Kerinduan di Sepanjang Garis Demarkasi Militer Korea
Dalam bahasa politik-keamanan, Korea Utara dan Korea Selatan adalah rival. Namun dalam bahasa masyarakat, keduanya adalah saudara. Maka di tengah krisis tiada henti, kerinduan bersatu tak pernah mati.
Korea Utara menguji rudal hipersonik untuk kedua kalinya, Rabu (5/1/2021). Rudal yang mampu melesat lebih cepat dan lebih jauh itu diklaim berhasil mencapai target sejauh 700 kilometer.
Kegiatan ini lagi-lagi membuat situasi tegang di antara kedua negara. Bagi warga Korea Utara (Korut) dan Korea Selatan (Korsel), kegiatan itu mau tak mau mengusik ketenangan hidup mereka. Ini terutama dirasakan masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan kedua negara seperti di Zona Demiliterisasi atau Demilitarized Zone (DMZ) atau Area Keamanan Bersama atau Joint Security Area (JSA).
Baca juga: Korsel Buka Dialog, Korut Uji Rudal Hipersonik Lagi
Pemimpin Korut, Kim Jong Un, menyatakan, program pengembangan rudal dan nuklir Korut ditujukan untuk melindungi negerinya dari ancaman Amerika Serikat (AS). Apalagi AS terus menggelar latihan militer bersama dengan Korsel dan Jepang. Korut pun semakin lengket dengan China dan berharap mendapat bantuan jika suatu saat AS betul-betul melancarkan perang.
Korsel dan Korut sebenarnya secara teknis masih berstatus perang pasca Perang Korea 1950-1953. Sebab, perang saat itu terhenti karena kesepakatan gencatan senjata. Kedua negara terpisahkan oleh kawasan DMZ yang lebarnya empat kilometer (km) dan membentang di Semenanjung Korea sejauh 250 km, sekitar 50 km utara Seoul dan 200 km selatan Pyongyang.
Di tengah-tengah DMZ ada Garis Demarkasi Militer atau Military Demarcation Line (MDL) yang disepekati pada 1953. Sesuai kesepakatan, kedua pihak menarik mundur pasukan masing-masing sejauh 20 km dari garis itu.
Di dalam wilayah DMZ, tidak boleh ada persenjataan berat. Tentara boleh patroli tetapi tidak boleh melewati MDL dan tidak boleh ada lebih dari 1.000 orang di setiap sisi dalam waktu bersamaan. Masing-masing tentara penjaga pun maksimal hanya boleh 35 orang. DMZ juga dipenuhi ranjau. Pengamanan di sekitar DMZ pun ketat karena penuh dengan artileri dan kamp militer.
"Tanah tak bertuan" itu hampir tak terjamah manusia selama setengah abad sehingga mayoritas berupa hutan rimbun. Di sepanjang batas DMZ terlihat menara pengawas dan pagar kawat berlistrik. Hanya di DMZ inilah, tentara Korsel dan Korut bisa berhadapan secara langsung saling menatap sepanjang hari.
Baca juga: Kim Jong Un Janjikan Pemulihan Ekonomi dan Pendidikan
Di DMZ ini pula apa saja sensitif dan bisa memancing keributan. Dulu pernah ada tentara AS yang berada di sisi perbatasan Korsel, Desa Panmunjom, yang memprovokasi tentara Korut dengan menunjukkan jari tengah sambil mengeluarkan suara aneh dan berekspresi menyebalkan.
Sementara tentara AS menuding tentara Korut meludahi MDL, membuat gerakan tangan menebas leher, dan menunjukkan jari tengah. Sekitar 28.000 tentara AS ditugaskan di Korsel untuk mengantisipasi potensi agresi Korut.
Mengingat tingginya sensitivitas itu, pengunjung atau wisatawan yang datang ke DMZ, terutama dari sisi Korsel, diwanti-wanti untuk tidak membuat gerakan atau ekspresi yang provokatif ke arah Korut.
Meski perbatasan sudah dijaga ketat, tetap ada saja yang warga dan tentara Korut yang berhasil lolos keluar dan sampai di Korsel lewat rute China dan Thailand. Rute itu berisiko karena medan yang sulit tetapi bebas dari ancaman senjata tentara di DMZ. Menurut data Kementerian Unifikasi Korsel per 2019, 3.682 warga Korut lari ke Korsel dalam tiga tahun.
Militer Korut menyadari risiko tentara Korut tergiur untuk pindah dan hidup sejahtera di Korsel. Itulah kenapa tentara yang ditugaskan di DMZ rata-rata datang dari keluarga kaya atau terpandang. Asumsinya, kalau sudah bisa hidup enak di Korut, mereka tidak akan mudah tergiur untuk pindah ke Korsel.
Tetapi banyak juga warga sipil dan tentara yang gagal dalam usahanya lari ke Korsel. Ada yang berakhir dipenjara jika tidak keburu tewas tersengat kawat listrik berduri atau ditembak tentara Korut. Insiden penembakan tentara Korut di DMZ kemudian menginspirasi film Korsel berjudul "JSA" pada 2000 yang didasarkan pada film "DMZ" karya Park Sang-yeon pada 1965.
Baca juga: Lintas Perbatasan, Seorang Pria Korea Utara Membelot ke Korea Selatan
Film yang berkisah mengenai proses penyelidikan penembakan di dalam DMZ itu merupakan film terlaris sepanjang sejarah film Korsel. Film itu juga menyabet Film Terbaik pada Penghargaan Film Blue Dragon pada 2000 dan Penghargaan Grand Bell pada 2001.
