WHO: Vaksin Dosis Penguat Hanya Akan Memperpanjang Pandemi
WHO memperingatkan tidak ada satu pun negara yang bisa kabur dari pandemi. Kesetaraan akses vaksin jadi kunci mengatasi pandemi, bukan program dosis penguat.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
GENEVA, KAMIS — Negara maju beramai-ramai memberikan booster atau dosis penguat untuk vaksin Covid-19. Sebaliknya, di negara-negara miskin sampai sekarang capaian vaksinasi masih sangat rendah, mayoritas di bawah 10 persen. Kemunculan galur Omicron menunjukkan bahwa mental nasionalisme dan penumpukan vaksin belum bisa hilang.
”Tidak satu pun negara di dunia ini yang bisa kabur dari pandemi. Ini masalah kita bersama sebagai masyarakat global, mari kita tangani bersama-sama juga,” kata Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Gebreyesus di Geneva, Swiss, Kamis (23/12/2021).
Negara-negara maju gencar meminta warganya melakukan suntikan dosis ketiga vaksin Covid-19 yang berfungsi sebagai penguat. Bahkan, di Israel, pemerintah mengatakan hendak memberikan dosis keempat kepada penduduk berusia di atas 60 tahun. Perdana Menteri Israel Naftali Bennett berpendapat, Israel menjadi teladan penanganan pandemi Covid-19.
Sebaliknya, WHO justru mengkritisi tindakan ini karena belum ada bukti konkret yang menunjukkan dosis penguat memang drastis mencegah infeksi Covid-19. Sejatinya, dosis vaksin yang lengkap memberikan pertahanan dan mencegah munculnya varian-varian baru. Apalagi, kemunculan galur Omicron di Afrika Selatan juga berasal dari komunitas masyarakat yang belum memperoleh vaksinasi akibat keterbatasan vaksin.
”Nasionalisme dan egoisme vaksin muncul lagi. Padahal, semua pihak tahu jalan keluar terbaik ialah pemerataan akses vaksin. Jangan mengejar booster hanya karena ingin merasa kebal dan bisa kumpul-kumpul lagi,” tutur Gebreyesus.
Menurut dia, program dosis penguat justru akan memperpanjang pandemi Covid-19 alih-alih mengakhirinya. Mengalihkan suplai vaksin ke negara dengan level vaksinasi sudah tinggi hanya akan memberi kesempatan lebih besar bagi virus untuk menyebar dan bermutasi.
Data WHO menunjukkan, dari 8 miliar dosis yang telah disuntikkan, sebanyak 60 persen ada di negara-negara maju. Vaksin untuk negara-negara miskin dikirim melalui Covax yang bernaung di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tercatat, per 17 Desember, Covax telah mendistribusikan 610 juta dosis vaksin Covid-19 ke 92 negara miskin yang mayoritas berada di Benua Afrika. Total penduduk yang ingin dirangkul oleh Covax sebanyak 1,3 miliar jiwa.
Sebagai gambaran, di negara maju, 133 orang per 100 penduduk telah menerima vaksin Covid-19 dosis lengkap. Di negara-negara miskin jumlahnya 4 orang per 100 penduduk. Bahkan, secara umum di Benua Afrika, tiga dari empat tenaga kesehatan belum divaksin.
Masalah kesetaraan akses vaksin ini tidak hanya soal rendahnya jumlah vaksin yang diterima oleh negara-negara miskin, tetapi juga soal kelengkapan alat penunjang, sistem transportasi, dan program vaksinasi nasional di setiap negara. Laporan WHO menunjukkan terjadi kekurangan alat suntik di negara-negara miskin, terutama alat suntik khusus vaksin berbasis m-RNA.
Selain itu, ada permasalahan sarana penyimpanan vaksin. Jangankan kulkas ultradingin untuk vaksin m-RNA, negara-negara miskin menyiapkan kulkas untuk vaksin Covid-19 reguler seperti AstraZeneca, Johnson and Johnson, dan Sinovac saja masih terkendala. Oleh sebab itu, WHO menghitung hingga September 2022 dibutuhkan biaya 23,4 miliar dollar Amerika Serikat untuk membangun sistem vaksinasi di negara-negara miskin.
Kedaluwarsa
Di negara-negara di Afrika, beberapa pemerintah malah menghancurkan vaksin Covid-19 sumbangan dari Eropa. Pekan ini dilakukan oleh Nigeria. Mereka melindas satu juta dosis vaksin merek AstraZeneca karena masa kedaluwarsanya kurang dari satu bulan. Dalam pernyataan resmi, Pemerintah Nigeria mengatakan tindakan itu justru adalah pertanggungjawaban dan transparansi kepada rakyat bahwa negara memastikan vaksin yang mereka terima dalam kondisi baik.
Presiden Malawi Lazarus Chakrewa mengeluhkan hal serupa. ”Kami diperlakukan seperti tempat pembuangan sampah. Negara maju menyumbangkan vaksin Covid-19 yang hampir kedaluwarsa kepada kami, sementara mereka membeli vaksin terbaru,” ujarnya kepada CNN.
Direktur Unit Biofarma Pfizer Angela Hwang dalam wawancara dengan media Business Insider mengungkapkan, mereka terus menambah produksi vaksin Covid-19. Menurut dia, vaksin seperti dari Pfizer dibeli oleh negara-negara miskin.
Lembaga hak asasi manusia Human Rights Watch mengeluarkan hasil kajian yang menekankan pentingnya penghapusan atau setidaknya penangguhan paten vaksin Covid-19. Berdasarkan analisis yang mereka lakukan dengan sejumlah pakar kesehatan, di Asia, Afrika, dan Amerika Latin ada 100 perusahaan farmasi yang memiliki teknologi untuk memproduksi vaksin. Apabila merek-merek vaksin yang ada sekarang mau berbagi ilmu, produksi vaksin global bisa bertambah drastis dan negara-negara miskin tidak perlu menunggu. (AFP)