Praktik Demokrasi India Dinilai Merosot, Persekusi terhadap Minoritas Berulang
Sejak 2015 hingga saat ini India menjadi negara paling subur bagi berkembangnya intoleransi massal terhadap kaum minoritas agama.
India, salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, mulai bertumbuh berkebalikan. Salah satu ciri negara demokratis adalah menjamin kebebasan beragama. Namun, India sejak 2015 hingga kini telah menjadi negara yang paling subur bagi berkembangnya intoleransi terhadap kaum minoritas agama.
Orang India mengatakan, penting menghormati semua agama, tetapi kelompok mayoritas agama di negara itu justru sering melakukan persekusi secara masif terhadap kaum minoritas agama. Kasus terbanyak menimpa minoritas Islam, Sikh, Kristen, dan lainnya dengan insiden terbaru terjadi pada hari Natal 2021.
Kelompok garis keras yang suka main hakim sendiri membubarkan misa Natal di beberapa negara bagian India, Sabtu (25/12/2021). Salah satunya terjadi di Negara Bagian Uttar Pradesh, daerah basis massa pemilu terbesar Perdana Menteri Narendra Modi.
Gangguan lain, selain pembubaran misa Natal, ialah perusakan patung Yesus di Ambala, Negara Bagian Haryana, seperti dilaporkan situs surat kabar The Hindu. Negara bagian di India utara ini merupakan basis utama partai nasionalis, Partai Bharatiya Janata (BJP), yang dipimpin Modi.
BJP digambarkan gencar mempromosikan ideologi nasionalis Hindu dan itu berhasil dilakukan. Dari sebuah survei yang dilakukan Pew Research Center (PRC) diketahui, 64 persen umat Hindu cenderung melihat identitas agama mereka dan identitas nasional India sebagai satu kesatuan yang erat.
Baca juga : Hak Ibadah Muslim Uighur di India Dibatasi
Massa garis keras dari barisan nasionalis juga membakar model Sinterklas dan meneriakkan slogan-slogan menentang perayaan Natal di sebuah gereja di Varanasi, Uttar Pradesh, daerah pemilihan BJP. Varanasi atau Benaresh, yang terletak di tepi Sungai Gangga, merupakan kota paling suci bagi umat Hindu.
Akhir pekan lalu, perayaan Natal juga terganggu di Silchar, Assam timur. Massa pria, yang mengaku sebagai anggota Bajrang Dal—kelompok sayap kanan atau garis keras yang memiliki hubungan dekat dengan BJP—memaksa masuk ke sebuah gereja, seperti dilaporkan situs NDTV.
Pada Rabu (21/12/2021), empat hari sebelum hari Natal, kelompok minoritas Kristen, Muslim, dan kelompok minoritas lain menggelar aksi protes di Bangalore, India. Mereka menentang rancangan undang-undang antikonversi agama di Negara Bagian Karnataka, yang dinilai menyusahkan mereka.
Buntut dari sejumlah kekerasan itu, India membekukan rekening Missionaries of Charity (MoC), badan amal yang didirikan Bunda Teresa, karena tidak sesuai undang-undang negara. Kelompok garis keras yang berafiliasi dengan BJP berulang kali menuduh MoC telah membaptis umat Hindu lewat kedok amal.
Menteri Besar Negara Bagian Benggala Barat Mamata Banerjee mencuit di Twitter bahwa New Delhi telah membekukan rekening bank MoC di Kalkutta. Banerjee, pemimpin oposisi dan kritikus vokal Modi, mengatakan, ”Sebanyak 22.000 pasien dan karyawan mereka (MoC) tanpa makanan dan obat-obatan. Walau hukum adalah panglima, upaya kemanusiaan tidak boleh dikompromikan.”
