Nasib masa depan negeri sendiri tak jelas, banyak orang kaya Lebanon membeli kewarganegaraan dari negara-negara di Karibia demi membuka pintu lebih luas ke Eropa. Meski biayanya mahal, bisnis ini kian meluas.
Oleh
LUKI AULIA
·5 menit baca
Jad, bukan nama sebenarnya, sudah pusing tinggal di negaranya, Lebanon. Ia menganggap, masa depan negaranya semakin tak jelas dengan perekonomian yang morat-marit. Ia lantas bertekad menyiapkan ”parasut jangka panjang” demi masa depannya sendiri di Dubai, Uni Emirat Arab.
Khawatir repot pengurusan visa bisa membuatnya kehilangan pekerjaannya di Dubai, Jad akhirnya membeli kewarganegaraan untuk dirinya dan istrinya dari Saint Kitts dan Nevis, salah satu negara di kawasan Karibia. Harga untuk kewarganegaraan baru itu tidak tanggung-tanggung, 135.000 dollar Amerika Serikat atau hampir Rp 2 miliar per paspor.
Satu bulan setelah membayar kewarganegaraan baru itu, pengusaha berusia 43 tahun itu menerima kiriman paket kecil berisi dua paspor berwarna biru laut dari Saint Kitts dan Nevis. Paspor baru ini menjadi semacam tiket bagi Jad untuk bebas mengakses visa ke lebih dari 150 negara, termasuk negara-negara di Eropa.
Jad tidak sendiri. Banyak orang Lebanon yang melakukan hal serupa. Apalagi karena pengurusan paspor Lebabon termasuk di antara yang terburuk di dunia. Dan persoalannya, hampir tidak mungkin memperbarui paspor Lebanon di saat-saat ini. Sebab, negara itu kehabisan stok paspor dan tak mempunyai anggaran untuk urusan paspor.
”Tiga tahun lalu, saya tidak pernah membayangkan akan bisa membeli paspor. Situasi di Lebanon semakin pelik. Karena mampu membeli paspor negara lain, kami pun akhirnya beli,” kata Jad, yang sebelumnya selalu kerepotan dengan prosedur visa yang panjang di Lebanon untuk perjalanan bisnis.
Paspor Saint Kitts dan Nevis menempati peringkat ke-25 di dunia sementara Lebanon berada di peringkat ke-103 dalam indeks paspor Henley untuk kebebasan bepergian. Dengan populasi hanya 55.000 jiwa, Saint Kitts dan Nevis mulai menjual kewarganegaraannya setahun setelah merdeka pada 1983. Kewarganegaraan melalui skema investasi seperti ini menjadi bisnis yang berkembang pesat secara internasional. Tawaran ini menarik minat orang-orang kaya dari negara-negara yang pernah atau tengah bergejolak seperti Irak, Yaman, dan Suriah.
Beberapa negara anggota Uni Eropa, termasuk Bulgaria, Siprus, dan Malta, juga telah mengoperasikan skema ”paspor emas”. Namun, mereka mendapat tentangan kuat dari Komisi Eropa terkait "pintu belakang" yang mereka tawarkan untuk mendapatkan kewarganegaraan Uni Eropa (UE). Kelompok orang kaya dari Lebanon yang sebagian besar tinggal di negara-negara Teluk atau Afrika, kini termasuk warga pemburu paspor yang menawarkan perjalanan yang lebih mudah dan jaring pengaman dari krisis ekonomi di dalam negeri.
Saint Kitts dan Nevis mulai menjual kewarganegaraannya setahun setelah merdeka pada 1983. Kewarganegaraan melalui skema investasi seperti ini menjadi bisnis yang berkembang pesat secara internasional.
Negara-negara Karibia Persemakmuran menjadi sangat menarik karena skema lama mereka yang menawarkan pengurusan kewarganegaraan hanya dalam beberapa bulan dengan imbalan lumsum. Pelamar kewarganegaraan bahkan tidak diharuskan untuk datang berkunjung. Ketika Jad pertama kali pergi ke Paris di Perancis sebagai seorang warga Saint Kitts, petugas pemeriksa paspor berkomentar, ”Anda datang dari negara yang baik.” Padahal, Jad sama sekali belum pernah ke Saint Kitts.
