Bagi warga Muslim di Afrika dan Timur Tengah, bulan Ramadhan tahun ini akan terasa lebih berat. Tidak saja karena masih kondisi pandemi Covid-19, tetapi juga karena kurangnya pasokan pangan sebagai dampak krisis Ukraina.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
Ramadhan tahun ini, seperti dua tahun sebelumnya, masih akan berlangsung di tengah kondisi pandemi Covid-19. Ada variabel invasi Rusia ke Ukraina yang dampaknya akan mewarnai. Ini terutama dialami sebagian wilayah Afrika dan Timur Tengah.
Di kedua wilayah itu, krisis Ukraina menyebabkan berkurangnya pasokan bahan pangan. Akibatnya, harga bahan pangan melonjak. Situasi ini membuat umat Islam di sana harus menyesuaikan diri. Dalam bulan puasa nanti, misalnya, mereka harus menyiapkan makanan yang lebih sederhana untuk sahur dan berbuka.
Bagi warga Muslim di Lebanon, Tunisia, Somalia, atau kawasan lainnya di Afrika dan Timur Tengah, menu sahur dan buka biasanya tersedia. Di beberapa wilayah, bahkan persediaannya mewah berlimpah. Namun, tahun ini, situasinya berbeda. Hanya untuk mendapatkan kebutuhan pokok saja mereka harus berjuang keras.
”Tingginya harga pangan memengaruhi dan merusak semangat Ramadhan. Semua harga naik dan ini menyusahkan,” kata Sabah Fatoum (45), warga di wilayah Jalur Gaza. Menurut otoritas Palestina, harga bahan pangan di Palestina naik sampai 11 persen.
Hampir semua negara sebenarnya terdampak dengan adanya perang Rusia-Ukraina. Sebab, kedua negara sama-sama penghasil biji-bijian dan salah satu lumbung pangan utama dunia. Keduanya menyumbang sebagian besar ekspor dunia untuk beberapa komoditas utama, seperti gandum, minyak sayur, dan jagung.
Gangguan aliran ekspor akibat invasi Rusia dan sanksi yang digelontorkan Amerika Serikat bersama sekutunya untuk Rusia dikhawatirkan akan menyebabkan krisis kelaparan di Timur Tengah dan Afrika. Dan yang akan paling merasakan dampaknya itu Yaman, negara Arab paling miskin di dunia. Yaman sudah mengalami krisis kemanusiaan terparah di dunia sejak perang saudara 2014.
Harga pangan di Yaman sudah naik dua kali lipat sejak tahun lalu. Harga dikhawatirkan akan semakin meroket mengingat Ukraina menyuplai hampir sepertiga dari impor gandum Yaman. Mohsen Saleh (45), warga Sana’a, mengatakan, sebenarnya harga pangan selalu naik setiap tahun menjelang Ramadhan.
”Tetapi tahun ini kenaikannya gila. Kami sudah tidak sanggup karena situasi ekonomi juga sedang sulit. Banyak warga Yaman yang miskin dan lelah,” ujar Saleh.
Di Suriah, negara yang didera konflik sejak 2011, kondisinya sama. Sekitar 60 persen penduduknya kini menghadapi rawan pangan. Harga minyak goreng naik dua kali lipat sejak perang Rusia-Ukraina dan pasokannya semakin terbatas. Pemerintah Suriah kini menjatah jumlah gandum, gula, dan beras.
"Saya kira Ramadhan tahun lalu itu sudah yang paling hemat. Ternyata tahun ini masih harus lebih hemat lagi. Kami sudah tidak sanggup lagi beli atau memasak lebih dari satu jenis masakan,” kata Basma Shabani (62), warga Damaskus.
Di Tunisia, tradisi Ramadhan untuk menyumbang makanan atau bahan makanan juga diuji. Tradisi menyumbang makanan ini juga berkurang karena para penderma yang dulu sering memberikan sumbangan kini harus berjuang mendapatkan bahan makanan untuk diri mereka sendiri. Mohamed Malek (20), pelajar yang menjadi sukarelawan Ramadhan selama bertahun-tahun, mengaku tahun ini tidak banyak yang orang menyumbang karena semua orang sedang susah.
Hal yang sama juga terjadi di Lebanon. Badan-badan amal setempat juga kesulitan akibat dampak krisis Ukraina. Padahal, mereka masih harus membantu rakyat Lebanon yang mengalami krisis ekonomi sejak 2019.
”Solidaritas tinggi yang biasanya sangat terasa di bulan Ramadhan akan teruji tahun ini. Hiperinflasi dan melonjaknya harga pangan di pasar lokal membuat Ramadhan yang lama dinanti rakyat Lebanon menjadi tantangan. Banyak yang mungkin akan susah makan,” kata Direktur Care International di Lebanon, Bujar Hoxha.
Di Mesir, negara pengimpor gandum dari negara-negara bekas Uni Soviet, warga Muslim mengencangkan ikat pinggang dan dompet menjelang Ramadhan. Padahal, biasanya pengeluaran terbesar justru di bulan ini. Presiden Mesir Abdel Fatah el-Sisi menetapkan batas harga untuk roti yang tidak disubsidi setelah invasi Rusia memicu kenaikan hingga 50 persen. Nilai tukar mata uang lokal juga anjlok hingga 17 persen.
”Jika biasanya orang membeli sayuran sampai 3 kilogram, misalnya, sekarang hanya mampu beli 1 kilogram,” kata Om Badreya, penjual sayur di Kairo.
Somalia yang didera kelompok perlawanan Islam dan kekeringan terparah dalam 40 tahun terakhir juga menghadapi kekhawatiran yang sama karena harga bahan pangan dan bahan bakar melonjak. Bahkan, Arab Saudi, negara yang kaya minyak, pun merasakan kesulitan yang sama. ”Semua jadi lebih mahal. Produk yang sudah biasa saya beli, harganya jadi naik 5-8 dollar AS,” kata karyawan swasta, Ahmad al-Assad (38).
Namun, kondisi berbeda terjadi di Qatar. Pemerintah setempat justru menurunkan harga pangan menjelang Ramadhan. Kementerian Perdagangan dan Industri Qatar mengumumkan penurunan harga untuk lebih dari 800 komoditas mulai 23 Maret hingga bulan Ramadhan. (AFP)