Peringatan risiko bencana kelaparan terhadap sekitar 350.000 pengungsi Tigray disuarakan oleh Badan Pangan Dunia dan lembaga kemanusiaan. Bahkan, angkanya dikhawatirkan jauh lebih besar. Pemerintah Etiopia membantahnya.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
NEW YORK, KAMIS — Sebuah analisis yang tidak dipublikasikan oleh badan-badan di Perserikatan Bangsa-Bangsa dan lembaga-lembaga kemanusiaan memperkirakan sekitar 350.000 warga di wilayah Tigray terancam kelaparan. Namun, data yang tercatat dalam pertemuan Komite Tetap Antarlembaga (IASC) —gabungan 18 pimpinan lembaga PBB dan non-PBB—dibantah oleh Pemerintah Etiopia.
”Mengenai risiko kelaparan, tercatat bahwa angka analisis IPC (Integrated Food Security Phase Classification) yang tidak dipublikasikan sedang diperdebatkan oleh Pemerintah Etiopia. Terutama sekitar 350.000 orang di seluruh Tigray yang diyakini berada dalam kondisi kelaparan pada level IPC 5,” tulis dokumen. Dokumen itu dilihat oleh kantor berita Reuters pada Rabu (9/6/2021).
Reuters menyebutkan, dokumen itu ditulis pada Senin (7/6/2021). Dokumen itu juga menyebutkan, hasil analisis lapangan menemukan bahwa jutaan warga di seluruh Tigray membutuhkan dukungan pangan dan mata pencarian untuk mencegah penurunan kualitas hidup, serta untuk menghindari kelaparan.
Menurut data IPC, situasi kelaparan telah dinyatakan dua kali dalam dekade terakhir, yaitu di Somalia pada 2011 dan di Sudan Selatan pada 2017. Badan-badan PBB, lembaga kemanusiaan, pemerintah, dan pihak terkait lainnya menggunakan data IPC untuk menentukan situasi terkini.
Dikutip dari laman Program Pangan Dunia (WFP), ada lima klasifikasi tingkat situasi keamanan pangan, yaitu minimal, dalam tekanan (stressed), krisis, darurat, dan malapetaka atau bencana kelaparan. Beberapa indikator yang digunakan dalam klasifikasi situasi keamanan pangan yang paling buruk (malapetaka atau bencana kelaparan) adalah tingkat kematian yang tinggi serta level kekurangan gizi akut pada anak-anak.
Seorang diplomat senior Etiopia di New York, Amerika Serikat, yang tidak mau disebutkan namanya membenarkan bahwa Pemerintah Etiopia membantah hasil analisis tersebut dan mempertanyakan metode survei yang digunakan. Pemerintah Etiopia juga menuduh IPC tidak transparan dalam proses penyusunan laporan serta tidak cukup berkonsultasi dengan otoritas terkait.
Lebih besar
Data WFP yang baru dirilis pada awal pekan ini menyebutkan, lebih dari 91 persen warga Tigray atau sekitar 5,2 juta orang membutuhkan bantuan pangan darurat. Bila bantuan pangan ini tidak segera didistribusikan di wilayah tersebut, WFP mengkhawatiran terjadi malapetaka yang lebih hebat.
”Sebanyak 5,2 juta orang, setara dengan 91 persen populasi Tigray, membutuhkan bantuan pangan darurat akibat konflik. Kami khawatir dengan dampak konflik pada tingkat kelaparan yang sebenarnya sudah tinggi. Prihatin dengan jumlah orang yang kami lihat membutuhkan dukungan nutrisi dan bantuan makanan darurat,” kata Juru Bicara WFP Tomson Phiri di Geneva.
Konflik di Tigray berawal dari upaya Perdana Menteri Etiopia Abiy Ahmed untuk mengakhiri federalisme etnis di Tigray yang didominasi pemeluk agama Kristen. Abiy mendeklarasikan kemenangan tiga minggu setelah serangan dimulai. Ia mengganti pemerintahan regional yang dikuasai TPLF dengan pemerintahan sementara yang dipimpin seorang pejabat federal yang berpusat di ibu kota Addis Ababa. Saat itu, dia mengatakan, operasi militer di Tigray telah selesai.
Namun, kini, enam bulan kemudian, pertempuran sengit masih terus berlanjut di Tigray. Pejuang pro TPLF melakukan penyerangan di desa-desa. Sebagai pembalasan, dengan dalih untuk keutuhan dan kesatuan bangsa serta demi melindungi rakyat, pasukan pemerintah pun balas menyerang (Kompas.id, 27 Mei 2021)
WFP mengatakan telah memberikan bantuan darurat kepada lebih dari 1 juta orang sejak Maret lalu, dan didistribusikan di wilayah barat laut dan selatan Tigray. Namun, untuk membantu mengatasi kondisi darurat pangan dan kekhawatiran adanya malapetaka di Tigray, WFP mengajukan dana tambahan sebesar 200 juta dollar AS untuk merespons kondisi tersebut.
Pekan lalu, seorang pejabat senior PBB, dalam sebuah dokumen, mengingatkan Dewan Keamanan PBB bahwa dibutuhkan tindakan cepat untuk menghindari kelaparan di Tigray. ”Ada risiko kelaparan yang serius jika bantuan tidak ditingkatkan dalam dua bulan ke depan,” tulis Mark Lowcock, koordinator bantuan darurat utama PBB.
Dia memperkirakan lebih dari 90 persen panen hilang karena penjarahan, pembakaran, atau perusakan lainnya. Selain itu, 80 persen ternak milik warga di wilayah itu dijarah atau disembelih.
WFP mengatakan, ketidakstabilan situasi di lapangan merusak upaya pekerja kemanusiaan untuk menjangkau komunitas rentan di Tigray, terutama di daerah pedesaan. Para pekerja kemanusiaan membutuhkan situasi yang lebih stabil untuk bisa mengakses komunitas rentan, terutama di daerah pelosok.
”Gencatan senjata dan akses tanpa hambatan sangat penting bagi WFP dan semua mitranya di Tigray untuk menjangkau semua area dan semua orang yang sangat membutuhkan dukungan untuk menyelamatkan nyawa, kata Phiri.
Sementara itu, juru bicara WFP mengatakan, lembaga tersebut menemukan adanya peningkatan tingkat kekurangan gizi di kalangan perempuan dan anak-anak. WFP menemukan bahwa hampir separuh dari ibu hamil atau menyusui di 53 desa mengalami malnutrisi sedang atau akut dan hampir seperempat dari semua anak yang diamati ditemukan malnutrisi atau kekurangan gizi.
Tak hanya itu, dilaporkan juga seorang pekerja kemanusiaan Etiopia tewas terkena peluru nyasar beberapa waktu lalu dan membuat jumlah pekerja kemanusiaan yang tewas di lokasi konflik menjadi sembilan orang.
Pemerintah Etiopia di Addis Ababa mengatakan, pihaknya berkomitmen untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia dan telah memberikan akses ”penuh dan tanpa hambatan” kepada para pekerja bantuan.
Dalam cuitannya di Twitter, Kementerian Luar Negeri Etiopia menyalahkan TPLF karena mengganggu aksesibilitas ke lokasi terpencil dan arus bantuan kemanusiaan.
”Sisa-sisa” dari kelompok itu telah ”membunuh pekerja kemanusiaan, pengemudi truk, serta menjarah makanan dan barang-barang non-makanan yang akan dikirimkan kepada orang-orang yang membutuhkan dukungan,” kata kementerian itu. (AFP/Reuters)