Trio Buron Pemerintah Amerika Serikat
Pemerintah Amerika Serikat punya sedikitnya tiga buron yang kejahatannya tidak berkaitan dengan kekerasan atau terorisme. Namun ulahnya menjadi kontra narasi terhadap arus utama yang dibangun rezim. Siapa saja mereka?
Edward Snowden, Julian Assange, dan John McAfee, adalah buron pemerintah Amerika Serikat. Dakwaannya berbeda. Satu aspek yang sama, ketiganya adalah kontra narasi terhadap arus utama yang diembuskan rezim negara adidaya itu.
Kematian John McAfee dalam sel penjara di Barcelona, Spanyol, 23 Juni 2021, memantik kembali pembicaraan seputar kisah tiga buron pemerintah Amerika Serikat (AS) tersebut. Berbagai media di AS dan Barat kembali membuka ulang ”kasus” tiga sosok kontroversial itu. Dan masyarakat kembali menengok dokumentasi unggahan ulasan dan wawancara tentang mereka di berbagai media sosial.
John McAfee adalah pionir program anti-virus komersial pertama di dunia. Warga negara AS itu ditemukan tewas di sel penjara di Barcelona, pada usia 75 tahun. Otoritas setempat menyebutkan bahwa penyebab kematian adalah bunuh diri.
Baca juga : Akhir Menyedihkan Sang Pencipta Anti-virus
Kematian John terjadi beberapa jam setelah pengadilan tertinggi di Spanyol mengabulkan permintaan Departemen Keadilan AS untuk ekstradisi pria eksentrik itu ke AS. Ia didakwa melakukan penghindaran pajak penghasilan pribadi selama 2014-2018 sekaligus tidak melaporkan surat pemberitahuan pajak penghasilan tahunan pada periode yang sama.
Perhitungan pajak terutangnya mencapai 4,21 juta dollar AS atau sekitar Rp 65 miliar. Maksimal ancaman hukuman penjaranya adalah 30 tahun. Belakangan, pada kasus berbeda, ia juga didakwa melakukan penipuan dan pencucian uang.
Atas dasar dakwaan tersebut, Departemen Keadilan AS meminta kepolisian Spanyol untuk menangkap John saat hendak terbang dari Bandara Barcelona menuju Turki pada akhir Oktober 2020. Singkat kata, ia yang berhasil ditangkap kemudian mendekam di penjara Barcelona hingga hari kematiannya sebelum ekstradisi dilakukan.
Selama hidupnya, John acapkali menjungkirbalikkan arus utama narasi di AS untuk sejumlah isu strategis. Ia misalnya berulang kali menentang narasi bahwa Rusia campur tangan dalam pemilihan umum (pemilu) presiden AS 2016 melalui peretasan sistem teknologi informasi Komite Nasional Demokrat atau Democrat National Committee (DNC). DNC adalah badan yang mengkoordinasikan strategi pemenangan kandidat presiden Partai Demokrat pada setiap pemilu presiden AS.
"Saya merasa, Amerika selama ini secara serius telah melecehkan Rusia, khususnya pemerintah dan para politisi AS yang telah salah menuduh Rusia meretas pemilu kita. Saya tahu faktanya bahwa Rusia tidak meretas sistem DNC,” kata John dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi RT di 2017.
Baca juga : Intelijen AS Ingatkan Campur Tangan Rusia di Pemilu 2020
Laporan dari Keamanan Dalam Negeri AS, John menambahkan, antara lain mengidentifikasi perangkat lunak yang digunakan untuk meretas sistem DNC. Ia dan ratusan peneliti lain yang telah mencermati laporan itu menyimpulkan bahwa malware yang digunakan untuk meretas adalah malware biasa yang disebut P.A.S Web Shell.
”Dan yang perangkat lunak yang digunakan untuk meretas itu adalah versi yang sudah tua. Padahal versi terbarunya pun harganya cuma 50 dollar AS. Sekarang saya bertanya kepada anda semua, percayakah kalian bahwa pemerintah Rusia tidak mampu membeli 50 dollar AS (malware versi terbaru) jika mereka benar-benar ingin membeli perangkat lunak itu,” kata John.
Assange Berikutnya
Beberapa jam setelah kabar kematian John beredar di media massa dan berseliweran di media sosial, Edward Snowden segera mewanti-wanti bahwa ekstradisi bisa terjadi pula pada Assange yang sejak April 2019 meringkuk di penjara London, Inggris.
”Eropa seharusnya tidak mengekstradisi mereka yang dituduh melakukan kejahatan non-kekerasan ke sistem pengadilan yang sangat tidak adil dan sistem penjara yang begitu kejam - sehingga warga negara AS sekali pun lebih memilih mati daripada melakoninya. Julian Assange bisa menjadi yang berikutnya," cuit Snowden.
