Ini hari bersejarah lanjutan di Arab Saudi. Aktor-aktris Saudi serta dari negara-negara lain berjalan di karpet merah, memakai busana pesta (bukan pakaian tradisional abaya hitam untuk perempuan) di ajang festival film.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
Baru tiga tahun lalu, pemerintah kerajaan Arab Saudi mencabut larangan pada pendirian bioskop. Kini, Pemerintah Arab Saudi kembali membuat terobosan baru yang tidak diduga, yakni menyelenggarakan Festival Film Internasional Laut Merah selama 10 hari ke depan di kota Jeddah.
Pemandangan yang berbeda juga terlihat saat malam pembukaan festival film, Senin (6/12/2021). Aktor dan aktris Arab Saudi serta dari negara-negara lain berjalan di karpet merah, dengan mengenakan busana pesta, bukan pakaian abaya hitam tradisional yang masih menjadi pakaian resmi untuk perempuan Arab Saudi.
”Ini hari yang sangat bersejarah bagi kerajaan ini,” kata Direktor Festival Film, Mohammed Al Turki.
Rumah-rumah produksi terpasung selama puluhan tahun hingga akhirnya terbebas pada April 2018. Selama 10 hari ke depan, para aktor aktris dan sutradara film akan menggelar karyanya di festival film itu. Festival ini dimulai sehari setelah Jeddah menjadi tuan rumah ajang balap Grand Prix Formula Satu yang juga berusaha menggambarkan Arab Saudi dari sisi yang berbeda.
Festival film ini akan mempertontonkan 138 karya film panjang dan film pendek dari 67 negara dengan 30 bahasa. Di antara film-film itu akan ada film dari Jordania yang berjudul The Alleys dengan sutradara Bassel Ghandour. Selain itu, ada juga film-film non Arab, termasuk Cyrano karya Joe Wright serta 83, kisah kemenangan tim olahraga kriket India pada 1983.
Festival tersebut juga akan menghormati Haifaa al-Mansour, perempuan sutradara pertama Arab Saudi yang membuat film Wadjda pada 2012 dan memenangi sejumlah penghargaan internasional.
”Ini menjadi titik balik bagi perempuan Arab Saudi, tetapi jalan masih panjang karena kami punya cita-cita lebih besar,” kata aktris Arab Saudi, Elham Ali, saat berjalan di karpet merah dengan mengenakan gaun berwarna merah itu.
Kebangkitan penguasa de facto Arab Saudi, Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS), pada 2017 menunjukkan perkembangan pesat pada upaya reformasi Arab Saudi. ”Lima tahun lalu, tidak pernah terbayangkan akan bisa ada festival film di Arab Saudi,” kata kritikus seni Mesir, Mohamed Abdel Rahman.
Perubahan sosial di Arab Saudi yang lain juga termasuk mencabut larangan perempuan menyetir dan hadir menonton konser serta menghadiri ajang-ajang lain, termasuk pertandingan sepak bola di stadion. Festival tersebut juga membidik pasar yang saat ini kian berkembang untuk shooting dan menonton film di Arab Saudi.
Menurut laporan perusahaan akuntansi multinasional PwC, film box office bisa laku di Arab Saudi sampai 950 juta dollar AS pada tahun 2030. PwC memperkirakan 40 juta populasi Arab Saudi akan bisa menonton film di 2.600 layar bioskop.
”Sebelum bioskop dibuka lagi pada 2018, industri film bergerak di bawah tanah. Mereka tak mampu membuat film bahkan membiayai filmya. Semua tergantung pada upaya setiap individu,” kata Direktur Arab Saudi, Ahmed Al-Mulla, yang menjalankan Festival Film Saudi tahunan di kota Dammam sejak 2008 itu.
Namun, para pengamat industri film mengatakan, sektor film Arab Saudi sebenarnya masih belum mumpuni karena minim keahlian. Begitu pula, pendanaan juga minim. Meski demikian, banyak proyek besar yang kini menjadi kenyataan.
MBC Studios, sayap produksi perusahaan media raksasa MBC Group, kemudian beroperasi pada 2018 dengan anggaran besar. Saat ini perusahaan itu sedang memproduksi film laga "Desert Warrior" di daerah Neom.
Tetapi, kata Mulla, persoalannya bukan hanya anggaran yang besar saja. Agar bisa berkembang dengan baik, industri Arab Saudi ini membutuhkan standar tinggi pada kebebasan berekspresi, mulai dari peran perempuan sampai kebebasan bercerita tentang tema yang berbeda-beda.
"Sinema merupakan kekuatan lunak yang bisa membuka jalan bagi keberhasilan perubahan sosial dan ekonomi yang sedang terjadi saat ini di sini," ujar Mulla.
Kemajuan dan reformasi Arab Saudi ini penting karena selama puluhan tahun Arab Saudi mempraktikkan interpretasi agama Islam yang ketat. Praktik ini tetap berlaku meski ada dorongan modernisasi. ”Sinema itu bukan hanya seni semata, tetapi juga kebutuhan untuk mengubah budaya di Arab Saudi,” kata Mulla. (AFP)