Sabra, Marvel, dan Rakyat Palestina
Disney dan Marvel memunculkan seorang tokoh pahlawan super di produksi film mereka pada 2024. Sabra namanya. Namun, karakter ini menuai penolakan dari rakyat Palestina.
Pekan kedua September 2022, Anaheim Center di California, Amerika Serikat, penuh dengan penggemar tokoh superhero (pahlawan super) rekaan Marvel. Mereka yang berkumpul di D23 Expo itu adalah penggemar fanatik karakter komik Disney dan Marvel, keduanya berada di bawah naungan perusahaan yang didirikan Walt Disney.
Yang dinanti oleh penggemar Marvel adalah tokoh dan film apa yang muncul dalam film Captain America: New World Order (Kapten Amerika: Tata Dunia Baru). Marvel Cinematic Universe akan menampilkan pahlawan super asal Israel, Sabra, dalam film terbaru Marvel. Pemeran tokoh perempuan superhero itu adalah aktris asal Israel, Shira Haas.
Baca juga : Perjalanan Hollywood Tanah Arab
Sebagian penggemar film Marvel menanti racikan Julius Jonah yang akan menyutradarai film yang direncanakan akan dirilis pada 2024 itu. Akan tetapi, kritik muncul dari banyak penjuru dunia, terutama warga Palestina, tentang Sabra, tokoh perempuan superhero asal Israel itu.
Tagar #CaptainApartheid muncul di berbagai platform media sosial. Kritik menyebut karakter Sabra dan identitasnya sebagai agen badan intelijen Israel, Mossad, serta pembenaran atas penindasan terhadap rakyat Palestina akan digemakan oleh Marvel dan Disney.
”Dengan memuliakan tentara dan polisi Israel, Marvel mempromosikan kekerasan Israel terhadap Palestina dan memungkinkan penindasan berkelanjutan terhadap jutaan orang Palestina yang hidup di bawah kekuasaan militer otoriter Israel,” cuit Institute for Middle East Understanding, organisasi pro-Palestina yang berbasis di AS, dikutip dari laman The New York Times.
Lebih dari empat puluh tahun setelah diperkenalkan sebagai bagian dari keluarga pahlawan super Marvel, tokoh Sabra kini menjadi kontroversi. Karakter ini muncul pertama kali dalam komik Incredible Hulk edisi 250 dan 256 (Mei dan November 1980).
Sabra, yang dibuat oleh penulis Bill Mantlo dan artis Sal Buscema, digambarkan sebagai perempuan yang memiliki kekuatan super. Ini terjadi karena dia adalah mutan, yang lahir dan dibesarkan di sebuah kibbutz atau semacam perkampungan komunitas di dekat Jerusalem.
Baca juga : Indonesia (Bisa) Menembus Pasar Film Hollywood
Tokoh perempuan super yang memiliki nama sipil Ruth Bat-Seraph, dikutip dari laman Marvel Fandom, memiliki beberapa kemampuan, mulai dari mengangkat beban hingga 50 ton, cepat, tangkas, dan memiliki daya tahan tinggi. Kekuatan super yang membedakannya dengan pahlawan super rekan lainnya adalah penyembuhan degeneratif serta mampu mentransfer energi kehidupan dan memberi kekuatan pada orang lain.
Sabra sendiri di masyarakat Israel sering diasosiasikan dengan orang yang memiliki darah Yahudi dan dilahirkan di Israel. Uri Fink, tokoh komik Israel, melalui akun Twitter-nya (@zbengolem), Minggu (11/9/2022), menyebut Sabra adalah tokoh pahlawan super rekaan yang muncul pertama kali pada Juni 1978. Dalam komik berjudul Sabraman versus Dr Mengel, Fink melukiskan tokoh pahlawan super asal Israel itu adalah seorang laki-laki, bukan perempuan seperti yang digambarkan oleh Marvel.
