Iran Ajukan Dua Proposal Kesepakatan Nuklir, Menlu AS-Iran Saling Lempar Tuduhan
Iran dan AS sama-sama pesimistis bakal tercipta kesepakatan pada perundingan untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran tahun 2015. Pesimisme itu muncul setelah Iran menyodorkan dua draf proposalnya.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
VIENNA, JUMAT — Amerika Serikat dan Iran sama-sama pesimistis bahwa upaya mereka menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran tahun 2015, atau yang dikenal dengan nama resmi Rencana Aksi Komprehensif Bersama (Joint Comprehensive Plan of Action/JCPOA, bisa berakhir dengan solusi bagi para pihak. Sikap saling menyalahkan dan tidak mau berkompromi menjadi halangan.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken di sela-sela pertemuan negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) di Stockholm, Swedia, Kamis (2/12/2021), mengakui bahwa pihaknya pesimistis dengan situasi yang dihadapi setelah tiga hari berunding.
”Saya harus memberi tahu Anda soal langkah baru, retorika baru ini, tidak memberikan kami landasan untuk bersikap optimistis,” kata Blinken. Dia menambahkan, dalam satu atau dua hari ke depan, tim perunding bisa menilai apakah Pemerintah Iran memiliki niat baik untuk berunding dan menghidupkan kembali kesepakatan nuklir yang telah berantakan atau sebaliknya.
Blinken menambahkan, belum terlambat bagi Teheran untuk memperlihatkan sikap kooperatif dan mengubah arah agar perundingan menghasilkan sesuatu yang lebih substansial serta bermakna.
Sikap yang sama juga disampaikan Menlu Iran Hossein Amirabdollahian di sela-sela pertemuan dengan Menlu Jepang Yoshimasa Hayashi. ”Kami ke Vienna dengan tekad yang serius. Tetapi, kami tidak optimistis soal keinginan dan niat AS serta tiga pihak Eropa untuk mendukung terjadinya kesepakatan,” kata Amirabdollahian.
Kedua pihak menyatakan sikap pesimistis masing-masing setelah Iran menyampaikan dua draf proposal dalam upaya menghidupkan kembali kesepakatan nuklir tahun 2015. Kesepakatan nuklir itu ditandatangani oleh Iran dan enam negara P5+1 (AS, China, Inggris, Perancis, Rusia, dan Jerman) pada 2015 untuk mengontrol pengembangan nuklir oleh Teheran. Sebagai imbalan, Iran diganjar pelepasan dari sanksi-sanksi internasional.
Namun, AS di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump secara unilateral keluar dari kesepakatan tersebut dan kembali menjatuhkan sanksi pada Iran. Sebagai respons, Iran kembali meningkatkan pengayaan uranium di situs-situs pengembangan nuklirnya dan membatasi inspeksi tim pemeriksa dari Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA). IAEA, Rabu (1/12/2021), menyebutkan bahwa Iran memulai proses pengayaan uraniumnya kembali di fasilitas nuklir mereka di Fordow, sebelah timur Kota Qom.
Perundingan untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran itu kembali bergulir dan memasuki putaran ketujuh di Vienna, Austria, awal pekan ini. Seperti putaran-putaran perundingan sebelumnya, perundingan berlangsung antara tim negosiator Iran dan lima negara tanpa AS. AS berada di hotel terdekat dari lokasi perundingan dan diberitahu jalannya negosiasi oleh lima negara itu.
Dua proposal Iran
Ketua Tim Perunding Iran Ali Bagheri Kani, Kamis (2/12/2021), mengatakan kepada televisi Pemerintah Iran bahwa Iran telah menyerahkan dua rancangan proposal dalam perundingan. Dua proposal itu diserahkan pada Rabu yang berisi dua hal utama, yakni penghapusan sanksi dan pembatasan nuklir.
Satu hal yang mendasar dalam dua rancangan kesepakatan itu adalah keinginan Iran agar seluruh sanksi terhadap mereka dicabut sekaligus. ”Kami ingin seluruh sanksi dicabut sekaligus,” kata Bagheri kepada wartawan di Vienna.
”Kini pihak lain harus memeriksa dokumen-dokumen tersebut dan mempersiapkan diri melanjutkan perundingan dengan Iran berdasarkan dokumen-dokumen ini,” kata Bagheri kepada IRIB TV.
Menyampaikan ulang pernyataan Menlu Iran Hossein Amir-Abdollahian, Bagheri menyatakan, Iran hadir ke Vienna untuk memulai perundingan lagi. Namun, kini terpulang juga pada Barat. ”Kami telah menyampaikan pada pihak lain bahwa kami berada di Vienna untuk menjalani perundingan. Jika mereka sepakat berunding, kami pun sepakat untuk berunding,” kata Bagheri kepada wartawan di Vienna.
Belum jelas apakah ungkapan pesimisme yang dilontarkan Blinken muncul setelah tim juru runding AS diberi tahu mengenai dua proposal Iran tersebut. Pada Kamis (2/12/2021), ia berbicara melalui telepon dengan Perdana Menteri Israel Naftali Bennett yang mendesak ”penghentian segera” perundingan. Blinken tidak berkomentar mengenai desakan Israel itu.
Hari terakhir pertemuan
Dalam pandangan Barat, khususnya AS, tuntutan Iran seperti tercantum dalam dua proposalnya itu tampaknya tidak mungkin diterima. Mereka menginginkan pencabutan sanksi diurutkan pada kepatuhan Iran untuk menjalankan semua ketentuan yang ada di JCPOA 2015, terutama program pengayaan uraniumnya dengan imbalan keringanan sanksi ekonomi.
Sumber yang mengetahui masalah tersebut mengatakan, Iran dan para pihak yang terlibat, yakni Inggris, Cina, Perancis, Jerman, dan Rusia, mungkin akan mengadakan pertemuan formal pada Jumat waktu setempat atau Sabtu (4/12/2021) waktu Indonesia untuk menentukan apakah perundingan bisa dilanjutkan atau kembali mandek. Pertemuan hari Jumat itu merupakan akhir perundingan putaran ketujuh.
”(Negosiator) negara-negara Eropa ingin kembali ke ibu kota masing-masing untuk berkonsultasi. Kami tetap berada di Vienna untuk siap melanjutkan perundingan,” ujar seorang pejabat Iran yang dekat dengan perundingan kepada kantor berita Reuters.
Henry Rome, analis pada lembaga konsultan politik Grup Eurasia, mengatakan, yang sedang terjadi saat ini adalah permainan saling menyalahkan (blame game). ”Di satu sisi, sebagian sangat menginginkan terjadinya kesepakatan, terutama dari negara-negara Barat,” kata Rome sambil mengatakan saling tunjuk biang keladi kesalahan akan terus berlanjut.
Rome mengatakan, saling menyalahkan dan berujung pada tertundanya kesepakatan akan dimanfaatkan Iran untuk terus mengembangkan program pengayaan nuklirnya. Hal itu dapat berdampak pada pergeseran sikap negara-negara AS dan sekutunya yang semula masih bersikap kooperatif menjadi lebih menekan atau bahkan koersif.
Pesimisme yang keluar dari kedua pemerintahan disambut Israel dengan seruan penghentian segera perundingan. Perdana Menteri Israel Naftali Bennett menuding Iran melakukan pemerasan dan mencoba mengulur waktu agar mereka bisa mempersiapkan kemampuan nuklirnya dengan lebih baik.
Bennet mendesak agar negara-negara Barat, khususnya AS, melakukan tindakan nyata terhadap Iran. (AFP/REUTERS/SAM)