PBB Didesak Berlakukan Embargo Senjata kepada Rezim Militer Myanmar
Dewan Keamanan PBB didesak memberlakukan embargo senjata kepada militer Myanmar. Pemerintah negara-negara pun diminta tidak menjual senjata mereka ke Myanmar.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
YANGON, KAMIS -- Kantor berita AFP, Kamis (25/2/2021), melaporkan, 137 lembaga swadaya masyarakat dari 31 negara sudah menandatangani surat terbuka yang berisi seruan kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa agar segera memberlakukan embargo senjata kepada rezim militer Myanmar.
Seruan khusus antara lain kepada tiga negara, yakni China dan Rusia (anggota tetap DK PBB) serta India (anggota tidak tetap).
DK PBB didesak untuk segera memberlakukan embargo senjata global kepada rezim militer Myanmar sebagai respons atas kudeta. Juga untuk mencegah junta melakukan pelanggaran lebih lanjut.
Kudeta militer Myanmar terhadap pemerintahan sipil negara itu terjadi pada 1 Februari 2021. Sejumlah pemimpin dan ratusan politisi senior ditangkap. Mereka dikenai tahanan rumah sejak itu, termasuk Penasihat Negara sekaligus Menteri Luar Negeri, Aung San Suu Kyi.
Junta juga mengambil tindakan keras terhadap massa pengunjuk rasa yang mendesak pemulihan pemerintahan sipil, yang telah memenangi pemilu parlemen pada November 2020.
Surat terbuka para LSM itu juga meminta pemerintah negara-negara yang menjual senjata kepada Myanmar untuk segera menghentikan pasokannya.
”Pemerintah yang mengizinkan transfer senjata ke Myanmar, seperti China, India, Israel, Korea Utara, Filipina, Rusia, dan Ukraina, harus menghentikan transfer senjata, amunisi, dan peralatan terkait,” kata surat LSM itu.
China dan Rusia adalah anggota tetap DK PBB yang memiliki hak veto. Sementara India adalah anggota tidak tetap DK PBB pada saat ini.
Direktur Human Rights Watch Kenneth Roth menyatakan, DK PBB dapat memberlakukan embargo senjata global terhadap Myanmar karena junta memiliki jarah buruk, yakni terkenal brutal dalam menangani unjuk rasa di masa lalu.
Junta militer Myanmar disebut telah bersikap kejam secara massal terhadap warga etnis Rohingya dan melakukan pelanggaran HAM atau kekerasan senjata ketika berkuasa sekitar lima dekade.
”DK PBB juga harus memberlakukan sanksi yang ditargetkan, larangan perjalanan global, dan pembekuan aset kepada pimpinan junta dan konglomerasi militer,” demikian pernyataan para penanda tangan yang juga termasuk puluhan LSM di Asia.
Bergeming
Junta militer Myanmar tetap bergeming dengan pilihan atas kudeta di negara itu. Junta bahkan meningkatkan penggunaan kekuatan terhadap kampanye pembangkangan sipil yang terus membesar. Para dokter, tenaga kesehatan, dan kelompok profesi lain terus menggaungkan pembangkangan sipil.
Untuk menghindari terus membesarnya unjuk rasa dan pembangkangan sipil, aparat keamanan pun memblokade kampus-kampus guna menghalangi mahasiswa. ”Kami ingin menggulingkan rezim militer, kami dihalangi,” kata seorang mahasiswa.
Pada Kamis (25/2), sekelompok warga sipil yang mendukung junta militer Myanmar telah menyerang dan melukai warga yang mendemo junta militer di Yangon.
Beberapa orang terluka dalam serangan di kota terbesar Myanmar itu sekaligus memperumit kebuntuan politik dan keamanan di Myanmar. Foto dan video di media sosial menunjukkan para penyerang menembakkan katapel serta membawa tongkat besi, pisau, dan peralatan tajam lain.
Sebuah video yang beredar luas menunjukkan seorang pria ditikam di depan sebuah perkantoran di dekat persimpangan pusat kota utama di jalan menuju Pagoda Sule, pusat aksi protes antikudeta.
Kericuhan dimulai dengan pawai ratusan orang yang mendukung kudeta. Polisi tampak diam saja menghadapi massa pendukung junta militer dan sekitar lokasi serangan.
Terkait kondisi terkini di Myanmar, Facebook mulai kemarin menutup semua akun yang terkait dengan militer Myanmar serta menolak iklan dari perusahaan yang dikendalikan junta militer Myanmar. Manajemen Facebook menyatakan, perusahaan memperlakukan situasi pascakudeta di Myanmar sebagai ”darurat”.
Langkah Facebook dilakukan karena dipicu sejumlah peristiwa sejak kudeta, termasuk kekerasan aparat yang telah menewaskan tiga pendemo.
Facebook telah melarang beberapa akun yang terkait dengan militer Myanmar sejak kudeta, termasuk Myawaddy TV yang dikendalikan tentara dan stasiun televisi negara MRTV. Larangan juga berlaku untuk Instagram yang dimiliki Facebook.
Semua platform medsos mendapat kecaman besar pada tahun 2017 ketika kelompok kanan mengecam bahwa mereka gagal menghentikan ujaran kebencian terhadap minoritas Rohingya Myanmar.
Di tengah pembatasan saluran internet di Myanmar, medsos menjadi sarana bagi warga untuk menyuarakan harapan dan permintaan mereka.
Harapan bernada desakan agar ASEAN dan Pemerintah RI mengembalikan supremasi sipil di Myanmar dilakukan para pengguna medsos Twitter. Akun resmi Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi mendapatkan balasan terkait hal-hal itu.
”Terima kasih Indonesia telah mendengarkan suara kami dan menghormati pilihan kami. Kami meminta para pemimpin ASEAN mendukung warga Myanmar secara adil,” cuit seorang warganet.
“Kami mohon bantu kami dengan tidak mendukung junta militer. Pemerintahan terpilih kami adalah @CrphMyanmar. Terima kasih banyak.”
Komite Perwakilan Pyidaungsu Hluttaw (CRPH) adalah komite yang digagas oleh anggota parlemen dari partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi sebagai partai pemenang pada pemilu Myanmar November lalu sekaligus mayoritas di parlemen. (AP/AFP/REUTERS/BEN)