Internet Diblokir, Keran Informasi Mampet
Sejak demo besar-besaran menuntut kejelasan soal kematian Mahsa Amini, Pemerintah Iran memblokir akses internet dan selular di seluruh negeri. Pemerintahan Ebrahim Raisi mencegah arus info masuk dan ke luar Iran.
Saeed Souzangar, menjalankan sebuah perusahaan teknologi di Teheran, Iran. Sebagai punggawa perusahaan teknologi, hampir pasti dia mahir mengatasi gangguan internet yang sering terjadi di negara tersebut agar hal itu tidak mengganggu bisnisnya.
Akan tetapi, selama beberapa pekan terakhir, dia menyerah dengan masalah pemblokiran akses internet yang dilakukan pemerintah. Kematian Mahsa Amini (22), yang diduga tewas karena tindakan kekerasan berlebihan oleh polisi moral Iran berujung pada demonstrasi besar-besaran di seantero negeri, membuat pemerintahan Presiden Ebrahim Raisi memblokir akses internet di negara tersebut.
"Saya tidak bisa melakukan pekerjaan saya, saya tidak bisa berbicara dengan orang yang saya cintai, saya bahkan tidak bisa melakukan transaksi bank di ponsel saya. Ini adalah penutupan internet terburuk yang kami alami dalam tiga tahun. Ini benar-benar kacau," kata Souzangar (34).
Baca juga : Perlawanan Kultural Perempuan Iran
Pemblokiran akses internet dimulai saat massa turun ke jalan usai pemakaman Amini, 16 September lalu. Menurut lembaga hak akses digital Access Now, pemerintah Iran memutus data seluler, memblokir berbagai platform media sosial seperti WhatsApp dan Instagram di beberapa provinsi. Saat demonstrasi meluas hingga ke seluruh negeri, termasuk ke pedesaan, pemblokiran meluas. Bahkan internet domestik terganggu.
Menteri Komunikasi Iran Mohammad Javad Azari Zahromi sempat mengatakan, gangguan internet hanya bersifat sementara di beberapa tempat. Gangguan itu, katanya, telah diatasi beberapa jam kemudian.
Blokir terbanyak
Menurut Netblocks, sebuah kelompok pemantau internet, Iran adalah salah satu negara dengan jumlah pemblokiran internet tertinggi tahun lalu. Mei tahun ini, kecepatan internet dan internet yang diakses melalui provider telekomunikasi di Provinsi Khuzestan menurun karena pada saat itu tengah terjadi demonstrasi menolak kenaikan harga bahan pangan. Situasi yang sama juga terjadi di sejumlah provinsi.
Otoritas di Iran melakukan sekitar selusin pemblokiran akses internet sejak Desember 2018. Lama pemblokiran variatif, mulai dari 15 menit hingga paling lama 12 hari.
Saat Kementerian Komunikasi Iran, yang dipimpin Zaromi – yang juga pernah bekerja di lembaga intelejen pemerintah, memblokir internet selama 12 hari, saat itu sedang terjadi demo besar mengkritik kenaikan harga bahan pangan dan bahan bakar. Unjuk rasa itu meletus pada November 2019. Lembaga advokasi hak asasi manusia Amnesty International menuding pemblokiran akses internet oleh Kementerian Komunikasi bertujuan untuk menutupi kejadian yang sesunguhnya, yaitu tewasnya warga sipil peserta aksi damai oleh aparat keamanan.
Baca juga : Aparat Iran Tangkap Jurnalis-Aktivis, Termasuk Putri Mantan Presiden Rafsanjani
Penyelidikan kantor berita Reuters menyebut sekitar 1.500 orang meninggal dunia di tangan aparat keamanan sepanjang aksi tersebut. sejauh ini, pemerintah Iran belum menanggapi tuduhan pembunuhan yang masuk dalam kategori extra judicial killing itu. Sebaliknya mereka menyalahkan adanya campur tangan asing dan elemen separatis di dalam aksi warga sipil itu.
Tudingan yang sama yang kini dilancarkan oleh pemerintahan Ebrahim Raisi.
Dikutip dari kantor berita IRNA, Raisi, saat wawancara dengan sebuah stasiun televisi, mengatakan, musuh telah menargetkan integritas teritorial dan kedaulatan nasional Iran dengan menciptakan perbedaan di antara warga Iran.
Baca juga : Kasus Amini Berkembang Jadi Pertarungan antara Garda Revolusi Iran dan Kelompok Kurdi
Amir Rashidi, Direktur Hak Digital Miaan Group yang berbasis di Texas, mengatakan, pemblokiran akses internet adalah bagian dari strategi pemerintah untuk membungkam warga.
"Pertama, mereka ingin menghentikan pengunjuk rasa berkomunikasi satu sama lain dan kedua, mereka ingin menghentikan mereka mengirim bukti dan gambar pelanggaran ini ke dunia luar," katanya.
Kriminalisasi Warga
Di seluruh dunia, penutupan internet menjadi lebih canggih, bertahan lebih lama, merugikan orang dan ekonomi, serta menargetkan kelompok rentan di seluruh dunia. Menurut Acces Now, sepanjang tahun 2021 lalu, terjadi sekitar 182 kali pemblokiran akses internet di 34 negara. Jumlah ini naik dari data tahun sebelumnya yang hanya mencatat 159 kali pemblokiran akses internet di 29 negara.
