AS Larang Produk Uniqlo Terkait Isu Kerja Paksa Uighur
Amerika Serikat melarang impor seluruh produk yang diduga menggunakan kapas dari Xinjiang, China. Sebab, kapas di Xinjiang dituding dihasilkan lewat kerja paksa terhadap orang-orang Uighur.
Oleh
Kris Mada
·4 menit baca
WASHINGTON, KAMIS — Badan Cukai dan Penjaga Perbatasan Amerika Serikat melarang produk busana milik perusahaan Jepang, Uniqlo, dibongkar di pelabuhan Los Angeles. Sebab, baju-baju itu diduga dibuat dengan kapas dari Xinjiang. Washington menuding, kapas di Xinjiang diproduksi dengan memanfaatkan kerja paksa terhadap orang Uighur.
Dalam laporan Reuters, Rabu (19/5/2021) malam waktu Washington atau Kamis (20/5/2021) siang WIB, terungkap bahwa larangan itu dikeluarkan pada Januari 2021. Walakin, Badan Cukai dan Penjaga Perbatasan (CBP) AS baru mengungkap dokumennya pada Mei 2021.
Dalam dokumen itu dijelaskan, Uniqlo menyanggah tudingan produknya menggunakan bahan baku hasil kerja paksa. Namun, sanggahan itu ditolak karena dinilai tidak cukup bukti.
Dalam sanggahannya, Uniqlo menyatakan hanya menggunakan bahan baku yang jelas dan proses produksinya menghormati hak pekerja. Semua kapas yang digunakan perusahaan dinyatakan telah memenuhi prinsip berkelanjutan.
Di masa pemerintahan Donald Trump, AS melarang impor seluruh produk yang diduga menggunakan kapas dari Xinjiang. Sebab, kapas di Xinjiang dituding dihasilkan lewat kerja paksa terhadap orang-orang Uighur. CBP menerbitkan perintah larang bongkar muatan (WRO) terhadap produk-produk yang diduga dihasilkan dengan memanfaatkan kerja paksa.
Boikot
Menyikapi larangan itu, sejumlah produsen busana dan produk yang menggunakan kapas membuat pernyataan soal Xinjiang. Pada 2020, Nike dan H&M serta berbagai perusahaan lain mengeluarkan pernyataan soal dugaan kerja paksa di Xinjiang. Mereka menyatakan tidak menggunakan kapas dari Xinjiang. Sebab, produksi kapas di sana diduga melibatkan kerja paksa.
Sampai pertengahan Maret 2021, ada pernyataan soal dugaan kerja paksa di Xinjiang di sejumlah laman perusahaan asing. Belakangan, laman Inditex , VF Corp, PVH, dan Abercrombie & Fitch tidak lagi menayangkan pernyataan soal Xinjiang.
Belakangan, sebagian perusahaan menghapus pernyataan itu dari laman mereka. Penghapusan dilakukan setelah perusahaan Swedia, H&M, dan perusahaan Amerika Serikat, Nike, diboikot konsumen China.
Boikot terjadi di tengah peningkatan ketegangan Beijing-Washington. Sejumlah warganet China membagikan pernyataan perusahaan-perusahaan tersebut soal Xinjiang. Warga China menanggapi pernyataan itu dengan memboikot produk yang mengeluarkan pernyataan soal Xinjiang.
Sejumlah pusat perbelanjaan meminta H&M dan Nike menutup toko. Di sejumlah aplikasi dan laman e-dagang, seperti Taobao, JD, hingga Alibaba, sudah tidak bisa ditemukan lagi hasil pencarian untuk H&M. Sementara di ponsel Xiaomi, Huawei, dan Vivo tidak ada lagi aplikasi H&M.
Adapun laman Baidu, layanan sejenis Google di China, tidak menunjukkan hasil apa pun kala pengguna mencari lokasi toko H&M. Di aplikasi Didi, perusahaan sejenis Gojek dan Grab, juga tidak bisa ditemukan pencarian untuk H&M.
Melalui Weibo, layanan media sosial sejenis Twitter, sejumlah pesohor China mengumumkan pemutusan kerja sama dengan H&M. Setiap pesohor itu punya jutaan pengikut di Weibo dan platform media sosial lain. Mereka dijadikan acuan mode banyak warga China.
Kecaman juga dialami Burberry, Adidas, New Balance, Under Armour, Tommy Hilfiger, Puma, dan Uniqlo. Seperti Nike dan H&M, perusahaan-perusahaan itu juga pernah menyatakan tidak menggunakan kapas Xinjiang di tengah dugaan kerja paksa di sana.
Dengan status sebagai salah satu pasar terbesar dan satu-satunya negara besar yang perekonomiannya tetap tumbuh selama 2020, China menjadi andalan banyak perusahaan untuk menambah pundi. Adidas menargetkan kenaikan penjualan di China mencapai 30 persen pada 2021. Kini, target itu bisa terdampak oleh boikot konsumen.
Malaysia
CBP tidak hanya menerbitkan WRO terkait Xinjiang. Produsen sarung tangan karet asal Malaysia, Top Glove, juga menjadi sasaran larangan dengan alasan sejenis. Rabu (18/5/2021), CBP menyita hampir 5 juta lembar sarung tangan buatan Top Glove di Kansas. Produk senilai hampir 700.000 dollar AS itu disita karena melanggar WRO.
Pada awal Mei 2021, penyitaan sejenis juga dilakukan untuk hampir 4 juta lembar sarung tangan bernilai 518.000 dollar AS. CBP menegaskan WRO yang dikeluarkan pada Juli 2020 masih berlaku untuk Top Glove.
Dalam beberapa kesempatan, Top Glove mengaku telah menyelesaikan tudingan kerja paksa. Namun, CBP bersikukuh mempertahankan keputusan untuk melarang produk Top Glove masuk ke AS.
Dalam pernyataan pada Maret 2021, CBP menyebut ada banyak bukti kerja paksa di fasilitas produksi Top Glove. Sebagian pekerja di pabrik sarung tangan itu adalah pekerja migran.
Paspor mereka kerap disita manajemen atau agen penyalur pekerja sebagai jaminan. Pekerja dinyatakan berutang karena biaya keberangkatan mereka ditanggung agen. Pekerja harus mencicil lewat potongan gaji. Sampai lunas, paspor ditahan. Tidak jarang, barang milik pekerja juga dirampas untuk pembayaran utang. (AFP/REUTERS)