Dalam pandangan Yael Zerubavel, profesor emeritus studi dan sejarah Israel pada Universitas Rutgers, AS, yang dipaparkan dalam Jurnal Studi Israel 2002, Sabra adalah tokoh mitologi keturunan Yahudi baru berjenis kelamin laki-laki.
Zerubavel menulis tokoh mitologi muda ini memiliki karakter muda, kuat, berani, banyak akal, lugas, membumi, jujur, dan setia. Karakternya juga digambarkan memiliki komitmen ideologi yang kuat dan siap membela rakyatnya (warga Yahudi Israel) sampai akhir. Jadi, mengapa warga Palestina keberatan dengan munculnya tokoh Sabra ini?
Tidak peka
Dania Omari (21), penggemar dan seniman kartun Palestina, dikutip dari laman Al Jazeera, menilai, Marvel dan Disney tidak peka terhadap situasi yang terjadi di Palestina. Serangan militer, pengambilalihan tanah dan rumah warga Palestina oleh warga Israel yang didukung militer, hingga tindakan represif lainnya adalah beberapa tindakan militer Israel terhadap Palestina.
”Tidak ada yang bisa menormalkan pembantaian atau mengabaikan penderitaan. Misi tentara Israel adalah membunuh, menyingkirkan pihak lain, melalui pendudukan. Dan, kini, mereka menggambarkan individu yang mencoba menyingkirkan kami sebagai pahlawan super,” kata Omari.
Yousef Munayyer, penulis dan analis Palestina-Amerika, dikutip dari laman CNN, mengatakan, konsep mengubah mata-mata, agen badan intelijen Israel menjadi pahlawan super adalah tindakan tidak sensitif dan memalukan. ”Pemuliaan kekerasan terhadap Palestina, khususnya Arab dan Muslim, secara lebih luas di media massa memiliki sejarah panjang dan buruk,” katanya.
Tindakan semena-mena pemerintah dan militer Israel terhadap warga Palestina masih terus berlangsung hingga hari ini. Seorang anak Palestina, Rayan, bocah berusia 7 tahun, meninggal dunia setelah rumahnya didatangi oleh militer Israel, Kamis (29/9/2022). Tentara menyebut kematian itu sebagai tragedi dan mengatakan tentaranya tidak bisa disalahkan.
Sementara, menurut sang ayah, Yasser Suleiman, Rayan mencoba melarikan diri ketika tentara mengatakan mereka ingin menangkap saudara-saudaranya dan sempat dikejar oleh tentara. Dia mengatakan Rayan muntah darah di dalam mobil setelah pingsan dan dinyatakan meninggal di rumah sakit. Sehari sebelumnya, serangan militer Israel ke Kamp Jenin menewaskan dua orang warga Palestina dan melukai puluhan lainnya.
Baca juga : Ironi Sineas Asia di Jagat Hollywood
Februari tahun ini, lembaga advokasi hak asasi manusia Amnesty International, Human Rights Watch, B’Tselem, dan Yesh Din merilis laporan yang menyebut Pemerintah Israel telah melakukan kebijakan apartheid terhadap warga Palestina. Dalam laporannya, keempat lembaga itu menyebut Israel memacu pembangunan dan mempertahankan hegemoni demografi warga Yahudi dengan memaksimalkan kendalinya atas lahan-lahan milik warga Palestina.
Israel juga membatasi dan meminimalisasi jumlah warga Palestina di lokasi-lokasi yang disasar. Pemerintah Israel juga menghalangi upaya warga Palestina memiliki kemampuan untuk melawan perampasan hak-hak mereka.