Assange adalah editor dan penerbit yang mendirikan WikiLeaks di 2006. Pada 2010, WikiLeaks menyita perhatian dunia saat mempublikasikan sejumlah dokumen dari analis intelejen militer AS, Chelsea Manning. Di antaranya adalah dokumen berjudul, Pembunuhan Kolateral Serangan Udara di Baghdad (April), Catatan Perang Afghanistan (Juli), Catatan Perang Irak (Oktober), dan Skandal Kawat Diplomasi (November).
Publikasi material tersebut menggugat narasi yang selama ini beredar di masyarakat AS tentang misalnya, misi mulia perang AS di Irak. Sebuah video yang dipublikasikan WikiLeaks menunjukkan serangan udara di Baghdad, Irak, 12 Juli 2007. Dalam video tampak helikopter AS menembaki sejumlah warga sipil yang kocar-kacir. Beberapa di antaranya tewas, termasuk dua wartawan Reuters.
Terhadap serial publikasi tersebut, Departeman Keadilan AS per Maret 2010 mendakwa Assange telah berkonspirasi dengan Manning dalam hal mengakses dokumen rahasia dari komputer Departemen Pertahanan AS. Ancaman hukuman penjaranya hingga lima tahun.
Pada November 2010, pemerintah Swedia mengeluarkan surat perintah penangkapan internasional untuk Assange atas dakwaan tindakan asusila. Menurut Assange, dakwaan yang belakangan dihentikan itu adalah modus untuk mengekstradisinya dari Swedia ke AS.
Gagal dalam perlawanannya terhadap upaya ekstradisi tersebut, Assange lari dan berlindung di Kedutaan Besar Ekuador di London, Juni 2012. Sekitar dua bulan kemudian, pemerintah Ekuador memberi suaka kepada warga negara Australia itu atas dasar masalah persekusi politik.
Selama tujuh tahun, Assange tinggal di salah satu ruangan di Kedutaan Besar Ekuador. Ia tinggal bersama kucinganya, James, sampai akhirnya suatu hari suakanya dicabut menyusul pergantian rezim di Ekuador. Dan pada April 2019, Kepolisian Metropolitan London akhirnya menahannya atas alasan persoalan tagihan yang belum dibayar pada 2012 dan permintaan ekstradisi pemerintah AS. Sampai saat ini, Assange mendekam di penjara London.
Selain dakwaan pertama, Departemen Keadilan AS telah dua kali menerbitkan dakwaan baru kepada pria kelahiran 3 Juli 1971 itu. Pada 2019, Assange didakwa melakukan 17 tindakan kriminal karena mempublikasikan dokumen rahasia pemerintah AS. Dengan demikian, total terdapat 18 dakwaan yang menimpa Assange karena melanggar Undang-Undang Spionase 1917. Ancaman hukuman penjaranya maksimal 175 tahun.
Edward Snowden, Julian Assange, dan John McAfee, adalah buron pemerintah Amerika Serikat. Dakwaannya berbeda. Satu aspek yang sama, ketiganya adalah kontra narasi terhadap arus utama yang diembuskan rezim negara adidaya itu.
Baru-baru ini, Departemen Keadilan AS mengeluarkan lagi dakwaan terhadap Assange untuk kegiatan peretasannya. Surat dakwaan itu tertanggal 24 Juni atau sehari setelah kematian John McAfee.
Mengutip The Guardian, pemerintah AS meminta ekstradisi bisa dilakukan kepada pengadilan Inggris dengan janji tidak akan menempatkan Assange di penjara dengan pengamanan maksimum. AS juga berjanji bahwa hukuman penjara, jika dakwaan terbukti, bisa dijalani Assange di negaranya, Australia.
Permohonan ini dilayangkan pemerintah AS setelah pengadilan Inggris pada awal Juni lalu menyetujui proses banding terhadap putusan pengadilan sebelumnya. Pada Januari 2021, hakim distrik Vanessa Baraitser, memutuskan Assange tidak dapat diekstradisi karena khawatir atas kesehatan mental dan risiko bunuh diri di penjara AS.
Masih mengutip The Guardian, Stella Moris, tunangan Assange, menyatakan, 80.000 tahanan di penjara AS mendekam di sel isolasi pada hari tertentu. Hanya segelintir yang ditahan dalam kondisi sesuai permohonan ekstradisi.
"Apa yang sebenarnya dimohon oleh pemerintah AS adalah cara menahan Julian dalam penjara secara efektif selama sisa hidupnya,” kata Moris.
