Meruwat Bumi, dari Tarif Angkot Murah hingga Kentut Sapi
Realisasi komitmen mengurangi emisi karbon kurang menggembirakan. Namun, pilihannya adalah meruwat bumi atau malapetaka terjadi. Sejumlah kota dan pemerintahan negara mulai berinovasi.
Banjir di Pakistan yang menewaskan lebih dari 1.000 orang dan berdampak terhadap sekitar 30 juta warga mengajarkan satu hal; ketika malapetaka akibat perubahan iklim terjadi, hanya bendera putih yang bisa dikibarkan pemerintah. Sumber daya yang ada, seberapa pun kekuatannya, tak akan mampu menanggulanginya.
Jadi, tak ada pilihan yang paling bijaksana, kecuali berinvestasi mulai sekarang untuk meminimalisasi dan memitigasi risiko. Syukur-syukur bisa menghindari risiko. Semahal apa pun nilai investasinya, tetap lebih murah ketimbang jadi ”pemadam kebakaran”.
Oleh sebab itu, cara-cara kreatif dan inovatif dibutuhkan. Masing-masing wilayah dan negara punya konteks dan infrastruktur yang beragam dan berbeda-beda. Apa pun caranya, targetnya satu, yakni efektif merawat daya dukung Bumi untuk kehidupan manusia yang berkelanjutan.
Baca juga: Kekeringan Semakin Mengakrabi Kota-kota
Saat ini, kondisi Bumi semakin panas akibat emisi gas rumah kaca. Cuaca ekstrem merajalela. Di satu sisi terjadi kemarau berkepanjangan, seperti di Afghanistan dan Benua Afrika yang mengakibatkan bencana kelaparan.
Di sisi lain, belahan dunia seperti India, Pakistan, dan Pasifik digempur hujan terus-menerus. Rumah, tanah pertanian, harta benda, dan berbagai tempat usaha lenyap disapu air.
Emisi gas rumah kaca mengakibatkan pemanasan global yang menaikkan suhu Bumi sejak zaman Revolusi Industri. Berbagai kajian iklim, termasuk dari Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Laporan Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) menyebutkan dalam laporan terakhir mereka yang dikeluarkan pada April 2022 bahwa komitmen negara-negara di dunia, terutama negara-negara kaya penghasil emisi terbesar, masih lemah.
Dua derajat
Konferensi Tingkat Tinggi ke-26 tentang Iklim di Skotlandia pada November 2021 menegaskan, jika suhu Bumi naik 2 derajat celsius saja dalam satu dekade ke depan, katup-katup es akan meleleh. Air laut menghangat dan meluap. Akan terjadi bencana global dalam skala yang tidak pernah ada sebelumnya. Bumi akan rusak permanen. Solusinya ialah menahan kenaikan suhu Bumi di 1,5 derajat celsius.
Sebenarnya, target ini adalah batas minimal yang bisa dilakukan. Itu pun susahnya bukan main. Dalam laporan IPCC dijelaskan, per 2050 emisi gas rumah kaca harus berkurang 45 persen. Artinya, dalam waktu delapan tahun, dunia harus mengurangi 95 persen pemakaian batubara, 60 persen pemakaian minyak, dan 45 persen penggunaan gas alam.
Baca juga: John Kerry : Kedaulatan Energi Terletak di Energi Baru Terbarukan
Permasalahannya, sejak Februari 2022, dunia menghadapi krisis energi akibat konflik Rusia dengan Ukraina. Harga minyak meroket dan disusul dengan harga komoditas keseharian. Amerika Serikat pun akhirnya mengeluarkan 180 juta barel minyak dari cadangan darurat mereka demi menangani krisis dalam negeri. Eropa memperpanjang pemakaian batubara.
”Ini hanya solusi sementara sampai suasana stabil. Begitu keadaan memungkinkan, AS dan Eropa akan melipatgandakan kinerja menurunkan emisi demi mencapai target 2030,” kata Utusan Khusus Presiden AS untuk Urusan Iklim John Kerry ketika diwawancara pada Kamis (1/9/2022).
Pertanyaannya adalah tidak ada yang bisa memperkirakan kapan situasi bisa dinyatakan stabil. Sampai stabilitas itu datang, cuaca ekstrem akan terus terjadi.
Pakistan saat ini mengalami banjir terbesar sepanjang sejarah mereka. Pemerintah tak mampu mengatasi sehingga minta bantuan internasional. Australia pada awal 2022 mengalami banjir bandang di Queensland dan New South Wales. Eropa Selatan berjibaku memadamkan api akibat kebakaran hutan dan lahan.
