Kisah Irak Memburu Uang Korupsi
Perekonomian Irak terpuruk setelah tumbangnya rezim Saddam Husein pada 2003. Salah satu penyebabnya adalah maraknya korupsi.
Perekonomian Irak setelah tumbangnya rezim Saddam Hussein pada 2003 bukannya semakin baik, melainkan sebaliknya, kian terpuruk. Salah satu faktor utama terpuruknya ekonomi Irak adalah merajalelanya praktik korupsi di negara itu.
Presiden Irak Barham Salih, dalam wawancara dengan stasiun televisi Aljazeera pada pertengahan September lalu, mengungkapkan, sedikitnya sekitar 150 miliar dollar AS uang negara lenyap akibat praktik korupsi dan dibawa kabur ke luar negeri sejak 2003.
Adapun komite transparansi di parlemen Irak memperkirakan uang yang dikorupsi sejak 2003 sekitar 350 miliar dollar AS atau 32 persen dari pendapatan nasional Irak selama 18 tahun terakhir.
Kementerian perencanaan Irak mengungkapkan, ada 4.000 proyek sejak 2003 yang terbengkalai karena dana pembangunan proyek tersebut dikorupsi para elite politik sehingga pembangunan proyek-proyek itu tidak berlanjut akibat ketiadaan dana.
Menurut organisasi Transparency International (TI) yang berbasis di Berlin, Jerman, Irak adalah salah satu negara paling korup di dunia. Irak menduduki urutan ke-160 dari 180 negara paling korup di dunia, menurut laporan indeks korupsi versi TI tahun 2020.
Salah satu tuntutan utama unjuk rasa rakyat Irak yang berkobar sejak Oktober 2019 adalah gerakan memberantas praktik korupsi luar biasa dan membuat ekonomi negara terpuruk yang akibatnya kini harus dipikul rakyat. Aksi itu hanya mereda setelah merebaknya Covid-19 mulai Maret 2020.
Isu korupsi yang membuat Pemerintah Irak dari masa ke masa sejak 2003 dalam posisi dilematis. Dalam upaya mengembalikan uang korupsi yang dibawa kabur ke luar negeri, Pemerintah Irak pada 15 dan 16 September lalu menggelar konferensi internasional di Baghdad untuk mencari cara mengembalikan uang hasil korupsi yang dibawa lari itu. Forum ini dihadiri Liga Arab, sejumlah menteri urusan hukum negara Arab, beberapa lembaga pemberantas korupsi dan lembaga swadaya masyarakat.
PM Irak Mustafa al-Kadhimi dalam pembukaan konferensi mengungkapkan, Irak telah membentuk komite pemberantasan korupsi dan komite itu telah berhasil membongkar misteri praktik korupsi sejak 2003 dan mengembalikan sebagian uang korupsi dari luar negeri. Menurut al-Kadhimi, korupsi dan teroris ibarat dua sisi dari satu mata uang.
Al-Kadhimi menyerukan, negara-negara sahabat bekerja sama dengan Irak untuk bisa mengembalikan uang hasil korupsi, dan hendaknya tidak ada negara yang menjadi tempat persembunyian uang hasil korupsi itu. Konferensi internasional itu mengeluarkan 18 rekomendasi untuk upaya mengembalikan uang hasil korupsi dari luar negeri.
Baca Juga: Mohammed bin Salman dan Gerakan Melawan Korupsi di Arab Saudi
Di antara rekomendasi tersebut, Pemerintah Irak akan menyewa pengacara internasional untuk mendapatkan pijakan hukum dalam upaya mengembalikan uang korupsi. Selain itu, Irak akan menandatangani perjanjian bilateral dengan banyak negara untuk kerja sama memberantas korupsi serta upaya mengembalikan uang korupsi yang kemungkinan disembunyikan di sejumlah negara tersebut.
Komite pemberantasan korupsi Irak juga telah menangkap direktur utama Bank Pertanian Irak, direktur lembaga pengelolaan dana pensiunan, dan kepala lembaga investasi Irak dengan dakwaan terlibat korupsi.
