Wang Yi Akhiri Tur Pasifik Selatan di Papua Niugini
Kunjungan Wang Yi ke sejumlah negara kecil di Pasifik Selatan tak sepenuhnya memberi hasil sesuai target. Negara-negara di kawasan itu umumnya bersedia melakukan kerja sama ekonomi dengan China. Untuk pertahanan, enggan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
PORT MORESBY, JUMAT – Rangkaian lawatan Menteri Luar negeri China Wang Yi ke delapan negara di Pasifik Selatan berakhir di Papua Niugini, Jumat (3/6/2022). Di negeri ini, China dan Papua Niugini menandatangani tiga perjanjian bilateral. Akan tetapi, tidak semua pihak menyambut baik hal tersebut. Pihak oposisi pemerintah Papua Niugini berpendapat bahwa kesepakatan itu dibuat dalam kurun waktu terlalu dekat dengan pemilihan umum.
Perjanjian ditandatangani oleh Wang dan Perdana Menteri Papua Niugini (PNG) James Marape di Port Moresby. Menurut surat kabar setempat, Post Courier, tiga perjanjian itu adalah mengenai pembangunan berbasis teknologi hijau, bantuan untuk penanganan pandemi Covid-19, dan pembangunan pusat antinarkotika.
Di luar kegiatan itu, Marape dan Wang juga membahas mengenai rencana pembuatan perjanjian perdagangan bebas. Ini merupakan pengembangan dari kerja sama bilateral perdagangan kedua negara. China adalah pengimpor terbesar hasil-hasil sumber daya alam PNG. Data Pemerintah PNG menyebutkan, 50 persen gas alam yang dihasilkan negara tersebut dibeli oleh China.
Namun, Marape menginginkan agar PNG bisa melangkah lebih jauh di sektor perdagangan internasional. Tidak hanya mengekspor bahan-bahan mentah, tetapi juga produk turunan seperti barang-barang olahan maupun komoditas jadi. Keduanya akan menghasilkan pendapatan lebih besar kepada PNG yang berambisi menjadi bangsa kulit hitam Kristiani termakmur di dunia.
Pertemuan Marape dengan Wang itu dikritik oleh politisi lawan Marape, yaitu Peter O’Neill yang pernah menjabat sebagai perdana menteri periode 2011-2019. Ia dan Marape akan berlaga di pemilihan umum yang rencananya dihelat pada akhir Juni. Menurut O’Neill, jadwal kedatangan Wang maupun penandatanganan perjanjian bilateral itu tidak pantas karena terlalu dekat dengan pemilu.
“Sangat disayangkan kedatangan perwakilan negara sahabat dijadikan isu politik dan oleh orang yang pernah memimpin negara ini. Meskipun kita akan mengadakan pemilu, pemerintahan tetap berjalan seperti biasa,” tutur Marape menjawab kritik tersebut.
Tur sepuluh hari Wang Yi sejatinya tidak sepenuhnya memberi hasil sesuai target China. Mereka sejatinya menginginkan penguatan pengaruh politik di wilayah Pasifik Selatan guna menandingi pengaruh Barat, terutama Australia. Wang dalam lawatannya itu menawarkan skema yang disebut sebagai Inisiatif Keamanan Global (GSI), yaitu kerja sama pertahanan keamanan yang dibentuk oleh China.
Dalam tajuk rencana kantor berita nasional China, Xinhua, dijelaskan secara umum bahwa GSI ingin menawarkan sesuatu yang lain dibandingkan dengan kerja sama ala Barat yang bersifat unilateral. GSI berbasis multilateral dan jaringan. Segala keputusan diambil melalui konsultasi dan musyawarah dengan tujuan untuk kepentingan, keamanan, dan kemakmuran bersama.
Akan tetapi, negara-negara yang dikunjungi Wang, yaitu PNG, Kepulauan Solomon, Samoa, Tonga, Fiji, Vanuatu, Kiribati, dan Timor Leste, umumnya menolak GSI. Hanya Kepulauan Solomon yang menandatangani pakta pertahanan dengan China dan ini membuat khawatir negara-negara tetangga mereka seperti Federasi Mikronesia dan Australia.
Presiden Mikronesia David Panuelo menulis surat terbuka kepada Kepulauan Solomon memperingatkan mereka akan risiko perang dingin negara-negara adidaya di Pasifik Selatan. Meskipun demikian, Panuelo tetap melakukan pertemuan daring dengan Wang. Demikian pula dengan para kepala negara Kepulauan Cook dan Niue.
Adapun tujuh negara lain yang dikunjungi Wang memilih untuk bekerja sama di bidang ekonomi. Pengembangan industri kelautan dan perikanan merupakan dua hal yang paling menarik minat negara-negara Pasifik Selatan. Selain itu, juga ada pembahasan mengenai pemulihan ekonomi setelah pandemi Covid-19 dan investasi.
Data Kementerian Luar Negeri China, dikutip oleh Xinhua, menyebutkan bahwa di negara-negara Pasifik Selatan, China telah melakukan 100 proyek pemberian bantuan. Di dalamnya mencakup pelatihan 10.000 pakar lokal dan pemberian 200 paket bantuan tunai maupun barang.
Tidak mau ketinggalan, Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong bergerak cepat. Sejak pemerintahan yang dipimpin oleh Perdana Menteri Scott Morrison (2018-2022), Wong yang berasal dari partai oposisi telah ramai menyuarakan betapa lemahnya perhatian Australia terhadap wilayah Pasifik Selatan. Tanpa kepedulian dari Australia, Pasifik Selatan akan mudah mengalihkan fokus mereka ke China.
Oleh sebab itu setelah oposisi mengambil alih kekuasaan di Australia, Wong langsung mengunjungi Fiji, Samoa, dan Tonga, untuk memotong jalur diplomasi Wang. Di ketiga negara, Wong membawa tanda mata kerja sama dari Australia, yaitu unit kapal patroli baru. “Kami memahami untuk negara kepulauan patroli laut sangat penting demi menjaga keamanan,” ujarnya.
Ia juga menawarkan bantuan Australia untuk penanganan isu perubahan iklim. Menurut Wong, ini adalah permasalahan utama di negara-negara Pasifik Selatan karena mereka terdampak langsung oleh pemanasan global dan kenaikan air laut sehingga harus segera ditindaklanjuti. Australia kembali mengutarakan komitmen mereka membantu Pasifik Selatan di sektor pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan peningkatan kapasitas pemerintahan.
Perdana Menteri Tonga Siaosi Sovaleni ketika menyambut Wong menjelaskan bahwa prinsip politik luar negeri masyarakat Pasifik adalah menjalin persahabatan dengan semua orang. China memang penting bagi Tonga karena banyak proyek infrastruktur di negara ini dibiayai oleh China.
Sebagai gambaran, utang luar negeri Tonga berjumlah 195 juta dollar Amerika Serikat atau 3,59 persen dari pendapatan domestik bruto mereka. Sebanyak dua pertiga utang ini merupakan pinjaman dari China Export-Import Bank. Sovaleni mengungkapkan, Pemerintah Tonga akan menepati janji melunasi utang ini.
“Di saat yang sama, Australia tetap merupakan sahabat terdekat karena sama-sama menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia,” ujarnya. (AFP/REUTERS)