Harapan terletak di komitmen setiap negara untuk mengembangkan kebijakan dan teknologi agar bisa mengalihkan energi, dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT). Sejumlah negara telah meletakkan komitmen itu di atas kertas, tinggal melihat kenyataan praktiknya.
Rapor merah
Indeks Perubahan Iklim yang dirumuskan oleh lembaga swadaya masyarakat Germanwatch, Jaringan Aksi Iklim (CAN) dan Institute Kajian Iklim Baru (NCI), menyebutkan, seluruh negara di dunia sebenarnya menerima rapor merah dari upaya transisi energi hingga pola konsumsi masyarakatnya. Akan tetapi, di antara semua, ada sepuluh negara yang bisa dibilang lumayan dari segi janji.
Portugal, misalnya, negara yang langganan kebakaran lahan akibat cuaca panas ekstrem, berjanji bahwa sumber 54 persen listriknya adalah EBT per 2030. Maroko menargetkan 52 persen. Adapun Perancis, selain beralih ke EBT, juga menghilangkan penerbangan domestik jarak pendek dan melarang kemasan plastik.
Negara-negara Eropa memiliki keunggulan kebijakan, sistem, dan tata kota yang sudah maju serta mapan. Baru-baru ini, sejumlah negara juga mengumumkan akan melarang jual beli kendaraan bermotor berbahan bakar fosil mulai 2035. Bahkan, sejumlah distrik di Barcelona (Spanyol), Paris (Perancis), dan Amsterdam (Belanda) sudah merancang sistem kota tanpa kendaraan bermotor.
Mereka mengajak warga di setiap distrik terlibat langsung membuat konsep ”kota 15 menit”. Artinya, dalam jarak 15 menit berjalan kaki dari tempat tinggal, warga sudah harus menemukan fasilitas kesehatan, sekolah, taman, pasar, pusat kebugaran, dan tempat makan. Ini akan menurunkan ketergantungan warga memakai kendaraan bermotor.
Baca juga: Pangkas Mobil Pribadi, Cara Radikal Negara-negara Maju Kurangi Emisi Karbon
Di Jerman dan Spanyol, pemerintah sedang menjalankan program nirkendaraan pribadi. Tarif naik moda angkutan umum dengan tarif murah meriah adalah insentifnya.
Jerman, misalnya, memasang tarif 9 euro atau Rp 134.000 per orang per bulan untuk karcis angkutan umum bus, kereta, dan kapal feri. Artinya, hanya berbekal 9 euro itu, warga bisa berganti-ganti transportasi umum selama satu bulan untuk bepergian. Program ini laku keras di masyarakat.
Di Selandia Baru, pemerintahnya sudah menyiapkan program ”bedol desa”. Pulau Selatan negara ini untuk pertama kalinya mengalami banjir rob akibat luapan air laut. Warga terdampak ada 100 orang. Ini bukan apa-apa dibandingkan korban banjir di Indonesia, India, dan Pakistan. Tapi, di Selandia Baru, tidak jarang skala ini sudah mencakup satu kecamatan.
Di negara ini, penghasil emisi terbesar mereka bukan kendaraan bermotor, melainkan ternak. Penduduk negara ini berjumlah 5,1 juta jiwa. Sementara ternaknya mencapai 36 juta ekor. Oleh sebab itu, Pemerintah Selandia Baru tengah merumuskan kebijakan untuk menarik pajak dari serdawa dan kentut ternak.
Mayoritas contoh ini terjadi di negara maju. Akan tetapi, bukan berarti negara berkembang tidak bisa memiliki ambisi serupa. Maroko sudah mengajukan komitmen mengganti 52 persen listriknya dari EBT. Negara itu masih harus mencukupi kebutuhan energi masyarakatnya. Akan tetapi, Pemerintah Maroko melihat ini kesempatan untuk membangun pembangkit listrik yang ramah lingkungan.
Baca juga: Pertemuan Menteri Lingkungan Negara G20 Sepakati Penguatan Aksi Iklim
Beberapa negara lain melakukan kerja sama, misalnya yang terjadi di ekosistem Sungai Mekong yang meliputi Kamboja, Thailand, dan Laos. Masyarakat di wilayah ini mayoritas bekerja sebagai petani dan nelayan.
Pendekatan yang dipakai bukan mengganti gaya hidup mereka, tetapi memanfaatkan pertanian dan perikanan untuk menyelamatkan lingkungan. Program ini dikelola oleh Bank Pembangunan Asia (ADB). Caranya ialah meniadakan konsep monokultur. Perkebunan-perkebunan kini ditanami berbagai tanaman kayu keras maupun tanaman produktif.
Terdapat pula rehabilitasi kawasan bakau maupun tanaman air lainnya yang bisa menahan erosi. Ada pula pola pemancingan ramah lingkungan.