Menurut guru besar ekonomi pada Universitas Baghdad, Abdurrahman Al-Mashhadani seperti dikutip laman Aljazeera, uang negara Irak yang dikorupsi mulai 2003 hingga 2015 mencapai 350 miliar dollar AS. Belum lagi uang yang dikorupsi setelah tahun 2015.
Al-Mashhadani mengatakan, Pemerintah Irak butuh perjanjian internasional dengan banyak negara yang diduga kuat menjadi tempat persembunyian uang korupsi itu untuk bisa mengembalikannya. Ia menyerukan kementerian luar negeri Irak bekerja sama dengan Interpol dan kementerian luar negeri banyak negara, khususnya AS dan sejumlah negara Eropa, untuk memulai proses hukum dalam upaya mengembalikan uang korupsi yang dibawa kabur ke AS, sejumlah negara Eropa, dan Amerika Tengah.
Pakar hukum Universitas Baghdad, Ali Tamimi mengatakan, Irak sesungguhnya memiliki perangkat hukum untuk memulai perang melawan korupsi dan upaya mengembalikan uang hasil korupsi yang dibawa kabur ke luar negeri. Menurut dia, perlu dibentuk pengadilan khusus untuk menangani korupsi di dalam negeri sesuai dengan amanah butir nomor 89 konstitusi Irak, dan pengadilan itu harus independen dan mendapat perlindungan kuat negara.
Adapun uang korupsi yang dibawa kabur ke luar negeri, Ali Tamimi mengatakan, uang itu bisa dikembalikan melalui kesepakatan pencegahan pencucian uang dengan sejumlah negara, dan kesepakatan khusus AS-Irak sesuai dengan butir nomor 27 kesepakatan AS-Irak tahun 2008. Ali Tamimi menambahkan, Irak juga bisa memanfaatkan piagam PBB nomor 50 yang menegaskan hak negara meminta bantuan PBB dalam upaya mengembalikan uang yang didapat dari cara tidak sah dan dibawa kabur ke luar negeri.
Kepala Pusat Pemikiran Politik di Baghdad, Ikhsan al-Shamari kepada situs Aljazeera mengatakan, ada hambatan politik besar di Irak untuk perang melawan korupsi, yaitu partai-partai politik yang terus berusaha mencegah lolosnya undang-undang pemberantasan korupsi yang kuat di parlemen, karena banyak dari elite parpol yang terlibat korupsi. Menurut Al-Shamari, sistem politik di Irak saat ini menghambat gerakan perang melawan korupsi.
Harian Inggris, The Independent, pada awal September lalu mengangkat isu sistem politik di Irak yang menghambat perang melawan korupsi. The Independent menyebut, pengadilan Irak telah menjatuhkan vonis hukum 21 tahun penjara kepada mantan menteri pertahanan Irak, mantan menteri urusan energi Irak, dan mantan Menteri Perdagangan Irak dengan dakwaan terlibat korupsi miliaran dollar AS.
Namun, mereka berhasil lari dari penjara ke luar negeri, dan kemudian Pemerintah Irak berhasil mengembalikan mereka dari luar negeri dengan bantuan Interpol. Akan tetapi, pengadilan Irak tiba-tiba mengampuni mereka dan bebas dari penjara tanpa ada tuntutan mengembalikan uang hasil korupsinya karena ada kekuatan politik besar yang melindungi mereka.
Kasus serupa sering terjadi di Irak, di mana sering beredar berita mantan menteri, gubernur dan direktur ditangkap komite pemberantas korupsi dengan tuduhan terlibat korupsi. Namun, mereka kemudian dibebaskan dengan dalih tidak ada bukti yang cukup setelah ada campur tangan partai-partai politik yang melindungi mereka.
Itulah fakta di Irak yang menjadi tantangan besar pemerintah untuk pemberantasan korupsi. Irak akan menggelar pemilu parlemen dini pada 10 Oktober nanti, yang dikhawatirkan isu pemberantasan korupsi sengaja diangkat sekarang oleh para elite politik, sekadar untuk mencari simpati dan pencitraan agar terpilih dalam pemilu parlemen nanti.