Baca juga : Modi Tenangkan Umat Muslim India
Peraih Nobel Perdamaian, Ibu Teresa, seorang biarawati Katolik Roma yang meninggal pada tahun 1997, mendirikan Misionaris Cinta Kasih di Kalkutta, ibu kota Benggala Barat, pada tahun 1950. Badan amal ini memiliki lebih dari 3.000 biarawati di seluruh dunia yang mengelola rumah perawatan, dapur umum, sekolah, koloni penderita kusta, dan panti asuhan untuk anak-anak telantar.
Tindakan New Delhi membekukan rekening MoC yang berkantor pusat di Kalkutta memukul kelompok amal paling terkemuka yang menampung fakir miskin India itu. Vikaris Jenderal Dominic Gomes dari Keuskupan Agung Calcutta mengatakan, pembekuan rekening bank MoC di Kalkutta itu adalah ”hadiah Natal yang kejam bagi yang termiskin dari yang miskin”.
Elias Vaz, Wakil Ketua Pusat Persatuan Katolik Seluruh India, mengecam insiden terbaru di India itu. Amnesty International menyebutkan, sentimen keagamaan yang berdampak pada misi kemanusiaan telah menjadi isu yang sering dimainkan di India sejak 2015, setahun setelah Modi berkuasa, seperti dilaporkan situs berita India Times.
Sejak Modi berkuasa pada tahun 2014, kelompok-kelompok Hindu sayap kanan mengonsolidasikan posisi mereka di seluruh negara bagian dan mengampanyekan kebencian terhadap minoritas agama. Mereka membela tindakannya dengan mengatakan ”untuk mencegah terjadinya pindah agama”.
Intoleransi berkembang sejak itu. Pada 2019, sebuah situs daring yang didedikasikan khusus untuk menghitung ”kejahatan kebencian” di India melaporkan bahwa lebih dari 90 korban dalam 10 tahun terakhir adalah minoritas Muslim. Kasus ini masih sering terjadi dalam tahun-tahun terakhir.
Sejak tahun 2019, pemerintahan Modi dinilai semakin tidak melindungi pemeluk agama minoritas yang sering mengalami kekerasan oleh mayoritas. Saat itu, Komite Kebebasan Beragama Internasional Amerika Serikat (USCIRF) mendesak Kementerian Luar Negeri AS memasukkan India ke dalam ”daftar hitam” negara yang tidak toleran. India dinilai tidak melindungi kebebasan beragama dan beribadah bagi pengikut agama minoritas.
Baca juga : India Diusulkan Masuk ”Daftar Hitam” Negara Tidak Toleran
Intoleransi adalah pendekatan atau tindakan negatif di mana satu orang atau kelompok tidak menerima sudut pandang atau keyakinan orang lain, memersekusinya karena berbeda. Konsekuensinya dapat menimbulkan efek berbahaya pada negara dan masyarakat.
Serangan tak beralasan terhadap minoritas Muslim oleh gerombolan garis keras juga telah menjadi kekerasan rutinitas di India. Kelompok pelaku hanya mendapat sedikit kecaman dari pemerintahan Modi.
Pada Agustus 2021, video yang viral di media sosial menunjukkan seorang gadis kecil yang ketakutan memegang ayahnya yang Muslim ketika gerombolan garis keras menyerang ayahnya. Pria pengemudi becak berusia 45 tahun diarak di jalan-jalan Kanpur, kota Uttar Pradesh, sementara putrinya yang menangis memohon massa untuk berhenti memukul ayahnya karena beda keyakinan.
Polisi akhirnya menangkap para pelaku penyerangan dan menyelamatkan gadis kecil tersebut. Beberapa hari kemudian peristiwa serupa berulang,
Muncul sebuah video viral lain yang menunjukkan seorang penjual gelang Muslim, Tasleem Ali, ditampar, ditendang, dan dipukul oleh massa garis keras di Indore, kota di Negara Bagian Madhya Pradesh. Mereka melecehkan Ali dan menyuruhnya keluar dari daerah itu karena dia berbeda dari mereka. Para aksi mata menyebutkan Ali diserang karena identitas agamanya.
