ASEAN Menjadi Tumpuan Harapan Dunia dalam Penyelesaian Krisis Myanmar
Sebagian kalangan menyebut tidak ada terobosan signifikan dalam sikap kolektif ASEAN pada pertemuan menlu ASEAN, Selasa lalu. Pernyataan ASEAN mengandung ambiguitas karena ketidaktegasan dalam susunan kata-katanya.
Oleh
MH SAMSUL HADI
·3 menit baca
Dari jumlah dan cakupan keanggotaan, Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN jelas tidak bisa dibandingkan dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB. ASEAN, organisasi regional, hanya beranggotakan 10 negara, sedangkan PBB 193 negara. Meski demikian, tidak ada tumpuan harapan sebesar yang diberikan kepada ASEAN dalam menyelesaikan krisis politik di Myanmar.
Bahkan, PBB sendiri—bersama Amerika Serikat, China, Uni Eropa, dan negara-negara lain—berharap betul kepada ASEAN agar memainkan peran utama dalam menengahi krisis di Myanmar. Harapan itu wajar. Myanmar adalah anggota ASEAN. Hanya kepada ASEAN, pihak yang berkuasa di Myanmar mau berbicara. Begitu juga sebaliknya, mungkin hanya ASEAN yang mau mendengar pihak di Myanmar.
Hal itu terlihat dalam pertemuan informal menteri luar negeri negara anggota ASEAN (virtual), Selasa (2/3/2021). Pertemuan ini semacam etape pertama dari diplomasi maraton, yang juga kerap disebut diplomasi ulang-alik (shuttle diplomacy), Menlu Retno LP Marsudi dalam bertemu dan berkomunikasi dengan banyak pihak guna mencari solusi atas krisis di Myanmar.
”Situasi ini sangat mengkhawatirkan. Mengkhawatirkan karena meningkatnya atau jatuhnya korban warga sipil yang harus kehilangan nyawa dan mengalami luka-luka. Mengkhawatirkan karena masih terus terjadinya penangkapan terhadap warga sipil,” kata Retno.
Pada Rabu (3/3/2021), korban tewas akibat kekerasan aparat di Myanmar bertambah 18 orang sehingga total sedikitnya 40 orang tewas sejak krisis politik menyelimuti negara itu pascakudeta militer, 1 Februari.
Namun, sebagian kalangan menyebut tidak ada terobosan signifikan dalam sikap kolektif ASEAN, setidaknya untuk saat ini. Dari sembilan poin Pernyataan Ketua ASEAN seusai pertemuan, dua poin menyinggung langsung krisis di Myanmar saat ini. ”Kami menyampaikan keprihatinan kami atas situasi di Myanmar dan menyerukan semua pihak menahan diri dari memicu kekerasan lebih lanjut, dan semua pihak agar menahan diri sekuat mungkin serta mengedepankan fleksibilitas,” demikian antara lain pernyataan Ketua ASEAN.
”Kami juga menyerukan semua pihak mencari solusi damai melalui dialog yang konstruktif.” Satu poin lainnya menyinggung soal pembebasan tahanan politik, sesuai tuntutan para pengunjuk rasa antikudeta di Myanmar. Namun, pernyataan itu mengandung ambiguitas karena ketidaktegasan dan ketidakjelasan dalam susunan kata-katanya.
”Kami juga mendengar sejumlah seruan atas pembebasan para tahanan politik,” demikian pernyataan Ketua ASEAN, yang tahun ini dipegang Brunei Darussalam. Tidak disebutkan siapa dan pihak mana yang mendorong seruan itu. Hal ini memperlihatkan seruan tersebut tidak didukung oleh seluruh negara anggota ASEAN.
Dalam pernyataannya, Retno dengan tegas dan eksplisit menyebut seruan pelepasan tahanan politik. Bahkan, bagi Indonesia, pelepasan tahanan politik itu sebagai bagian dari upaya menciptakan ”kondisi yang kondusif bagi komunikasi dan dialog” di Myanmar. Singapura, Malaysia, dan Filipina juga menyuarakan soal pelepasan tahanan politik tersebut.
Dalam pertemuan itu, Myanmar diwakili pejabat yang ditunjuk menjadi menlu, yakni Wunna Maung Lwin. Pertemuan para menlu ASEAN—setidaknya hingga saat ini—masih dilihat dengan curiga oleh kubu pengunjuk rasa. Sa Sa, utusan yang ditunjuk komite untuk PBB, mengatakan, ASEAN seharusnya tidak berurusan dengan ”rezim yang dipimpin militer yang tidak sah ini”. ASEAN, kata alumnus program pemuda ASEAN di Myanmar itu, harus berbicara dengan perwakilan dari pemerintahan Suu Kyi, bukan dengan rezim. (AP/REUTERS)