Thailand Jerat Aktivis dengan Dakwaan Penghasutan dan Penghinaan Kerajaan
Belasan aktivis prodemokrasi yang menjadi motor gerakan demonstrasi besar tahun lalu di Thailand mulai didakwa dengan pasal penghasutan dan penghinaan kepada kerajaan.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
BANGKOK, SENIN — Jaksa penuntut mendakwa 18 aktivis prodemokrasi di Thailand dengan pasal penghasutan dan dakwaan tambahan atas penghinaan kepada kerajaan terhadap tiga di antara mereka, Senin (8/3/2021). Dakwaan penghasutan dengan ancaman hukuman maksimal 7 tahun penjara itu merupakan buntut dari demonstrasi besar pada September 2020. Meski demikian, informasi detail atas dakwaan tersebut tidak jelas.
Tiga aktivis yang mendapatkan dakwaan tambahan dengan penghinaan kerajaan adalah Panusaya ”Roong” Sithijirawattanakul (22), Jatupat ”Pai Daodin” Boonpattararaksa (29), dan Panupong ”Mike Rayong” Jadnok (24). Pengadilan menolak permohonan uang jaminan atas ketiganya dan mereka tetap ditahan.
Salah seorang pengacara ketiga terdakwa, Krisadang Nutcharat, mengatakan bahwa para kliennya membantah semua dakwaan. Namun, pengadilan menolak permintaan pembebasan dengan jaminan dengan alasan mereka bisa kembali menghina kerajaan. Mereka akan menjalani sidang pada 15 Maret 2021.
Wakil Juru Bicara Kantor Jaksa Agung Chanchai Chalanonniwat menyampaikan, ke-13 orang lainnya didakwa atas pasal penghasutan, melanggar larangan berkerumun, dan dibebaskan dengan jaminan.
Otoritas Thailand mulai memberikan tekanan hukum terhadap orang-orang yang terlibat dalam gerakan protes yang mendesak Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha dan pemerintahannya mundur, amendemen konstitusi, dan reformasi kerajaan agar lebih akuntabel.
Gerakan pemuda Thailand sejauh ini menjadi tantangan terbesar bagi Prayuth yang dinilai merekayasa aturan pemilu 2019 agar tetap berkuasa. Pemerintahan Prayuth membantah tuduhan itu.
Menurut para aktivis, konstitusi memberikan raja kekuasaan yang terlalu besar sehingga beberapa kekuasaannya harus dihilangkan. Pihak Istana Kerajaan Thailand tidak memberikan tanggapan atas hal ini.
Reformasi kerajaan merupakan tuntutan paling radikal dan kontroversial karena kerajaan jarang menghadapi sorotan publik. Kerajaan juga menjadi pilar identitas Thailand yang selama ini tidak tersentuh. Mereka yang terbukti bersalah mengkritik atau menghina anggota kerajaan bakal dijatuhi hukuman hingga 15 tahun penjara.
Gerakan protes di Thailand telah menarik banyak pihak bergabung, tetapi pada saat yang sama menjauhkan sejumlah pihak, terutama para pendukung kerajaan yang terenyak atas kritik terhadap kerajaan. Gerakan tersebut mulai kehilangan semangat pada akhir tahun lalu di tengah perbedan faksi-faksi yang bertepatan dengan melonjaknya kasus Covid-19 di Thailand.
Bulan lalu, jaksa penuntut mendakwa empat orang pemimpin unjuk rasa dengan undang-undang lese majeste yang mengatur keluarga kerajaan. Saat itu, kejaksaan juga menolak permohonan adanya uang jaminan.
Jatupat, yang dipenjara karena melanggar UU lese majeste tahun 2017, mengatakan bahwa dirinya dan aktivis lain yang didakwa Senin akan tetap berjuang dari balik jeruji besi. ”Gerakan ini di luar akan tetap berjalan, apa pun yang terjadi,” ujarnya.
”Aktivitas yang sudah kami lakukan hanyalah awal dan akan tetap berjalan tanpa kami sekalipun.”
Pada Minggu (7/3/2021), Jatupat menyelesaikan hampir 250 kilometer berjalan kaki dari wilayah timur laut Thailand ke Monumen Demokrasi di Bangkok. Sepanjang jalan, kepada orang-orang yang ditemuinya, dia mengampanyekan penggulingan Prayuth, menuntut amandemen konstitusi, dan menghapus UU lese majeste.
Berdasarkan Thai Lawyers for Human Rights, setidaknya 382 orang, termasuk 13 anak di bawah umur, telah didakwa dalam kasus terkait gerakan protes tahun lalu. Minimal 60 orang di antaranya didakwa melanggar UU lese majeste. (AP/REUTERS)