Kebijakan Covid-19 Ketat, Mahasiswa RI Carter Pesawat untuk Kuliah di China
Sebanyak 124 mahasiswa Indonesia kembali melanjutkan studi mereka di China setelah harus pulang gara-gara pandemi Covid-19, dua tahun terakhir. Di tengah kebijakan ketat nihil Covid-19, mereka mencarter pesawat ke China.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
BEIJING, KOMPAS — Sebanyak 124 mahasiswa asal Indonesia yang belajar di China akhirnya tiba kembali di China, Rabu (7/9/2022) pukul 22.27 waktu Guangzhou, China. Mereka akan menjalani masa karantina di Guangzhou, Provinsi Guangdong, China selatan, selama 10 hari sebelum kembali ke kota dan kampus masing-masing.
Siaran pers dari Kedutaan Besar RI untuk China dan Mongolia, Kamis (8/9/2022), menyebutkan bahwa 124 mahasiswa itu merupakan rombongan perdana mahasiswa yang kembali ke China untuk melanjutkan studinya. Mereka diterbangkan ke China dengan menggunakan maskapai penerbangan carter Airbus A320.
Para mahasiswa Indonesia itu ingin mengikuti kembali perkuliahan mereka secara tatap muka langsung di tengah kebijakan nihil Covid-19 yang dijalankan secara ketat oleh Pemerintah China.
Kebijakan nihil Covid-19 merupakan strategi mengendalikan Covid-19 dengan aturan-aturan yang tegas memberlakukan protokol kesehatan, mulai dari pelacakan kontak, tes Covid-19 massal, karantina, dan penguncian wilayah. Targetnya, tidak ada lagi kasus baru yang muncul.
Sejumlah wilayah atau kota di China hingga saat ini masih memberlakukan penguncian wilayah (lockdown) secara parsial atau total. Kebijakan penguncian wilayah diambil jika ditemukan kasus-kasus baru yang menyebar signifikan. Salah satu kota yang dikenai penguncian wilayah saat ini, misalnya, kota Chengdu, Provinsi Sichuan, China barat daya.
Di tengah kebijakan ketat nihil Covid-19 tersebut, para mahasiswa Indonesia kembali ke China. Setelah melalui proses administrasi dan tes PCR, setiba di Guangzhou mereka langsung dibawa ke hotel tempat karantina. Berdasarkan pengaturan Tim Satgas Guangzhou, rombongan mahasiswa akan diinapkan di dua hotel di Distrik Baiyun, Guangzhou, yaitu Hotel Jingxi Lidun untuk 79 orang dan Hotel Renhe Weilai untuk 46 orang.
Sehari sebelum keberangkatan mereka, yakni pada 6 September malam, Duta Besar RI untuk China dan Mongolia Djauhari Oratmangun bersama jajaran KBRI Beijing, KJRI Guangzhou, KJRI Shanghai, dan CEO Citilink melakukan pelepasan virtual rombongan Indonesia yang akan ke China. Djauhari berpesan kepada mahasiswa yang akan tiba kembali ke China untuk menjaga kesehatan, produktif, serta tetap berpikiran dan bertindak positif.
”Upayakan tetap beraktivitas selama karantina, termasuk menulis jurnal mengenai perjalanan kembali ke China,” ujar Dubes Djauhari.
KBRI Beijing dan KJRI Guangzhou sudah menyiapkan bantuan logistik untuk rombongan mahasiswa saat mereka tiba di China yakni makanan instan, makanan ringan, masker, hand sanitizer, dan tisu alkohol. Mereka juga mendapatkan APD untuk dikenakan selama perjalanan ke China.
Selain ke-124 mahasiswa itu, sudah lebih dari 30 mahasiswa Indonesia telah kembali ke China secara mandiri dengan menggunakan penerbangan komersial yang masih terbatas. ”Semoga penerbangan kloter pertama untuk membawa mahasiswa kembali kuliah di China ini segera disusul juga oleh yang lainnya,” kata Djauhari.
Menurun akibat pandemi
Menurut Atase Pendidikan untuk China dan Mongolia di KBRI Beijing, Yaya Sutarya, yang ditemui secara terpisah pada awal September ini, secara keseluruhan jumlah mahasiswa Indonesia di China sebelum pandemi Covid-19 sebanyak 15.670 mahasiswa. Setelah pandemi, jumlahnya menurun drastis hingga menjadi sekitar 9.500 mahasiswa.
Hal itu karena banyak mahasiswa yang mengambil jurusan vokasi atau politeknik tidak bisa kembali ke China. Padahal, seluruh kegiatan pembelajaran harus dilakukan di China, mulai dari penelitian hingga praktik di bengkel. Jumlah mahasiswa yang ingin atau harus kembali ke China sebanyak 7.860 orang.
”Jumlah visa masih dibatasi oleh Pemerintah China padahal banyak yang ingin kembali ke sini. Masih banyak juga sekolah yang belum mengizinkan mereka kembali,” kata Yaya.
Mahasiswa yang kembali ke China pada gelombang pertama adalah mahasiswa yang masuk dalam kategori ”darurat”, yakni mahasiswa semester terakhir yang harus segera menyelesaikan skripsi, tesis, disertasi, dan penelitiannya. Banyak juga mahasiswa kedokteran yang harus koas di rumah sakit di China. Ada juga mahasiswa yang harus kembali karena kampusnya tidak bisa memberikan pelajaran daring.
”Sekitar 90 persen mahasiswa Indonesia adalah penerima beasiswa dari Pemerintah China. Mereka kesusahan lantaran beasiswanya tidak bisa dicairkan karena sedang berada di Indonesia. Beasiswa baru bisa dicairkan saat berada di China. Ada juga beberapa kasus mahasiswa harus segera kembali ke China karena jika tidak beasiswanya akan dicabut,” kata Yaya.
Terkait kedatangan gelombang pertama mahasiswa Indonesia ke China, Djauhari menyampaikan terima kasih kepada Kementerian Luar Negeri RI, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kemenko Maritim dan Investasi, Kemenlu China, Kementerian Pendidikan China, Kedubes China di Jakarta, Citilink, agen perjalanan, dan semua pihak yang membantu proses kembalinya mahasiswa Indonesia ke China.
China menjadi salah satu negara pilihan mahasiswa asal Indonesia untuk berkuliah. Hal ini tidak terlepas dari posisi kampus-kampus di China saat ini yang banyak mulai unggul di dunia, khususnya untuk ilmu-ilmu baru seperti inovasi teknologi.
Industri inovasi teknologi di China tengah berkembang pesat. Teknologi kecerdasan buatan, kendaraan listrik, baterai untuk kendaraan listrik, dan teknologi sumber energi terbarukan hanya sebagian kecil dari industri yang sedang naik daun di China. Itu semua seiring dengan upaya Pemerintah China mengejar impian menjadi yang terdepan di bidang teknologi komunikasi serta memenuhi target karbon netral dan pemanfaatan energi bersih di masa depan. (*/SAM)