Irak dan Kerinduan Umat Kristiani
Tiga dekade terakhir, wajah Irak compang-camping. Kekerasan seolah bagian dari kehidupan sehari-hari di sana. Kunjungan Paus Fransiskus, 5-8 Maret, diharapkan bisa menyembuhkan luka-luka akibat kekerasan itu.
Tiga dekade terakhir, wajah Mesopotamia—yang kini dikenal sebagai Irak—compang-camping. Kekerasan menjadi bagian dari kehidupan warga sehari-hari, menghancurkan semua sendi kehidupan. Bukan hanya warga Muslim, mayoritas di negara itu, melainkan juga warga minoritas turut menjadi korban.
Jutaan warga minoritas Kristen Irak melarikan diri dari kampung halaman, tanah air yang telah mereka jejaki ketika mereka pertama kali bisa berjalan sebagai seorang anak. Konflik, termasuk di dalamnya konflik sektarian, telah menghancurkan komunitas Kristen yang sudah ada sejak dua milenium silam.
Sebagian warga minoritas Kristen, yang memiliki sejarah panjang di Irak, melarikan diri ke wilayah otonom Kurdi. Di sana, mereka menunggu untuk bisa pindah ke lokasi lain yang jauh memberikan harapan untuk hidup aman, layak, dan sejahtera sebagai seorang manusia. Tujuan mereka adalah Jordania, tetangga dekat, atau bermukim di negara-negara yang jauh, seperti Australia, Inggris, atau Amerika Serikat.
Baca juga : Harmoni Muslim-Kristen di Dunia Arab
Rana Said (40) berusaha sekuat tenaga bertahan untuk tidak meninggalkan Kota Mosul, ibu kota Provinsi Nineveh, Irak, meski banyak anggota keluarganya tewas semasa konflik. Tahun 2007, Rana kehilangan paman dan bibinya yang tewas ketika tentara AS secara membabi buta melepaskan tembakan di jalan-jalan Kota Mosul, tidak lama setelah kota tersebut diserang. Bersama suaminya, Ammar al-Kass, seorang dokter hewan, dia bertahan di kota itu.
Namun, setahun kemudian, dia memilih keluar dari kota kelahirannya itu dan pindah ke wilayah Kurdistan, Irak, ketika negara itu dicengkeram pertumpahan darah akibat konflik sektarian. Warga sipil kehilangan nyawa meski tidak terlibat konflik secara langsung, termasuk warga minoritas Kristen.
Namun, Rana dan suaminya hanya bisa bertahan lima tahun. Tahun 2013, tempat tinggalnya kembali dilanda konflik. Ketidakstabilan terjadi. Mereka akhirnya memutuskan meninggalkan tanah leluhurnya di Irak dan bermukim di Gold Coast, Australia. Kini, bisa mengayam kembali kehidupan mereka yang tercabik-cabik akibat konflik bersama tiga buah hatinya: Sara (10), Liza (6), dan si bungsu Rose yang baru berusia 3 tahun.
Baca juga : Tak Ada Jalan Mudah ke Baghdad
Rana dan Ammar belum pernah sekali pun membawa putri mereka kembali mengunjungi tanah leluhur mereka. Meski demikian, mereka tetap menjunjung ”darah Irak” yang mengalir di tubuhnya, fasih berbahasa Arab dengan dialek Asyur modern, bahasa kuno komunitas Kristiani di Irak.
Dari jauh, mereka menyaksikan kelompok radikal, yang menamakan diri sebagai kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), menghancurkan kota-kota di Irak. Tidak mudah bagi Rana dan Ammar melihat kota kelahiran mereka hancur. Apalagi, ketika NIIS menghancurkan Gereja Perawan Maria, sebuah warisan berharga dunia yang telah berusia lebih dari 1.200 tahun.
”Di sanalah ayah saya menikah. (Gereja) itu dihancurkan dan dilenyapkan. Rata dengan tanah,” kata Ammar.
Untuk menghindari tekanan psikologis, dia menjauhkan Rana yang saat itu tengah mengandung putri kedua mereka, Liza, dari komputer dan telepon. Apalagi, Rana sering kali mengalami mimpi buruk mengenai tindak tanduk kelompok NIIS terhadap warga minoritas.
”Saya dulu pernah mimpi buruk tentang NIIS yang memasuki dan membunuh serta memperkosa keluarga saya. Itu mimpi yang berulang dan mengerikan,” tutur Rana secara emosional tentang para anggota kelompok ekstrem itu yang memaksa perempuan warga Yazidi dan warga minoritas lainnya masuk ke perangkap perbudakan seksual.
