.00 di dua kota terbesar di Myanmar, yaitu Yangon dan Mandalay.
Adapun akun Facebook True News yang merupakan akun unit informasi militer Myanmar mengunggah informasi bahwa larangan berkumpul lebih dari lima orang, pemberlakuan jam malam, dan arak-arakan bermotor diperluas tidak hanya di Yangon dan Mandalay, tetapi juga di ibu kota Naypyidaw, beberapa kota di wilayah Magwe, Negara Bagian Kachin, Kayah, Mon, dan Shan.
Siapa pun yang melanggar larangan itu bisa dijatuhi hukuman penjara hingga 6 bulan dan denda.
Gelombang unjuk rasa di Myanmar ini mengingatkan lagi kepada junta militer yang berkuasa hampir setengah abad lamanya sebelum akhirnya mulai menarik diri dari politik tahun 2011 walaupun mereka tidak menyerahkan sepenuhnya kekuasaan kepada pemimpin sipil Suu Kyi yang memenangi pemilu tahun 2015.
Ketika Suu Kyi dan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) yang memenangi pemilu pada November 2020 bersiap kembali ke kursi pemerintahan, militer melakukan kudeta menuduh pemilu penuh kecurangan. Komisi Pemilihan Umum menolak tuduhan itu.
”Kami sangat kecewa dan sangat sedih kalau memikirkan mengapa ini terjadi lagi,” kata seorang warga Yangon, Khin Min Soe, menyayangkan kembalinya militer di politik.
”Kami akan terus berjuang,” ujar aktivis remaja, Maung Saungkha. Ia menyerukan pembebasan tahanan politik dan mengakhiri ”kediktatoran.”
Para aktivis juga menuntut penghapusan konstitusi 2008 yang disusun oleh militer yang memberikan para jenderal hak veto di parlemen dan mengendalikan sejumlah kementerian.
Sementara generasi aktivis yang lebih tua, yang menentang militer dalam protes berdarah tahun 1988, menyerukan mogok kerja kepada para pegawai pemerintah selama tiga minggu ke depan.
Dalam pidato pertamanya yang disiarkan televisi, Senin (8/2/2021), Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan, militer akan membentuk ”demokrasi yang benar dan disiplin”, berbeda dengan era militer sebelumnya yang menerapkan kebijakan isolasi bertahun-tahun dan membawa kemiskinan.
”Kita akan menggelar pemilu multipartai dan kita akan menyerahkan kekuasaan kepada pihak yang menang pemilu,” ujar Min Aung Hlaing. Namun, tidak jelas kapan pemilu yang dijanjikan digelar. (REUTERS/AP)