Laporan tersebut juga menyatakan, berbagai kebijakan Israel di wilayah yang berada di bawah kendalinya bertujuan untuk melanggengkan keberadaan mayoritas warga Yahudi di sebanyak mungkin lokasi atau tanah yang dimiliki warga Palestina dan secara sistematis juga menyangkal hak dasar warga Palestina. Israel memandang hal itu sebagai sebuah hak dasar, hak hidup warga Yahudi, yang bertujuan untuk memastikan kelangsungan hidup dan keamanan satu-satunya negara Yahudi di dunia. (Kompas.id, 1 Februari 2022)
Alasan lain yang menyebabkan kemarahan warga Palestina adalah Sabra merupakan nama sebuah kamp pengungsi Palestina di Lebanon yang menjadi lokasi pembantaian ratusan warga Palestina, September 1982. Militer Israel tidak secara langsung mengeksekusi pengungsi Palestina di dua kamp, Sabra dan Shatila.
Baca juga : Givat Eitam, Pelanggaran Norma Internasional dan Apartheid Baru
Akan tetapi, menurut Ellen Siegel, perawat asal AS berdarah Yahudi, dikutip dari Middleeasteye, suar yang ditembakkan militer Israel ke udara dan menerangi wilayah pengungsi membuat Phalange, milisi Kristen Lebanon memasuki kamp Sabra dan Shatila dan membunuh para pengungsi. "Apa yang terjadi adalah [suar] menyalakan jalan bagi Phalange untuk pergi dari pintu ke pintu dan membunuh orang,’ ujarnya.
Hasil penyelidikan pemerintah Israel, setahun setelah peristiwa terjadi, membuktikan cerita Siegel. Penyelidikan Komisi Kahan, dikutip dari laman CNN, menemukan tentara Israel bertanggung jawab secara tidak langsung atas peristiwa itu.
Komisi menyimpulkan tentara membiarkan masuknya anggota milisi ke daerah tersebut dan tidak mengambil tindakan yang tepat untuk mencegah pembunuhan. Ariel Sharon, yang saat itu menjadi menteri pertahanan, terpaksa mengundurkan diri sebagai akibat dari temuan penyelidikan.
Saat kemunculannya komik pada 1981, Sabra tersadarkan oleh kata-kata Hulk, setelah seorang bocah Palestina bernama Sahad tewas dalam ledakan “kelompok teroris”, yang diasosiasikan sebagai teroris Arab. “Anak laki-laki meninggal karena mereka (warga Arab) dan kalian (Israel) sama-sama ingin memiliki tanah! Anak laki-laki meninggal karena kamu tidak mau berbagi!” kata Hulk.
Sabra, yang digambarkan mengenakan kostum putih dengan Bintang Daud (lambang Israel) di dadanya, duduk bersimpuh di samping tubuh Sahad, yang sudah tak bernyawa. Penulis komik itu menulis : "Dibutuhkan Hulk untuk membuatnya melihat bocah Arab yang mati ini sebagai manusia. Dibutuhkan monster untuk membangkitkan rasa kemanusiaannya sendiri."
Baca juga : Perjuangan Palestina dari Perang 1948 hingga 2021
Azeez Azeez (29) seniman karikatur asal Jenin, mengatakan, sinema dan televisi negara-negara barat membuat stereotipe orang Arab sebagai teroris dan layak untuk dibunuh. “Ini adalah upaya berkelanjutan untuk mencuci otak orang-orang yang tidak tahu apa yang terjadi di bagian dunia ini,” kata Azeez.
Seniman komik lainnya, Michael Jabareen, mengatakan, ini adalah sebuah propaganda. “Marvel memiliki Captain America, Captain Britain – semua karakter ini adalah cerminan dari proses memuliakan nasionalisme dan mengaburkan realitas kolonial negara-negara ini,” katanya, dikutip dari laman Al Jazeera.
Seorang juru bicara Marvel Studios, kepada CNN, menyatakan, pembuat film akan mengambil pendekatan baru pada karakter Sabra dibanding saat pertama kali muncul 40 tahun lalu. Dia menambahkan bahwa karakter di Marvel Cinematic Universe selalu baru dibayangkan untuk layar dan penonton hari ini. (AP/MHD)