Baca juga : Kuda Troya dari Suriah
Bagi Saad Hormuz, tindak tanduk NIIS tidak hanya mampir dalam mimpinya, tetapi dialaminya secara langsung. Saat itu, 6 Agustus 2014, Hormuz yang bekerja sebagai supir taksi di Mosul mendengar bahwa kelompok NIIS menyerang Bartalla, kota kecil di dekat Mosul. Tanpa pikir panjang, dia pulang menjemput istrinya, Afnan, dan keempat putra-putrinya: Natalie, Norez, Franz, dan Fadi.
Menggunakan kendaraan yang ada, mereka berangkat menuju Al-Qosh. Namun, anggota NIIS semakin beringas, memaksa Hormuz dan keluarganya melarikan diri ke Arbil, ibu kota wilayah Kurdi.
Di sana, mereka sempat berlindung di sebuah gereja. Namun, setelah sebulan, mereka menyewa apartemen seharga sekitar 150 dollar AS (sekitar Rp 2,1 juta) per bulan selama tiga tahun. Uang sewa itu membebani kehidupan mereka.
Tiga tahun setelah penyerbuan itu, militer Irak berhasil membebaskan Bartella dari cengkeraman kelompok NIIS. Hormuz dan keluarganya sangat gembira dan bergegas kembali untuk melanjutkan kehidupan di kampung halaman mereka. Namun, mereka menemukan bahwa rumah mereka telah dibakar. Tidak ada satu barang pun tersisa.
Tak hanya itu, mereka juga menjumpai kenyataan bahwa kini kota tempat tinggal mereka itu dikuasai milisi Hashed al-Shaabi, jaringan paramiliter yang disponsori oleh negara.
Milisi itu dibentuk dari kelompok-kelompok bersenjata Syiah dan sukarelawan untuk melawan NIIS. Kondisi itu membuat Hormuz dan keluarganya semakin takut dan tidak nyaman.
”Kami hidup dalam ketakutan. Ada pos-pos pemeriksaan dan milisi di mana-mana. Suatu kali, mereka bahkan meminta istri saya untuk berjilbab,” kata Hormuz. Akhirnya dia memutuskan menjual semua harta benda miliknya dan bermigrasi ke Jordania.
Baca juga : Irak Hadapi Krisis Politik Paling Serius Pasca-NIIS
Dengan status pengungsi, tidak mudah bagi Hormuz untuk mencari pekerjaan secara legal. Dia dan keluarga terus-menerus bergantung pada dapur umum dari gereja di Amman, ibu kota Jordania, untuk makan sehari-hari. Baginya, pintu untuk kembali ke Irak sudah tertutup rapat. ”Kembali ke Irak sudah tidak mungkin,” katanya.
Menyusut
Komunitas Kristen Irak adalah salah satu yang tertua dan paling beragam di dunia. Komunitas Kristen di Irak, di antaranya, adalah komunitas Khaldea, Ortodoks Armenia, Protestan, serta cabang-cabang Kristen lainnya.
Saat Saddam Hussein digulingkan dengan bantuan Amerika Serikat tahun 2003, terdapat 1,5 juta warga Irak penganut Kristen dari total populasi saat itu sekitar 25 juta orang.
Kini, saat populasi di Irak bertambah, kondisi sebaliknya terjadi pada jumlah warga Kristiani di negara itu. Menurut William Warda, pendiri organisasi HAM Hammurabi, jumlah warga Kristiani di Irak hanya sekitar 400.000 jiwa dari total penduduk 40 juta.
Sebagian warga Kristiani yang dulu lahir di Irak memilih pergi. Amerika Serikat, Kanada, Australia, Norwegia, dan beberapa negara Eropa adalah sebagian besar negara yang mereka tuju.
Di Baghdad, komunitas sebanyak 750.000 orang Kristen yang pernah berkembang pesat kini telah menyusut hingga 90 persen. Komunitas Kristiani Irak malah berkembang di negara-negara tujuan.
Saad Sirop Hanna kini memimpin jemaat Kristiani Khaldea terbesar di Eropa. Jumlahnya sekitar 25.000 orang. Mereka tiba di Swedia secara bergelombang dalam empat dekade terakhir. Jemaat Keuskupan Khaldea merupakan bagian dari sekitar 140.000 warga Irak yang kini bermukim di Swedia. Ada lebih dari 140.000 penduduk kelahiran Irak di Swedia, termasuk Raghid Benna, penduduk asli Mosul yang bermukim di timur kota Sodertalje sejak tahun 2007.
