Komunikasi Terbuka Pererat Hubungan Australia-Indonesia
Hubungan Australia dan Indonesia naik-turun. Kerja sama ekonomi kedua negara juga tidak merefleksikan besarnya skala ekonomi dan kedekatan geografis kedua negara. Rezim baru di Australia diharapkan bawa dampak positif.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Anthony Albanese, Australia dinilai akan mengatur ulang strategi bilateral mereka dengan Indonesia dan negara di kawasan lain. Albanese dengan deretan menteri di kabinetnya dinilai akan lebih komunikatif dengan mengedepankan prinsip keterbukaan.
Demikian antara lain proyeksi Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) Indonesia yang disampaikan pada briefing media di Jakarta, Kamis (16/6/2022). Acara bertema, “Proyeksi Hubungan Indonesia-Australia di Era Kepemimpinan Perdana Menteri Anthony Albanese” itu, menghadirkan antara lain Direktur Eksekutif CSIS Yose Damuri, Ketua Departemen Hubungan Internasional CSIS Lina Alexandra, dan Peneliti Departemen Hubungan Internasional CSIS Gilang Kembara.
Lina mengungkapkan, Australia akan memandang Indonesia dan negara ASEAN lainnya secara independen. Berbeda dengan pemerintahan sebelumnya yang memprioritaskan hubungan dengan negara-negara Anglophone atau negara-negara yang berbahasa Inggris.
Lina menilai, Scott Morrison sebagai perdana menteri sebelumnya, menempatkan Australia sebagai deputy sheriff-nya Amerika Serikat. “Pertemuan Albanese dengan Presiden RI Joko Widodo merupakan sinyal adanya strategy reset, Australia melihat Indonesia bagian penting dalam politik strategis Australian,” kata Lina.
Lina menambahkan, pernyataan bersama antara pemerintah Indonesia dan Australia dalam pertemuan Jokowi-Albanese memperkuat inisiatif yang sudah disepakati sejak 2018. Di antaranya adalah kerja sama mengenai kontra terorisme, keamanan siber, dan penguatan kerja sama trilateral di Pasifik.
Komitmen bilateral, Lina melanjutkan, diperkuat dengan pemberian visa kerja dan liburan tambahan untuk 5.000 warga Indonesia pada 2025. Ada pula peningkatan pertukaran pelajar dari Australia ke Indonesia, peningkatan program studi bahasa Indonesia di sekolah-sekolah Australia, dan tambahan 470 juta dollar AS selama periode empat tahun untuk pembangunan negara-negara ASEAN. Semua itu memunculkan harapan besar akan kian eratnya hubungan Indonesia dan Australia juga Australia dan negara ASEAN lainnya.
“Ditambah lagi, Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong punya pemahaman baik dengan ASEAN karena ia lahir di Malaysia dan beberapa kali menekankan selalu mengedepankan prinsip keterbukaan juga keuntungan bagi semua,” katanya.
Yose menyatakan, hubungan Indonesia dan Australia selama ini fluktuatif karena berbagai faktor. Di bidang ekonomi misalnya, beberapa kemitraan ekonomi yang sudah disepakati dan masih berjalan hingga kini belum efektif karena implementasi yang minim.
“Hubungan kedua negara ini memang naik-turun, ada saatnya dekat sekali, tetapi kadang-kadang saling berjauhan bahkan sampai saling memanggil duta besarnya di masing-masing wilayah,” kata Yose.
Dalam bidang perdagangan, lanjut Yose, kedua negara bukan merupakan mitra besar meski berbagai kesepakatan ekonomi selalu dibuat. Sayangnya, sampai kini implementasi dari kesepakatan itu belum bisa direalisasi.
Australia menganggap kurangnya pengetahuan mengenai standar dan regulasi yang berlaku menjadi hambatan bagi para eksportir Indonesia untuk menembus pasar Australia. Dunia usaha di Australia juga kerap kekurangan informasi terhadap peluang bisnis di Indonesia. Di era Morrison, pengusaha Australia lebih senang berinvestasi di negara-negara maju.
“Potensi puncak belum diraih dalam kerja sama ekonomi kedua negara, seharusnya bisa dan potensi itu kian terbuka di kepemimpinan Albanese dan kabinetnya,” ungkap Yose.
Gilang Kembara menambahkan, kerja sama ekonomi menjadi tidak efektif. Salah satunya penyebabnya adalah ketegangan kawasan karena kebijakan politik pemerintahan sebelum Albanese. Saat ini, Albanese belum menunjukkan tanda-tanda akan memodifikasi kebijakan lama itu, seperti AUKUS maupun QUAD. Banyak pihak berharap Albanese bisa mendinginkan situasi.
“Albanese dan Menlu Penny Wong dikenal sangat komunikatif. Ke depan komunikasi Indonesia dan Australia bakal jauh lebih lancar dan terbuka, sehingga Australia bisa memiliki kepekaan dalam kebijakan luar negeri yang berpotensi menimbulkan sensitivitas dari negara tetangganya, salah satunya Indonesia,” jelas Gilang. (AP)