Industri ”Esports” China Terancam gara-gara Pembatasan Gim Daring
Aturan baru pemerintah untuk mengurangi jam bermain gim daring ikut memengaruhi industri ”esports” di China. Aturan baru itu seharusnya diberlakukan bagi warga China yang non-atlet ”esports”.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
Anggota tim kompetisi video gim atau esports Rogue Warriors yang berbasis di Shanghai belum juga selesai latihan dari pukul 11.00 pagi. Padahal, hari sudah hampir menginjak tengah malam. Biasanya mereka hanya istirahat sebentar untuk makan. Latihan hingga berjam-jam ini mau tak mau harus dilakukan jika tak mau kalah dari tim-tim esports lain. Intensitas latihan mereka sudah seperti atlet cabang senam dan renang di olimpiade.
”Setiap hari saya latihan selama 15-24 jam,” kata Zhang Kaifeng (19), salah satu pemain profesional untuk gim daring pertempuran Arena of Valor dari Tencent Holdings Ltd.
Sampai sekarang China masih menjadi pasar esports terbesar di dunia dengan sekitar 5.000 tim. Industri esports di China berkembang pesat karena ada dukungan dari pemerintah dan swasta. Namun, Pemerintah China kini seakan berubah pikiran karena mengeluarkan aturan baru yang ketat untuk menangani persoalan kecanduan gim daring di kalangan anak dan remaja. Aturan ketat dari pemerintah itu akan mengancam masa depan karier para atlet esports seperti Zhang.
Aturan baru ini menuai protes dari banyak remaja China karena perusahaan gim membatasi jam main gim daring menjadi tiga jam seminggu untuk anak atau remaja di bawah usia 18 tahun. Sebelum ada aturan baru itu pun, waktu mereka sudah dibatasi maksimal 1,5 jam pada hari kerja dan 3 jam pada akhir pekan. Ini menjadi masalah bagi industri dunia esports karena banyak atletnya yang berusia remaja dan biasanya baru akan pensiun pada usia 20-an.
Salah satu atlet pemain ”League of Legends” Riot Games yang paling terkenal di dunia, Wu Hanwei, atau dikenal dengan Xiye, mulai bermain gim sejak usia 14 tahun dan mulai bergabung dengan klub esports profesional di usia 16 tahun. ”Aturan baru ini akan mematikan peluang anak-anak muda menjadi pemain esports profesional,” kata Associate Professor di Sekolah Teknik Elektronik dan Ilmu Komputer di Peking University, Chen Jiang.
Berbagai pihak, terutama perusahaan gim dan para sponsor, khawatir aturan baru ini akan merusak bisnis besar esports di China. Padahal, sering ada turnamen besar yang bernilai miliaran dollar AS dan disiarkan secara langsung.
Bahkan, Indonesia juga pernah mengadakan turnamen esports. Menurut media pemerintah People\'s Daily, penggemar esports di China diperkirakan 400 juta orang, sedangkan pasar esports domestik tahun 2020 bernilai sekitar 123 miliar dollar AS.
Rogue Warriors merupakan klub yang beranggotakan 90 atlet gim yang berlatih di dalam gedung tiga lantai. Di dalam gedung itu terdapat asrama dan kantin. Jika aturan diberlakukan, nasib semua fasilitas ini tak jelas karena perusahaan atau pihak pengelola klub akan kesulitan mencari bakat-bakat yang baru.
”Para pemain yang bagus dan terkenal sekarang biasanya sudah berbakat dan tidak selalu ia sudah lama bermain gim sebelum bergabung dengan klub. Ada juga yang bagus, tetapi harus berjuang keras dulu sebelum masuk klub,” kata salah seorang dari perusahaan yang tidak mau disebutkan namanya.
Aturan baru ini bukan undang-undang yang sifatnya menghukum individu, tetapi menempatkan tanggung jawab pada perusahaan gim yang akan dipaksa untuk meminta log in dengan nama asli dan nomor identitas nasional. Hanya saja, ketentuan ini bisa diakali jika anak atau remaja bisa log in dengan menggunakan identitas orang dewasa, termasuk orangtuanya. Apalagi, banyak atlet gim yang mendapatkan dukungan penuh dari orangtua.
Pemerintah China belum memiliki cara atau strategi dalam menangani dampak aturan-aturan baru itu bagi industri esports, tetapi Chen menyarankan pemerintah bisa memberikan kelonggaran atau pengecualian khusus bagi atlet esports. ”Negara masih bisa membuat kebijakan yang sesuai dengan tujuan mereka, yakni mencegah kecanduan akan gim daring,” ujarnya. (REUTERS)