”Ada begitu banyak orang Kasdim di sini sehingga saya bahkan tidak merasa seperti berada di pengasingan,” kata Ragid Benna, ayah dua anak. Benna berasal dari Mosul. Ia dan keluarganya tiba di Kota Sodertalje tahun 2007.
Baca juga : NIIS Membuat Dunia Repot
Sally Fawzi (24), warga Irak yang kini bermukim di AS, mengaku kenangan akan rumah, tanah leluhur mereka, bisa menyakitkan. Apalagi di sana, mereka kehilangan orang-orang yang dicintainya. Namun, tetap saja, ada hal yang dirindukan dari tanah leluhur, tempat kelahiran mereka.
”Hari ini, saya punya rumah, keluarga yang bahagia, pekerjaan, dan keluarga dekat saya tinggal di kota yang sama. Tetapi, saya paling merindukan rumah dan teman Baghdad saya. Ini tidak akan pernah sama,” kata Fawzi.
Saat keluarga-keluarga muda melarikan diri dari Irak, mereka meninggalkan kerabat mereka yang lebih tua, kata Warda dari Organisasi Hak Asasi Manusia Hammurabi. ”Sebuah keluarga Kristen biasanya beranggotakan lima orang. Sekarang tinggal tiga,” ujar Warda.
Di antara mereka adalah Younan al-Farid, seorang pendeta yang tetap tinggal di ibu kota, bahkan setelah saudara laki-lakinya bermigrasi ke Kanada, sedangkan saudara perempuannya ke Amerika Serikat. Karena jemaatnya lebih sedikit, kata Farid, ”Hingga 30 persen gereja Irak ditutup.”
Baca juga : Sel Tidur NIIS di Irak Bangun Lagi, Ibu Kota Baghdad Jadi Sasaran Serangan
Setelah hampir dua dekade pertumpahan darah dan pengeboman, Irak memasuki periode yang relatif tenang setelah kekalahan NIIS pada akhir 2017. Namun, hal itu tidak menghentikan pengungsian warga minoritas. ”Orang-orang masih pergi. Umat Kristen hanya berusaha menabung cukup uang, lalu secepatnya mereka bisa pindah,” kata Farid.
Sargon Issa, salah satu umat Kristiani yang tinggal di dekat Bartella, merasakan semangat kota meredup. Begitu banyak wajah yang dikenalnya hilang.
”Saat berjalan di jalan, saya biasa memberi hormat kepada begitu banyak orang, teman, dan tetangga. Sekarang, hampir tidak ada yang seperti itu. Hidup tidak seperti dulu. Tidak ada rasa untuk itu. Bahkan, orang-orang Kristen yang telah kembali ke Bartella mengatakan, mereka ingin pergi untuk menemukan stabilitas,” tutur Issa.
Dia juga mengaku ingin pergi dari Irak, menyusul umat, sahabat, dan lainnya. Namun, ibunya mengatakan pada dirinya bahwa dia ingin menghabiskan sisa hidupnya di Irak. Sia-sia Issa membujuk ibunya untuk pindah. ”Ibu memberi tahu saya bahwa kami harus tinggal dan bahwa Tuhan menyertai kami,” kata Issa.
Kunjungan Paus
Mosul, kampung halaman Rana dan Ammar, kini tengah berbenah. Jalan-jalan di kota itu, yang dipenuhi puing reruntuhan bangunan hingga kompleks gereja kuno di Karamlesh, yang rusak saat konflik melanda, tengah dibersihkan dan dibangun ulang. Umat Kristiani Irak kini tengah bersiap menyambut kehadiran pemimpin umat Katolik, Paus Fransiskus, di tengah-tengah mereka.
”Semua orang pasti ingin dekat dengannya, jadi ini pekerjaan besar. Semua petugas keamanan akan waspada,” kata Uskup Agung Najeeb Michaeel.
Sejak dia mengetahui bahwa Paus Fransiskus akan mengunjungi Irak, 5-8 Maret, Michaeel melihat beban kerjanya berlipat ganda.
”Kami berada di bawah tekanan yang sangat besar: Bapa Suci bukanlah orang biasa. Dia adalah perwakilan negara dan semua umat Katolik di seluruh dunia,” kata Michaeel.
Ini akan menjadi kunjungan pertama Paus ke Irak. Dia akan memimpin liturgi pertamanya dalam ritus Timur. Tidak ada katedral atau stadion yang cukup besar untuk menampung jumlah jemaat yang diperkirakan menghadiri misa di Nineveh. Pihak berwenang tengah menyiapkan tempat terbuka. Michaeel telah memeriksa lebih dari selusin gereja, sebagian berasal dari abad ke-5 dan ke-6, yang sebagian besar masih berupa reruntuhan untuk disinggahi.