Sementara di Rusia, Edward Snowden bisa hidup lebih tenang tanpa khawatir diekstradisi ke AS. Sejak menjadi buron pemerintah AS per 21 Juni 2013, Snowden terbang, mencari suaka dan tinggal hingga kini di negara rival AS itu.
Setelah menggunakan ijin tinggal sementara dengan masa berlaku setahun yang terus diperbarui, Snowden akhirnya mendapatkan ijin menjadi penduduk tetap dari pemerintah Rusia per 23 Oktober 2020. Snowden kini tinggal bersama isterinya, Lindsay Mills.
Sebelum menjadi buron, Snowden bekerja di berbagai unit dalam komunitas intelijen AS, termasuk CIA. Terakhir, warga negara AS itu bekerja sebagai analis infrastruktur di salah satu mitra Badan Keamanan Nasional (National Security Agency/NSA), Booz Allen Hamilton.
Ia keluar dari dunia intelejen karena merasa banyak hal yang mengusik nuraninya. Sejumlah informasi penting yang dirahasiakan negara, menurut dia, semestinya diketahui masyarakat. Oleh sebab itu, akhirnya ia mengundurkan diri. Namun sebelum mengundurkan diri, Snowden telah menyedot informasi dari NSA. Pria kelahiran 21 Juni 1983 itu lantas pergi ke Hong Kong pada 2013. Di sebuah kamar hotel di Hong Kong, ia membagikan sejumlah dokumen berklasifikasi rahasia kepada wartawan.
Pria kelahiran 21 Juni 1983 itu lantas pergi ke Hong Kong pada 2013. Di sebuah kamar hotel di Hong Kong, ia membagikan sejumlah dokumen berklasifikasi rahasia kepada wartawan.
Dokumen yang dipublikasikan antara lain adalah program pengawasan massal oleh NSA terhadap warga negara AS. Melalui program itu, NSA bisa memata-matai seluruh kegiatan warga AS. Ini dilakukan dengan cara menyedot informasi dari telepon selular, media sosial, kamera di berbagai tempat umum, dan lain sebagainya. ”Pemerintah telah memberikan kekuasaan yang bukan haknya kepada dirinya sendiri. Tidak ada pengawasan publik,” kata Snowden.
Departemen Keadilan AS per 21 Juni 2013 menjatuhkan tiga dakwaan terhadap Snowden, yakni satu dakwaan atas pencurian properti pemerintah dan dua dakwaan atas pelanggaran Undang-Undang Spionase 1917. Ancaman setiap dakwaan adalah hukuman penjara maksimal 10 tahun.
”Ada banyak hal yang lebih penting ketimbang uang. Jika motivasiku uang, aku bisa menjual dokumen-dokumen ini kepada sejumlah negara dan akhirnya menjadi kaya raya,” kata Snowden sebagaimana dikutip dari The Guardian.
Sutradara film asal AS, Oliver Stone, kemudian mengangkat drama kisah hidup Snowden ke dalam layar lebar. Film berjudul, "Snowden" itu dirilis per 21 Juli 2016.
”Saya tertarik dengan patriotismenya. Dia melakukan apa yang dia lakukan karena cinta yang tulus untuk negaranya dan prinsip-prinsip yang menjadi dasar negara. Ada dua jenis patriotisme yang berbeda. Ada jenis ketika Anda setia kepada negara, apa pun yang terjadi, dan Anda tidak mengajukan pertanyaan apa pun. Tetapi ada jenis lain yang sangat ingin saya tunjukkan dalam karakter ini. Hak istimewa dari negara bebas seperti AS adalah kami diizinkan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan meminta pertanggungjawaban pemerintah.” Kata Oliver pada peluncuran Toronto International Film Festival, September 2016.
Baca juga : Grasi, Upaya Hukum Selamatkan Keluarga dan ”Koncoisme” Trump
Sementara itu, di hari-hari terakhir pemerintahannya, Presiden AS periode 2017-2021, Donald Trump, memberikan pengampunan kepada 73 terdakwa dan meringankan hukuman atas 70 terpidana. Namun Snowden dan Assange tidak termasuk dalam daftar itu.
Menurut simpatisan Snowden dan Assange, keputusan itu menunjukkan ironi pemerintah AS. Negara mengampuni Blackwater, penyedia tentara bayaran yang terlibat pada pembunuhan warga sipil di Irak dan operasi politik senyap. Sementara negara tidak mengampuni Snowden dan Assange yang oleh banyak pihak dianggap sebagai ikon kebebasan pers dan pembela kepentingan masyarakat. (LAS)