Teman-teman Jad dari Lebanon yang juga tinggal di wilayah Teluk juga beramai-ramai membeli ”paspor pulau” atau berinvestasi di permukiman elite di Yunani dan Portugal hanya agar bisa mendapatkan tempat untuk tinggal. Ini merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai skema ”visa emas”. ”Ini bukan hanya tren, tetapi bentuk solusi nyata,” kata Jad.
Kalangan ekspatriat Lebanon di negara-negara Teluk Arab telah lama menanggung beban pertarungan politik dan keretakan negeri. Tahun lalu, beberapa negara Teluk memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Lebanon selama berbulan-bulan setelah seorang menteri Lebanon mengkritik intervensi militer pimpinan Arab Saudi di Yaman. Kuwait juga membatasi jumlah visa yang diberikan kepada warga Lebanon. Banyak warga Lebanon diaspora yang khawatir negara-negara Teluk lainnya juga akan melakukan hal yang sama.
”Itu yang akhirnya membuat saya berpikir: saya punya masalah di sini dan saya tidak mau membahayakan pekerjaan saya di Teluk,” kata pengusaha yang berbasis di Dubai, Marielli Bou Harb (35).
Tahun lalu, Harb membeli paspor Saint Kitts untuk keluarganya yang terdiri dari empat orang. Pada waktu itu ada diskon besar-besaran karena pandemi Covid-19 menggoyang perekonomian Saint Kitts yang sangat bergantung pada sektor pariwisata. Harga satu paspor biasanya sekitar 150.000 dollar AS.
Uang biaya pengurusan paspor itu langsung disalurkan ke dana pembangunan berkelanjutan di Saint Kitts. Dana hasil pengurusan paspor itu kemudian digunakan, misalnya untuk memasang lampu lalu lintas di ibukota Basseterre pada 2018. Negara-negara di kawasan Karibia lainnya termasuk Antigua dan Barbuda, Dominika, Grenada, dan Saint Lucia juga menjual paspornya.
Masalahnya, hanya mereka yang berkantong tebal yang bisa membeli paspor seperti itu. Hanya sedikit orang yang mampu membeli paspor seperti itu di Lebanon, negeri yang tengah terpuruk krisis ekonomi dengan nilai tukar mata uang domestik yang terus anjlok. Di saat yang sama, bank-bank membekukan deposito. Akibatnya, rakyat jatuh ke jurang kemiskinan.
Meski biaya membeli paspor sangat mahal, permintaan akan kewarganegaraan asing tetap tinggi. Ini mendorong meningkatnya konsultasi paspor, serta menjamurnya iklan di media sosial, papan reklame, dan bandara Lebanon oleh berbagai perusahaan. Salah satu perusahaan pengiklan, Global Pass, bisnisnya tumbuh sampai 40 persen dari 2020 ke 2021. ”Orang Lebanon mulai banyak yang mengeluhkan tingkat penolakan visa yang tinggi di Lebanon,” kata pendiri Global Pass, Ziad Karkaji.
Bahkan, perusahaan internasional pun meraup banyak keuntungan. Jose Charo, yang mengepalai kantor Legacy Paspor yang berbasis di Swiss, mengatakan, warga Lebanon sekarang merupakan seperempat dari pelanggan perusahaannya. Jumlahnya tumbuh lima kali lipat karena krisis ekonomi yang diperburuk ledakan dahsyat di pelabuhan Beirut pada 2020.
Memiliki kewarganegaraan Granada membuat pengajuan visa investor AS lebih mudah bagi pebisnis, kata Karkaji. Sementara mereka yang ingin pensiun atau menetap di luar negeri juga dapat berinvestasi sekitar seperempat juta dolar di Yunani atau Portugal untuk bisa memiliki tempat tinggal yang permanen. ”Industri ini pasti akan terus berkembang. Memang sayang sekali bagi Lebanon, tetapi untung bagi kami. Warga Lebanon itu sebenarnya membeli kebebasan mereka sendiri,” kata Charo. (AFP)