Salah satunya adalah Gereja Miskinta yang masih rusak berat. Yang terparah adalah Gereja Santo Simon yang dinding batunya sudah runtuh serta dipenuhi puing-puing dan sampah.
Baca juga : Paus Fransiskus: Saatnya Menularkan Harapan dan Cinta Kasih
Michaeel memastikan bekas luka perang dari aksi brutal ISIS tetap ada—piala yang rusak, salib yang hancur di menara lonceng gereja—untuk mengingat kengerian yang dialami orang-orang Kristen di wilayah Nineveh, Irak.
”Kami memaafkan, tanpa melupakan,” kata Michaeel. ”Tetapi, yang paling penting adalah kegembiraan memasuki hati semua orang, karena ini bukan kunjungan formal yang sederhana. Ini momen spiritual.”
Kunjungan Paus ke Irak, khususnya kota Mosul yang menjadi salah satu kota dengan jumlah umat Kristiani terbesar di Irak, diharapkan menjadi salah satu gerbang kembalinya kehidupan di kota tersebut. Mohammed Essam, salah satu penggagas gerakan sukarelawan untuk membantu pembersihan bangunan gereja yang rusak di Mosul, mengatakan bahwa gerakan mereka adalah satu pesan pada saudara-saudara mereka agar mau kembali ke kota tersebut. ”Mosul tidak akan sempurna tanpa kehadiranmu,” ujarnya.
Essam mengatakan, kekayaan sejarah di Mosul diwarnai keragaman budaya serta kepercayaan, termasuk dari umat Kristiani. ”Kami ingin mengatakan, umat Kristiani berhak tinggal di sini. Mereka memiliki sejarah yang kaya di Mosul,” katanya.
Perjalanan Paus Fransiskus ke beberapa kota di Irak, termasuk Mosul, mengulang perjalanan bersejarah pemimpin umat Katolik itu ke Mesir, April tahun 2017, setelah hubungan antara Vatikan dan Al Azhar di Kairo, Mesir, sempat renggang selama beberapa waktu. Dalam kunjungan itu, bersama Imam Besar Al-Azhar, Sheikh Ahmed al-Tayeb, Paus Fransiskus menandatangani dokumen bersama tentang seruan perdamaian.
Baca juga : Dunia Memuji Deklarasi Bersejarah Al-Azhar dan Vatikan
Saat itu, Paus meminta para imam terkemuka di Mesir agar mendidik murid-murid menolak kekerasan atas nama Tuhan dan menyebarkan perdamaian, dialog, dan rekonsiliasi—bukan menebar konflik.
”Mari, kita katakan sekali lagi dengan tegas dan jelas ’Tidak!’ pada setiap bentuk kekerasan, balas dendam, dan kebencian atas nama agama atau atas nama Tuhan,” kata Paus. (Kompas, 29 April 2017)
Pesan yang sama juga disampaikan oleh Sheikh Ahmed al-Tayeb dan Paus Fransiskus ketika mereka menganugerahi Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres dan Latifa Ibn Ziaten penghargaan Zayed Award, Januari lalu. Paus mengatakan, persaudaraan antarumat, antarmanusia, merupakan garis terdepan pertahanan umat manusia.
”Persaudaraan manusia (human fraternity) berarti menghormati, mendengarkan dengan hati terbuka, dan memiliki keteguhan dalam berprinsip. Lahir dari leluhur yang sama, dengan budaya dan tradisi yang berbeda, kita semua masih bersaudara; dan dalam menghormati budaya dan tradisi kita yang berbeda, dan juga kewarganegaraan kita yang berbeda, kita harus membangun persaudaraan ini dengan tekad yang kuat. Saat ini adalah waktunya untuk mendengarkan dan menerima dengan tulus,” kata Paus.
Banyak yang berharap kedatangan Paus ke Irak bisa mengubah keadaan, seperti harapan Essam dan sebagian lainnya. Tetapi, tidak bagi Haval Emmanuel, warga Arbil.
”Paus itu seperti malaikat yang turun ke Irak. Tetapi, berapa banyak setan yang akan dia temukan di sini? Seorang pria damai mengunjungi sekelompok panglima perang. Bagaimana dia bisa mengubah mereka?” katanya.
”Kami mengharapkan Paus. Tetapi, kami tidak berharap banyak dari kunjungannya,” ujarnya sambil tersenyum pahit. (AP/AFP/REUTERS)