Khusus di wilayah Iran, penyelenggara internet lokal, Jaringan Informasi Nasional (NIN) yang dikelola oleh Kementerian Informasi dan Teknologi Iran, memblokir sebagian besar situs media sosial global dan aplikasi perpesanan. Diantara mereka termasuk Facebook, Twitter, YouTube, Telegram, dan Signal. Selain itu NIN juga mengidentifikasi pengguna dengan nomor telepon dan identitas mereka. Otoritas komunikasi secara rutin memblokir sinyal, terkecuali untuk siaran yang disetujui oleh negara.
Baca juga : Pihak Keluarga Ungkap Penyebab Kematian Mahsa Amini di Tangan Polisi Iran
Tidak hanya itu, mereka mengarahkan pengguna ke tujuan lain, sebuah proses yang dikenal dengan sebutan domain name system hijackingatau pembajakan sistem nama domain. Langkah terbaru yang dilakukan oleh otoritas komunikasi Iran adalah tanpa persetujuan pengguna, mereka mengaktifkan mode pencarian aman (safe mode) Google dan Bing (mesin pencari milik Microsoft) untuk seluruh warga Iran. Mode pencarian aman biasanya digunakan para orang tua untuk menyaring konten eksplisit, yang tidak sesuai dengan usia anak-anak.
"Pencarian aman mengasumsikan bahwa seluruh penduduk Iran berusia di bawah 13 tahun, dan Pemimpin Tertinggi tampaknya memposisikan diri sebagai orang tua," kata Amin Sabeti, pendiri CERTFA,sebuah laboratorium keamanan siber yang berfokus pada serangan siber oleh Iran.
Akan tetapi, hal itu belum seberapa. Kini, pemerintah Iran dikabarkan tengah merancang sebuah aturan perundangan untuk membatasi layanan internet internasional. Beberapa klausul di dalamnya antara lain menyoal kemungkinan kriminalisasi penggunaan jaringan pribadi virtual (VPN ) dan menempatkan infrastruktur internet dan gerbang internet di bawah kendali angkatan bersenjata dan badan keamanan.
Sejumlah pakar HAM PBB mengatakan RUU yang sedang digodok di parlemen adalah langkah mengkhawatirkan menuju konsolidasi tembok digital di Iran.
Baca juga : Pendulum Politik Iran Berayun ke Kubu Konservatif
Penggunaan VPN tidak selamanya bermaksud buruk. Menurut data Top10VPN, penutupan dan gangguan internet telah mengurangi pemasukan Iran hingga 28 juta dollar tahun lalu. VPN pun dinilai bermanfaat bagi kelangsungan bisnis warga Iran.
Perancang busana asal Iran, Sarah, misalnya, menggunakan VPN untuk mengunggah foto hasil karyanya dan bertukar pesan dengan calon pembeli di Instagram. Perlambatan akses internet oleh pemerintah membuatnya frustrasi.
"Saya harus menghabiskan berjam-jam waktu saya dan begitu banyak energi setiap hari hanya untuk mencoba terhubung ke internet. Desainer di seluruh dunia dapat menjual karya mereka secara daring dengan mudah. Pada hari-hari ketika internet lambat atau tidak aktif, saya tidak melakukan penjualan - itu kerugian besar," kata desainer berusia 32 tahun itu.
Banyak orang Iran mengandalkan VPN untuk mengakses situs global, berkomunikasi dengan dunia luar, atau menyembunyikan identitas online mereka - sesuatu yang dapat dianggap sebagai kejahatan di bawah undang-undang baru. Dengan pemblokiran akses internet, VPN bukan sebuah solusi.
Tak hanya masalah akses yang lambat, otoritas secara terus menerus menaikkan biaya intenet antara 30-100 persen awal tahu ini dengan alasan inflasi yang meroket. Kondisi ini membuat para pebisnis menaikkan biaya operasional mereka, terutama untuk biaya akses internet. Sementara, rumah tangga, banyak yang tidak mampu membayar dan akhirnya memutuskan untuk mengakhiri layanan.
Pekan lalu, pejabat AS mengeluarkan panduan untuk memperluas jangkauan layanan internet yang tersedia bagi warga Iran meskipun ada sanksi AS. Selain itu, Elon Musk juga menyatakan dirinya siap mengaktifkan layanan internet satelit perusahaan untuk Iran. Namun, langkah-langkah ini tidak dapat membuat semua orang daring.
“Tidak ada solusi yang mudah untuk mem-bypass pemblokiran bagi masyarakat awam,” kata Rashidi.
Dengan adanya calon UU anyar soal akses internet di Iran, Sabeti menilai, pemerintahan Raisi tampaknya bertekad untuk mengontrol secara ketat informasi yang masuk dan keluar dari negara itu. "Pada akhirnya, tujuannya adalah untuk mengontrol sebanyak mungkin arus informasi," katanya. "Internet mati di Iran." (Thomson Reuters Foundation)