Kerja Sama RI-Uni Eropa untuk Kesejahteraan Bersama
Uni Eropa ingin merangkul semua pihak di Indo-Pasifik, termasuk China yang dianggap berseberangan. Kerja sama, bukan permusuhan, yang akan membawa manfaat bagi kawasan dan mitranya.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
Seperti ASEAN, Uni Eropa berakar dari semangat mencegah konflik dan upaya bersama memanfaatkan semua potensi kawasan untuk kesejahteraan bersama. Semangat itu kembali tecermin pada Strategi Kerja Sama Uni Eropa di Indo-Pasifik yang diumumkan pada pertengahan September 2021.
”Dibandingkan pihak lain, Uni Eropa menekankan pada kerja sama, bukan kompetisi. Kami tidak mengecualikan siapa pun. Bekerja sama dengan semua negara di kawasan,” kata Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket dalam wawancara khusus dengan Kompas, Rabu (6/10/2021).
Strategi Kerja Sama Uni Eropa di Indo-Pasifik (EUSCIP) diumumkan sehari setelah Amerika Serikat-Australia-Inggris mengungkap aliansi militer AUKUS. Piket mengatakan, kebetulan AUKUS diungkap sehari sebelum EUSCIP diumumkan. EUSCIP sudah dibahas sejak April 2021 sebagai panduan langkah UE dan anggotanya di Indo-Pasifik. Sebelum EUSCIP, UE sudah merumuskan strateginya di Indo-Pasifik. Beberapa anggota UE, seperti Belanda, Jerman, dan Perancis, juga punya panduan sendiri soal Indo-Pasifik.
Karena itu, menurut Piket, EUSCIP bukan reaksi atas AUKUS. Memang, AUKUS dan EUSCIP amat berbeda. AUKUS telah memicu kemarahan dan perpecahan di antara Eropa dengan AS dan sejumlah negara di Indo-Pasifik. AUKUS menekankan pada kerja sama militer. ”Uni Eropa berbeda dengan yang lain. Kami punya persatuan dengan kekuatan militer,” kata Piket.
Brussels lebih menekankan pada kekuatan-kekuatan nonmiliter, seperti ekonomi, teknologi, dan kebudayaan. Untuk sebagian orang, kekuatan itu dianggap tidak terlalu penting. Bagi UE, justru kekuatan jenis itu yang dibutuhkan dan terbukti mangkus diterapkan.
”Kami mendorong perdamaian. DNA kami kerja sama dan menemukan kesamaan. Kami tidak meminta negara di kawasan memilih kami dan melawan yang lain. Kami tidak percaya model pendekatan seperti itu,” kata Piket.
Memang, UE terkesan bereaksi keras selepas pengungkapan AUKUS. Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen kembali mengangkat wacana otonomi strategis Eropa. ”Ini bukan berarti kami mau punya tentara sendiri atau memisahkan diri dari yang lain. Dalam soal keamanan, otonomi strategis lebih soal kerja sama dan koordinasi lebih baik,” kata Piket
Ia juga menegaskan, EUSCIP tidak mengecualikan negara mana pun. Bahkan, China yang diakui UE sebagai rival sekalipun tetap akan diajak bekerja sama dalam kerangka EUSCIP. ”Hubungan kami (UE dengan China) sangat kompleks,” katanya. Di satu sisi, China adalah mitra dagang penting bagi UE. Beijing juga mitra penting dalam pengendalian dampak perubahan iklim. Dengan ukurannya, sulit mengabaikan China dalam upaya mengendalikan dampak perubahan iklim.
Di sisi lain, Brussels berseberangan dengan Beijing pada beberapa hal, seperti soal tata kelola pemerintahan, Laut China Selatan, perlindungan HAM, hingga keamanan. Meski demikian, UE tetap yakin bahwa kerja sama dengan China tetap dapat dilakukan.
ASEAN
Piket menyebut, pengungkapan EUSCIP menunjukkan pengakuan UE atas semakin pentingnya Indo-Pasifik. Di kawasan itu, ASEAN memegang peranan vital. Sebab, ASEAN menjadi kumpulan negara yang stabil, berada di jalur perdagangan yang penting, dan kesejahteraannya terus berkembang.
Untuk semakin meningkatkan hubungan itu, UE terus mengupayakan perjanjian dagang dengan anggota-anggota ASEAN. Sejauh ini, UE sudah punya perjanjian dagang dengan Singapura dan Vietnam. Sementara dengan Indonesia dan sejumlah negara ASEAN lainnya, perundingan masih terus berlangsung.
Piket berharap perundingan dagang Indonesia-UE bisa segera dirampungkan dan disahkan. Berdasarkan rangkaian perundingan, ia tidak menampik ada beberapa perubahan perlu dilakukan Indonesia untuk bisa mengesahkan perjanjian dagang itu.
Ia meyakini, Indonesia dan UE akan diuntungkan lewat pengesahan perjanjian dagang itu. Perjanjian tersebut terutama akan membuat investor UE lebih mudah masuk ke Indonesia dan ikut dalam aktivitas perekonomian di sini. Tambahan modal bisa meningkatkan produk domestik bruto (PDB) Indonesia hingga beberapa miliar euro per tahun. Di sisi lain, produk-produk Indonesia bisa lebih berdaya saing di pasar UE. Sebab, perjanjian dagang itu antara lain menghapuskan bea masuk untuk berbagai produk.
Hubungan dagang Indonesia-UE telah menghasilkan surplus bagi Indonesia. Di sisi lain, ada persoalan dalam hubungan dagang Indonesia dengan UE atau anggota UE. Kini, Indonesia-Malaysia sedang menggugat UE di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) gara-gara minyak sawit, sementara Jerman menggugat Indonesia gara-gara pengendalian ekspor bijih nikel.
Piket mengatakan, UE tidak menarget minyak sawit Indonesia. Buktinya, Indonesia masih mendapatkan hingga 2 miliar euro dari ekspor sawit ke UE. ”Tidak ada hambatan,” katanya.
UE memang punya kebijakan mendorong produksi minyak nabati yang menerapkan prinsip keberlanjutan. Produsen minyak sawit dan pemerintah Indonesia perlu meyakinkan konsumen di UE bahwa produksi minyak sawit Indonesia telah menerapkan prinsip keberlanjutan. Indonesia antara lain telah menerapkan kebijakan bagus soal deforestasi.
Sengketa di WTO, menurut Piket, adalah hal wajar dalam hubungan dagang. ”Kita telah mencoba semua solusi dan pada akhirnya dibawa ke WTO. Tidak perlu mendramatisasi keadaan ini,” ucapnya.