Dua serangan itu termasuk di antara beberapa contoh kekerasan anti-Muslim pada Agustus. Namun, bulan lalu bukanlah yang paling kejam bagi kelompok minoritas agama terbesar di India dengan populasi lebih dari 200 juta orang itu. Kekerasan juga terjadi pada bulan-bulan sebelumnya dan bahkan tahun-tahun sebelum 2021.
Ketegangan terjadi di Negara Bagian Tripura di timur laut India menyusul serangkaian serangan terhadap sejumlah masjid dan bangunan milik warga Muslim, akhir Oktober 2021. Aparat memperketat keamanan dan melarang massa berkumpul di beberapa wilayah terdampak. Aksi kekerasan ini terjadi setelah bentrokan antara kelompok garis keras Hindu dan aparat kepolisian.
Baca juga : Kabar dari India
Konflik karena perbedaan agama terjadi di India sejak lama. Para kritikus mengatakan, kekerasan antiminoritas agama meningkat sejak 2014 di bawah Modi. ”Kekerasan komunal bukanlah fenomena baru-baru ini, tetapi sudah tumbuh selaras dengan strategi mereka yang berkuasa dan mobilisasi politik,” kata Prof Tanvir Aeijaz, pengajar ilmu politik di Universitas Delhi, kepada BBC.
Sesuai laporan situs PRC, India menempati peringkat sebagai negara terburuk dalam hal kebebasan beragama. Laporan ini didasarkan pada dua indeks. Pertama, Indeks Pembatasan Pemerintah (GRI), yang mengukur pembatasan pemerintah terhadap praktik bebas beragama.
Kedua, Indeks Permusuhan Sosial (SHI) yang melihat permusuhan seputar masalah agama. Sayangnya, India terburuk dalam kedua indeks tersebut. Namun, skor sangat buruk justru terkait dengan indeks SHI, yang kemudian merambat pada sentiman minoritas agama.
Tren lain adalah meningkatnya kekerasan terhadap orang India yang mengonsumsi daging sapi. Pada September 2016, seorang pria dari agama minoritas tertentu dipukuli sampai mati oleh tetangganya dari agama mayoritas. Alasannya karena bangkai sapi terlihat di dekat korban.
Seorang mantan Menteri Komunikasi dan Teknologi Informasi India, Arun Shourie, menuduh Modi dan Ketua BJP Amit Shah menciptakan situasi ”intoleransi” di negara itu. USCIRF menyebutkan, kebebasan beragama di India berada di ”jalur negatif” sejak 2015 karena toleransi beragama ”memburuk”.
”Sejak 2015, toleransi beragama memburuk dan pelanggaran kebebasan beragama meningkat di India,” kata laporan itu. ”Komunitas minoritas, terutama Kristen, Muslim, dan Sikh, mengalami banyak insiden intimidasi, pelecehan, dan kekerasan, sebagian besar dilakukan oleh kelompok nasionalis,” kata laporan USCIRF pada 2016.
USCIRF meminta Pemerintah India terbuka menegur pejabat dan pemimpin agama yang membuat pernyataan menghina komunitas agama lain. Komisi AS juga menyerukan India untuk memperkuat hubungan antaragama dan mengedukasi kaum garis keras tentang kebebasan beragama.
Laporan PRC, ”Agama di India: Toleransi dan Segregasi” (Juni 2021), menyajikan data komparatif yang berkaitan dengan beberapa agama besar lainnya di India: Kristen, Sikhisme, Jainisme, dan Buddha. Disebutkan, konsep toleransi beragama di India tidak untuk lintas agama karena dipengaruhi oleh politik atau ideologi Hindutva pada tatanan sosial India.
Menurut laporan itu, konsep toleransi beragama di India tidak selalu melibatkan hubungan lintas komunitas agama. ”Banyak orang India tampaknya lebih memilih negara seperti kain perca dengan garis yang jelas antarkelompok,” kata laporan itu. Pandangan yang tentu saja membuat sebuah negara syarat konflik. (AFP/REUTERS/AP)