Kisahnya berawal dari dua tentara Korut yang tewas terbunuh di DMZ di JSA dalam wilayah Korut. Plot berlanjut pada cerita persahabatan antara empat tentara Korsel dan Korut yang saling berkirim kabar dengan surat yang dilemparkan ke Bridge of No Return dan saling mengunjungi pos penjagaan tanpa ketahuan atasan atau tentara lain.
Namun akhirnya, hubungan persahabatan mereka ketahuan juga dan semua berakhir. Film ini setidaknya mencoba menggambarkan bahwa di tengah keruwetan dan situasi serba tegang di Semenanjung Korea, hubungan antarmanusia di lapangan tetap hangat karena toh Korsel-Korut masih terikat darah.
Jauh sebelum film JSA, ada film fiksi bertema serupa "DMZ" (1965) yang berkisah tentang dua anak yang terjebak di wilayah DMZ paska Perang Korea. Selain kedua film fiksi itu, banyak beredar buku dan film bertema DMZ, terutama buku non-fiksi dan film dokumenter.
Berbagai buku dan film itu menonjolkan sisi kemanusiaan di tengah keributan yang tak jelas antara siapa dan siapa. Bisa jadi keributan itu terjadi antara Korut dengan AS saja. Sebab, antara Korsel dan Korut sebenarnya ada kerinduan mendalam untuk kembali bersatu.
Baca juga : Perlombaan Senjata di Korea
Korsel dan Korut pernah bertemu untuk membicarakan cara mengurangi ketegangan militer di wilayah mereka. Namun sampai sekarang belum ada solusi konkret.
Hubungan politik Korsel-Korut dinamis dan mudah sekali naik-turun, panas- dingin. Semacam benci tapi rindu. Ketika hubungan sedang tak baik, Korut pernah sampai tak mau lagi bicara dengan Korsel melalui jalur komunikasi telepon langsung.
Sebuah wilayah pedesaan Korea Utara dengan hamparan lahan pertanian yang tampak dari area penjagaan perbatasan Korea utara di Paju, Korea Selatan, Jumat (3/9/2021).Berita yang lebih banyak muncul di media massa soal Korut selalu terkait dengan uji coba rudal, perang mulut dengan AS dan Korsel, serta pengembangan persenjataan nuklinya. Jarang muncul berita tentang kehidupan masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan.
Seperti kehidupan petani, Choi Ki-joong (75), di Desa Samgotro, Yeoncheon, yang harus melewati pos-pos militer sebelum sampai di sawahnya. Choi hanya boleh menggarap sawahnya pagi hingga siang hari. Jika situasi sedang tegang, ia sama sekali tak boleh ke sawah.
Lihat juga : Semenanjung Korea Kembali Memanas
"Apa boleh buat, begini kondisinya dan kita harus bisa hidup begini. Kita bisa hidup damai begini tanpa perang. Kalau mau, Korsel dan Korut bisa hidup bersama lagi sebagai orang Korea dan bisa sama-sama menyeberang tanpa masalah," kata Choi.
Pada 2014, rakyat Yeoncheon pernah disuruh mengungsi dua kali ketika Korut menembak dengan artileri ke arah Korsel karena kesal dengan aktivitas propaganda Korsel di sepanjang perbatasan. Dulu mereka takut tetapi lama-lama sudah terbiasa karena hampir terjadi setiap hari.
Selain desa Choi, ada juga desa Taesung atau Desa Kebebasan yang berpenduduk 207 jiwa. Warga desa Taesung sampai harus dikawal tentara setiap hari kalau mau ke sawah. Tentara yang ikut itu juga akan memeriksa sawah garapan warga untuk mengantisipasi ranjau. Akibat lokasi yang sangat dekat dengan Korut, banyak warga resah setiap kali situasi Korut-Korsel tegang.
Hidup warga di perbatasan tampak menderita. Tetapi ada sisi lain yang menarik, setidaknya dari sisi Korsel. Para petani Korsel mendapatkan hak atas tanah 7 hektar dan bisa mendapat penghasilan 80.000-100.000 dollar AS per tahun. Mereka juga tak perlu membayar pajak. Warga pria tak perlu ikut wajib militer.
Baca juga: Mewujudkan Perdamaian Korea Tak Harus Berarti Penyatuan Utara-Selatan
Warga Taesung bisa menonton film di bioskop di pusat kota. Ini menjadi hiburan tersendiri ketika tidak ada pertokoan di wilayah itu. Mereka juga bisa bebas keluar masuk ke Korsel melewati pos pemeriksaan DMZ. Namun jam malam tetap berlaku. "Meski begitu, secara umum suasananya tetap kondusif dan orang masih bisa bergerak bebas. Padahal di luar sana Korut sedang ribut dengan AS," kata Kepala Desa Taesung, Kim Dong-ku.
Bagi Jo Jun-young (12), siswa di Sekolah Dasar Daesungdong, setelah belajar di sekolah, ia tidak merasa takut dengan Korut tetapi malah menginginkan agar Korsel dan Korut bersatu kembali. "Dulu saya kira Korut itu tempat yang mengerikan karena banyak orang melarikan diri ke Korsel. Tetapi sekarang tidak lagi. Semoga kita segera bersatu lagi karena saya ingin ke Korut dan berteman dengan siapa saja di sana," ujarnya. (REUTERS/AFP/AP)