Gandeng Sekutu, AS Jadikan China-Rusia Musuh Bersama
Amerika Serikat menggalang kekuatan untuk menarasikan China-Rusia sebagai ancaman global. Setelah G-7, kini giliran Pakta Pertahanan Atltantik Utara (NATO) dikonsolidasikan.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
BRUSSELS, SENIN — Setelah G-7, Amerika Serikat melakukan konsolidasi politik luar negeri ke Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Targetnya adalah menjadikan China-Rusia musuh bersama bagi Amerika Serikat, sekutunya, dan bahkan dunia. Untuk itu, narasi yang dibangun adalah menempatkan China dan Rusia sebagai ancaman dunia.
Para pemimpin negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara dalam komunike bersama di akhir pertemuan di Brussels, Belgia, Senin (14/6/2021) waktu setempat, mendeklarasikan China sebagai ancaman keamanan dan tantangan bagi tata dunia berbasis aturan. NATO juga mengecam aktivitas militer yang agresif dari Rusia.
”Ambisi dan perilaku asertif China menjadi tantangan sistemik bagi tatanan internasional berbasis aturan dan keamanan aliansi,” kata para pemimpin NATO seusai pertemuan di Brussels, Belgia, Senin waktu setempat.
Perilaku asertif China yang dimaksud NATO itu, antara lain, membangun kekuatan nuklir, meningkatkan kapasitas program luar angkasa, perang maya, membangun pangkalan militer di Afrika, dan latihan militer bersama Rusia. Perilaku ini yang dinilai mengancam tata dunia sehingga China tidak bisa lagi hanya dianggap sebagai mitra dagang semata.
Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg memperingatkan, NATO harus bersiap menghadapi pengaruh militer China yang kian luas mulai dari wilayah Baltik hingga Afrika. ”China sudah semakin dekat dengan kita. Kita melihat China di dunia maya, di Afrika, dan kita juga melihat China investasi besar-besaran pada pelabuhan dan jaringan telekomunikasi. Kita harus menangani ini bersama-sama sebagai satu ikatan aliansi,” kata Stoltenberg.
Menanggapi pernyataan para pemimpin negara anggota NATO itu, perwakilan Pemerintah China di wilayah Uni Eropa melalui situsnya, Selasa (15/6/2021), protes dan mendesak NATO untuk tidak melebih-lebihkan ”teori ancaman China”. Pernyataan NATO itu dinilai memfitnah China. Sikap NATO itu sekaligus menunjukkan mentalitas perang dingin. Selama ini, China selalu berkomitmen pada proses perdamaian.
”Kami tidak akan menjadi tantangan bagi tata dunia berbasis aturan atau tantangan sistemik bagi siapa pun. Tetapi jika ada yang akan menjadi tantangan sistemik pada kami, kami tidak akan tinggal diam,” tulis China dalam pernyataan di situsnya.
Kedutaan Besar China di London, Inggris, menentang penyebutan Xinjiang, Hong Kong, dan Taiwan dalam pernyataan NATO karena banyak fakta yang diputarbalikkan. Hal itu adalah niat jahat dari sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat.
Serba salah
Meskipun sama-sama menganggap China sebagai ancaman, negara-negara anggota NATO tidak satu suara dan satu sikap dalam mengkritik China. Sebab, masing-masing memiliki hubungan kerja sama ekonomi dengan negara itu. Jerman, misalnya. Negara ini memiliki kerja sama perdangan yang besar dengan China. Per 2020, total perdagangan kedua negara mencapai 256,82 miliar dollar AS. Demikian pula dengan AS sendiri. Nilai perdagangan AS dan China per 2020 mencapai 559 miliar dollar AS.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson menyatakan, tidak mudah menangani isu China karena selalu akan ada keuntungan dan kerugiannya. ”Saya kira tidak ada satu pun negara anggota NATO yang akan mau terlibat dalam perang dingin baru dengan China,” ujarnya.
Kanselir Jerman Angela Merkel juga mengingatkan agar semua pihak tetap mengawasi China yang berpotensi menjadi ancaman, tetapi tetap harus secara proporsional. ”Kita tidak bisa mengabaikan China begitu saja. Lihat saja dunia maya dan kerja sama antara Rusia dan China. Tetapi kita juga jangan berlebihan dalam menangani perkara ini. Harus seimbang dan kita harus mencari tahu caranya,” ujarnya.
Pernyataan NATO yang dituangkan dalam komunike di hari terakhir pertemuan itu seakan menjadi ”kemenangan diplomasi” bagi Presiden AS Joe Biden. Biden dengan itu telah mendorong fokus NATO bergeser menempatkan China sebagai ancaman utama. Awalnya, NATO dibentuk untuk menjaga dan mempertahankan Eropa sekaligus membendung Uni Soviet di masa perang dingin.
Biden menilai baik China maupun Rusia sama-sama tidak berperilaku sesuai dengan harapan NATO. Ia merujuk pada upaya negara-negara barat untuk membawa kedua negara itu masuk ke sistem demokrasi liberal sejak pertengahan 1990-an.
Sementara dari aspek militer, NATO menilai Rusia menjadi ancaman yang kian nyata. Ini didasarkan atas kegigihan Rusia membangun kekuatan militer. Rusia juga dianggap provokatif dan mengancam keamanan wilayah Eropa-Atlantik sehingga berkontribusi pada ketidakstabilan situasi keamanan di sepanjang perbatasan negara-negara anggota NATO hingga ke wilayah-wilayah lain.
NATO mempertegas kembali dukungannya pada integritas wilayah Georgia, Moldova, dan Ukraina. NATO mendesak Rusia menarik seluruh pasukannya yang ditugaskan di ketiga negara itu tanpa izin mereka. NATO, sesuai dengan pasal 5 dalam Perjanjian NATO, menyebutkan, negara-negara anggota NATO wajib menjaga dan melindungi satu sama lain.
Kehadiran Biden di pertemuan para pimpinan NATO juga menandai kembalinya peran AS di NATO. Sebelumnya, Presiden Donald Trump malah mengancam mundur dari NATO dan menuding negara-negara di Eropa tidak banyak berkontribusi dalam menjaga pertahanan dan keamanan mereka sendiri. ”Saya mau semua negara di Eropa tahu bahwa AS ada di sini dan NATO penting buat kami. AS sudah kembali,” kata Biden.
Biden mengingatkan akan potensi China dan Rusia yang berusaha memecah belah aliansi transatlantik itu. Tanpa bermaksud memancing konflik dengan Rusia, Biden meminta NATO bertindak jika Rusia tetap saja melanjutkan aktivitas yang mengganggu. ”Rusia dan China berusaha menggoyahkan solidaritas transatlantik kita ini,” ujarnya. (REUTERS/AFP/LUK)